34. Bujuk

13.9K 1.4K 134
                                    

“Papa masih jogging pagi. Ma, nanti aku akan bilangin Papa kalo ada layangan nyangkut di genteng dekat balkon atas. Genteng yang ruangan tamu.” Karel mendekati Nia yang lagi mengeringkan rambut dengan handuk baru keluar dari kamar.

“Bisa diambil lewat luar balkon atas sini, ‘kan?” Nia membuka pintu balkon atas. Karel mengikutinya di belakang. Nia menggantungkan handuk di pagar.

“Mama!” Karel memekik saat melihat Nia membuka pintu pagar pembatas balkon di pojok kanan lalu keluar menginjak tepian luar balkon pelan-pelan.

“Ma, sini masuk aja deh, biar Karel aja yang ambil layangannya. Adooh, Mama kok nekaaat!!” Karel berseru heboh dan mau menyusul Ibunya. "Kalo jatuh gimana, aku lemes liat Mama di pinggiran balkon."

 Nia yang sedang berjalan di pinggiran balkon menoleh. “Kamu jangan ikut ke sini tar sempit jadi kikuk susah gerak.”

“Mama! Ih, Mama sini balik aja!! Mamaa!” Karel heboh di pintu yang terbuka sambil bergidik.

Nia sudah berjalan nyaris mendekati sisi kiri balkon yang dekat dengan posisi layangan putih itu menyangkut di salah satu genteng. Nia mendesis karena tangannya tak bisa mencapai sampai pada layangan, dia pun berjongkok untuk mengambil benda itu dengan kaki kanannya mengandalkan jempol dan telunjuk.

“Ni, kakimu nggak bakal sampai buat ambil layangannya. Udah kamu balik masuk ke sini, biar aku yang ambil!” Suara Garsa tiba-tiba terdengar. Nia kalau tidak fokus bisa saja tergelincir. Nia melihat sekilas pria itu memakai kaos dan celana olahraga khas baru pulang jogging.

“Aku bisa,” tepis Nia sambil memajukan tubuh agar kakinya bisa mencapai layangan.

“Papa tadi larinya cepet amat, Karel lihat masih di luar gerbang tadi tau-tau udah di atas.” Karel masih ngoceh tak  Nia gubris lagi sibuk ambil layangan dengan menowel-noel jempolku ke layangan. Jauh sekali kakinya susah ke sana.

“Papa lari cepet saat ngeliat Mamamu nongkrong di tepi balkon luar. Udah masuk aja sini, Sayang. Aku yang ke sana setelah kamu ke sini, kalo sekarang aku masuk di situ nggak muat.”

“Tahu tuh Mama nekat banget,” cetus Karel.

“Argh, kakiku,”  Nia mendengkus kesal. Kakinya kenapa pendek sampai jempol dan telunjuknya tidak bisa sampai ke sana dipakai untuk menjepit layangan jelek itu!

“Kaki kamu nggak nyampe, kan? Itu kalo aku yang ambil bisa pake tangan. Udah sini kamu masuk aja, Ni,” bujuk Garsa.

 Nia mendecih, mentang-mentang pria memiliki tangan, badan, serta kaki yang panjang jadi sok banget. Nia mengalah dan pasrah memberikan tugas itu ke Garsa, padahal  Nia mau membuktikan bisa segalanya tanpanya. Nia pun kembali masuk ke balkon dalam menerima helaan napas lega dari Karel.

Nia pura-pura tak melihat Garsa yang dengan mudah hanya duduk dan merundukkan diri lalu mengulurkan tangan sudah mendapatkan layangan itu. Sebelum pria itu masuk ke balkon dalam, Nia segera kabur membawa handuk basah dan pergi ke bawah. Di dapur  Nia melihat Bu Karmi sedang membongkar gas kompor.

“Bu, aku aja yang pasang. Bu Karmi bisa kerjain yang lain dulu. Aku udah bisa masang kok hitung-hitung mau mengasah lagi, kalo nggak dilakuin nanti jadi takut dan nggak bisa lagi.”

Bu Karmi pun memberikan tempat di dekat gas elpiji kecil hijau itu menandakan memang lagi banyak kerjaan tapi segan meminta bantuan, lagipula Nia baru turun ke bawah habis mandi.  Nia berjongkok melihat-lihat konektor gas.

“Bu, saya mau blender bumbu kacang siaomay ya. Kalo kesusahan kasih ke saya lagi nggak apa-apa.” Wanita itu langsung ngacir menuju meja makan mengambil rantang dan pergi menuju meja yang dekat colokan listrik.

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang