Part 7. Andrew

205 19 8
                                    

Hevelin kembali ke rumah pukul setengah sembilan malam. Biasanya Tifa menginap di rumah mereka saat libur panjang. Ia tidur bersama saudara kembarnya. Namun kali ini ayah mengajak Tifa menginap padahal mereka tidak ada libur panjang.

Keesokan harinya tidak seperti biasanya, Hevelin sudah siap lebih awal dibanding adik-adiknya. Hevelin, Perlinda, dan Mifa yang satu sekolah diantar oleh Pak Deva. Sedangkan Tifa yang sekolahnya sangat jauh tepatnya di luar kota tempat Hevelin tinggal diantar oleh ayahnya.

Hevelin pun sampai di sekolahnya. Ketika membuka pintu kelas, gadis-gadis tengah berkumpul membentuk lingkaran, lingkaran yang tidak terlalu sempurna.

Pasti sedang bergosip, pikir Hevelin.

"Hevelin," seru Jinka yang berada di antara kumpulan tersebut sambil melambaikan tangannya kepada Hevelin yang sedang menaruh tas di mejanya. Setelah menaruh tas, Hevelin mendekati lingkaran teman-temannya. Segera mereka mundur untuk membuat lingkaran yang lebih besar begitu melihat Hevelin.

"Vel, apa kau lihat meja di pinggir paling belakang?", gumam Uliva dengan wajah bersemangat. Hevelin mengangguk pelan sambil menengok ke arah meja di pinggir paling belakang. Di atas meja tersebut terdapat tas bermerk berwarna hitam dengan sedikit corak biru dan merah serta sepasang sepatu futsal yang sudah kumal tidak terawat. Hevelin kembali menatap Uliva. Kali ini dengan tatapan penuh tanya.

"Pasti kau belum pernah melihat tas itu bukan? Yah dan kau bertanya-tanya dalam hatimu 'milik siapakah tas itu, lalu apa yang selanjutnya akan Uliva katakan? Oh, Hevelin sayang aku tau pasti kau sangat penasaran. Jadi sebaiknya tanpa perlu basa-basi, kami ekhm maksudku aku, aku akan memberitahumu. Eits, baik-baik, aku tau kau sudah tak sabar. Kitaa... kedatangan teman sekelas baru. Ia laki-laki dan semua siswi di kelas ini berharap ia adalah orang yang tampan, baik, sopan, cerdas, pokoknya berharap seperti idaman para wanita. Mungkin bukan kelas ini saja berharap begitu tapi angkatan kita pasti atau bahkan mungkin semua siswi di sekolah ini, dan termasuk juga kau pastinya,"

Hevelin membenarkan posisi duduknya di lingkaran itu agar dapat duduk dengan nyaman. Ia kemudian mengangkat kepalanya dan mendapatkan banyaknya pasang mata memandangnya seperti sedang menunggu jawaban. Hevelin tersadar segera mengangkat dagunya dan memasang wajah serius.

"Sepertinya kau tau aku bukan orang yang suka ingin tahu urusan orang lain apalagi mencampurinya. Aku juga bukan orang yang mudah peduli tentang seseorang apalagi anak baru itu. Aku benar-benar tidak peduli apakah ia berparas tampan, cantik, buruk rupa, atau apapun. Sudahlah Uliva aku tidak suka bergosip sepertimu. Hentikan omong kosongmu yang sok tau itu!", Hevelin menatap tajam Uliva.

"Apa-apaan kau ini? Hentikan Hevelin! Mengapa kau begitu menanggapinya dengan emosi?", bisik Jinka pelan yang berada di sebelah kanan Hevelin.

"Hevelin, kau itu.. Ah sudahlah aku tidak ingin seragamku atau bahkan rambutku kusut hari ini. Begini aku hanya ingin menjelaskan bahwa anak baru brengsek itu tidak yang seperti kita, eh e.. .maksudku kami. Ya tidak seperti yang kami bayangkan dan harapkan. Dan aku pikir kau sama seperti kami yang akan sangat kecewa melihatnya. Yah sekarang aku tau, mungkin kau akan peduli jika nilainya melebihi nilaimu," Uliva terkekeh.

"Tidak. Tentu saja tidak," kata Hevelin mantap. Hevelin berdiri sambil mengulurkan tangannya kepada Gendi.

"Yah, mungkin aku akan peduli jika siswa itu transgender atau ditemukan tewas. Tapi aku tidak tahu jika itu terjadi padamu," lanjut Hevelin ketika berbalik menuju kursinya.

Bel tanda masuk sudah berbunyi, guru pun sudah masuk ke dalam kelas siap untuk mengajar. Namun setelah jam pelajaran kedua, siswa baru itu baru masuk ke dalam kelas tanpa mengucap salam dengan begitu percaya diri menuju kursi yang paling belakang. Beruntung siswa itu masuk disaat guru yang mengajar adalah guru lelaki yang sudah cukup tua dan begitu mudah dibodohi.

"Dasar buruk rupa tidak sopan!", seru Uliva kasar dengan suara yang cukup lantang sampai seisi kelas dapat mendengarnya kecuali guru lelaki tersebut yang memiliki masalah pada pendegarannya. Siswa baru itu pun duduk sambil merapikan kemejanya yang ia keluarkan dari celananya dan pura-pura tidak mendengar cacian Uliva.

