Pagi ini aku sedang di rumah Eyangti dan disambut dengan semilir angin yang berhembus dengan pelan bersama alunan suara kicauan burung yang menyambut sang mentari. Betapa asrinya desa ini, kehidupan masyarakat yang masih sangat tradisional, pemandangan yang menyejukkan mata, senyum ramah tamah antar manusia. Disinilah aku tumbuh dan memiliki kenangan yang amat dalam. Ya, disinilah aku akan mulai mengingat dan menceritakan tentang hidupku.
Cuaca pagi ini sangat cerah, cocok sekali untuk memulai aktivitas dihari ini. Aku berjalan keluar dari kamarku, bertemu dengan Eyangti yang sedang membuat sarapan nasi goreng sego tiwul.
"ti, tapi lambungku tidak kuat makan nasi tiwul", ucapku sambil merengek. Eyangti yang sedang membuat bumbu untuk nasi goreng pun hanya terdiam dan tersenyum tanpa membalas satu katapun. Aku akhirnya keluar rumah menghirup udara segar yang beberapa bulan bahkan hampir satu tahun tidak kuhirup ini, yaaa... udara disini adalah udara yang sangat kusukai, bertahun-tahun pindah ke kota tidak bisa memisahkanku dengan desa yang memiliki sejuta kenangan denganku. Aku tersenyum senang, tidak ada yang berubah dari desa ini.
Desa ini masih sama dengan waktu dimana aku masih suka bermain layangan, bola, kelereng, petak umpet, gobak sodor. Sama sekali tidak ada yang berubah, bahkan pagar rumah Eyangti pun tidak berubah, masih sama pagar yang dibuat dari bambu dan ditanami tumbuhan sebagai penutup pagar. Bapak-bapak masih pergi ke sawah selepas fajar datang, anak-anak masih bermain layang-layang dan mainan yang lain sama persis sewaktu aku kecil, belum banyak kendaraan yang berlalu lalang, ibu-ibu masih memasak menggunakan kayu, ya walaupun sudah banyak yang menggunakan kompor gas dan lebih modern tetapi mereka masih tetap menggunakan kayu. Hal-hal yang ada disini masih sama, bahkan perasaanku pun masih sama. Aku tersadarkan setelah beberapa saat melamun setelah tetangga Eyangti memanggilku,
"Mbak Aluna, kapan pulang??", tanya simbah putri yang mungkin usianya sudah 55 tahun lebih.
"Eeh simbah, pripun kabarnya? Nggih nembe dugi wau subuh (eh simbah, gimana kabarnya? Iya baru sampai tadi subuh)", jawabkku mengunakan bahasa daerah disini, bahasa jawa.
"Kerjanya libur mbak?"
"Nggih mbah, mendet libur kangen eyang"
"Jangan lupa mampir ya mbak, main kerumah simbah"
"Nggih, matur suwun mbah. InshaAllah"
Ya, beginilah kehidupan desa dengan ciri khasnya yang masih kental dengan budaya sopan santun baik dari yang muda ke yang tua bahkan sebaliknya. Hal inilah yang membuatku sangat merindukan desa ini setelah hampir satu tahun tidak bisa mengunjungi, ah lebih tepatnya aku sengaja untuk tidak mengunjungi.
Aku ingat, aku memilih untuk tidak mengunjungi desa ini karena aku tidak mau ingat dan mengingat hal yang harus aku lepaskan. Banyak sekali kenangan di tempat ini, memang tidak ada yang berubah dari sini tetapi kenyataanya aku dan dia berubah. Aku dan dia menjadi seorang yang asing, aku sengaja mengambil waktu pulang ketika sosoknya tidak ada disini, bukan karena membencinya tetapi aku tahu dengan mengingatnya aku akan merobohkan pagar yang sudah ku bangun selama ini.
Aku tersadar dari lamunanku setelah Eyangti meneriaki ku
"Alunaaaaa...nasi goreng warasnya sudah jadi",
Ah ya nasi goreng waras aku menyebutkannya, nasi goreng ini sama seperti nasi goreng pada umumnya menggunakan nasi putih, aku menyebutnya seperti itu karena Eyangti sering membuat nasi goreng menggunakan nasi tiwul. Setelah Eyangti memanggil aku bergegas mendekati Eyangti
"Aaaa nasi goreng kesukaan ku sudah jadiiii", teriakku seraya memeluk Eyangti
"Jauh-jauh pulang dari Jakarta kok yang dicari cuma nasi goreng"
YOU ARE READING
ALUNA
RomanceAku terlalu biasa untuk bermain dengan duniaku sendiri. Sepi dan sunyi adalah hal yang tidak bisa lepas dari diriku, kosong hampa.