Kabar tentang anak baru itu semakin meluas. Lewat pengaruh dari siswi-siswi yang sekelas dengannya, semua siswi di angkatan itu membenci, menjauh, dan mencibirnya ketika ia lewat. Namanya adalah Andrew. Ia tidak peduli akan semua hinaan yang tertuju padanya.

Pada suatu Kamis pagi, sang bendahara kelas, Nina dikejutkan oleh uang yang di dalam dompet kelas hilang tidak tersisa. Uliva yang keras kepala menyalahkan Andrew tanpa berpikir panjang.

"Ini semua pasti ulah anak berandal itu. Lihat! Sebelum ia datang kita tidak pernah ada kejadian seperti ini," kata Uliva dengan wajah ditekuk. Menanggapi hal itu, Andrew hanya mengikat tali sepatunya lalu berjalan keluar kelas santai.

"Kau tidak boleh menyalahkan ia begitu saja, bisa saja dari kelas lain. Bukan cuma kelas kita yang menerima siswa baru. Lagipula memang belum tentu ulah siswa-siswi baru," Renafa menenangkan suasana dengan bijak. Renafa pandai dalam pelajaran matematika, fisika, dan pelajaran hitungan lainnya. Ia selalu mendapat ranking pertama dari kelas 7 walaupun di semester ini nilai Hevelin dapat menyaingi. Hevelin selalu bersaing sehat dengannya di kelas unggulan ini. Meskipun Hevelin kurang dalam hal berhitung, ia tetap dapat menyaingi Renafa dengan nilai hafalan seperti biologi dan sejarah, keterampilan, dan juga olahraga. Hevelin juga memiliki banyak bakat sehingga ia lebih dikenal oleh para guru maupun teman seangkatan.

"Renafa benar. Itu belum tentu salahnya. Jangan asal menuduh tanpa bukti," sambung Jinka.

Saat isitirahat kedua, Hevelin tidak makan di kantin. Ia meneruskan memakan rotinya dari bekalnya yang belum dihabiskan saat istirahat pertama. Ia menyendiri di kursi taman. Taman itu menghadap ke pintu kecil berupa gerbang dari seng yang sangat kecil tempat masuk lain yang sering disebut gerbang darurat di sudut sekolah. Saat ingin melahap suapan terakhirnya, ia melihat Andrew yang sedang makan bersama dua teman laki-lakinya yang lain. Walaupun hampir semua siswi di sekolahnya sudah menjauhi lelaki itu, tetapi pengaruh Uliva tidak sampai kepada siswa laki-laki. Andrew makan dengan lahapnya sambil menyimak cerita temannya. Kemeja yang dikeluarkan tampak lusuh dan kusut. Lubang di bagian tumit kaus kakinya terlihat jelas karena ia tidak memakai sepatu. Setelah sampai kelas biasanya Andrew mengikat tali sepatunya yang sebelumnya ia biarkan terurai ketika berjalan. Ketika isitrahat, barulah ia melepaskan sepatunya. Saat orang-orang bertanya kepadanya alasan ia melepaskan sepatunya, ia akan menjawab, "setahuku sepatu untuk melindungi kaki dari dingin. Sekarang aku benar-benar kepanasan, seperti tubuh kita, orang bilang jika panas pakailah kaus. Maka kakiku pakai kaus. Hm.. Soal alas kaki, bukankah ini namanya juga alas?".

Hevelin masih menatap Andrew yang malang dengan belas kasih. Apalagi orang yang paling menentang Andrew adalah musuh bebuyutannya. Ia ingin Uliva malu karena ia yakin bukan Andrew pelakunya. Pikirannya pun dipenuhi oleh malangnya Kevin sekaligus pencuri uang kas. Padahal keduamelihat tersebut dimasukan ke dalam lemari yang terkunci. Salah satu dompetnya dimasukkan dalam loker Nina dan yang satu lagi di lemari kelas yang kuncinya dipegang oleh guru.

Saat Hevelin sedang berpikir siapa pelakunya tiba-tiba ia melihat seorang gadis memakai gaun berwarna gelap tengah melintas dengan perlahan melewati gerbang kecil di seberang Hevelin itu. Hevelin menyipitkan matanya memerhatikan dengan seksama sosok yang mencurigakan itu. Gadis itu kembali melewati gerbang ke arah yang berlawan dari sebelumnya. Ia berhenti sejenak melihat ke dalam sekolah dari sela-sela seng yang berbaris. Sekarang Hevelin dapat melihat jelas dan gadis itu menatap balik Hevelin dengan terkejut. Sekarang Hevelin tau siapa dia.

"Berhenti disana!", seru Hevelin yang menaruh kotak makannya dengan sembarang di kursi taman sambil beranjak ke gerbang tersebut.

"Sial dikunci," katanya sambil memandangi gadis yang sudah berlari ke arah gerbang utama sekolah. Gerbang darurat itu memang hampir selalu dikunci. Hevelin segera memutar pikirannya sekaligus memutar tubuhnya untuk berlari ke gerbang utama sekolah.

   Voteee yaaah kalo menurut kalian bagus. Ohiya comment dong mau dilanjutin atau gak? Kalo gada yg comment yaudah gak aku lanjutiin, gimana?

Hevelin (Pengungkap Misteri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang