Part 2: Penyesalan

1.5K 83 4
                                    

Hari ini adalah hari perpisahan untuk siswa dan siswi kelas dua belas. Iya, benar. Tepatnya siang ini Kak Arka akan menyandang gelar alumni. Tentu saja tidak mudah bagi Arin menyaksikan acara nanti. Kini, Arin, Ayra dan Zia sudah bersiap untuk menyaksikan acara. Mata Arin tidak kunjung berhenti melirik ke arah Kak Arka. Kata Arin, pria itu bertambah delapan puluh persen ketampanannya saat menggunakan pakaian perpisahan.

Pada bagian belakang terlihat banyak adik kelas yang sudah berdiri rapi dilengkapi bunga yang akan diberikan kepada para senior mereka.

"Rin, beli bunga yuk!" ajak Zia.

"Iya, Rin. Ayo kita beli bunga sekarang. Kebetulan yang akan perpisahan itu Kak Arka. Jadi kamu bisa kasih ke dia bunganya," timpal Ayra setuju dengan ajakan Zia.

"Boleh," ujar Arin terlihat bimbang.

Ayra dan Zia segera menarik tangan Arin dan mengajaknya mengunjungi penjual bunga. Kebetulan di luar gerbang ada penjual bunga yang sudah sedia dari pagi tadi. Zia dan Ayra mengambil dua bunga berwarna merah dan putih.

"Arin, jangan diam aja di sana. Kamu nggak mau beli untuk Kak Arka nih?" tanya Ayra menatap Arin.

"Gue bunga yang ini aja deh, Ra." Arin mengambil satu bunga berwarna putih.

Setelah membeli bunga, mereka kembali ke lokasi acara.

"Zia, Arin, gue pamit dulu, ya. Mau ngasih ini dulu ke senior. Mereka udah pada ngode minta bunga," pamit Ayra kepada dua temannya.

"Oke, Ra. Kebetulan gue juga mau kasih ini nih," sahut Zia.

Keduanya menghentikan langkah dan beralih menatap Arin yang masih memaku di tempatnya.

"Arin, lo nggak mau ngasih bunganya juga? Kasih sekarang aja sama dia," desak Zia.

"Iya udah, gue tau lo masih segan mau ngasih bunganya. Gue sama Zia mau mendampingi lo ngasih bunganya kok. Gimana?" Ucapan Ayra dibalas anggukan oleh Zia.

Seolah kedua temannya paham dengan yang Arin rasa. Wajar saja, seorang Arin masih terbilang asing jika disandingkan dengan laki-laki. Jangan kan memberi bunga, menyapa saja ia enggan.

Saat Arin ingin memberi bunga itu, ternyata ia melihat Kak Arka sedang dikelilingi banyak orang. Terutama siswi yang juga menyukainya.

"Lo kenapa berhenti, Rin?" tanya Zia bingung.

"Kita lihat acaranya lagi aja, yuk! Lain kali aja deh gue ngasihnya," ajak Arin gugup.

"Acara yang mana? Dua Jam lagi acara selanjutnya dimulai, bukan sekarang." Zia dan Ayra sangat paham apa yang dipikirkan sahabatnya saat ini.

Arin terus mendesak kedua sahabatnya untuk menjauh dari Kak Arka. Ia tidak ingin menjadi pengganggu bagi pria itu. Alhasil, Zia dan Ayra mengikuti ajakan Arin.

Hari sudah mulai sore. Semua rangkaian acara juga hampir selesai.

"Ayra, Zia, kita pulang yuk!" ajak Arin bangkit dari kursinya.

"Bentar, Rin. Gue lagi asik lihat penampilan mereka." Zia menolak ajakan Arin.

Arin hanya mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Ia memperhatikan setangkai bunga yang berada dalam genggamannya.

'Lo yakin mau ngasih bungai ini sama Kak Arka, Rin? Apa lo nggak takut kalau dia nolak bunga yang bakal lo kasih? Udah deh, Rin. Jangan banyak berharap sama dia. Kak Arka itu sosok yang ganteng, pinter, sholeh, paket lengkap. Siapa yang nggak mau sama dia. Saingan lo banyak banget,' gumam Arin membatin.

"Hust, serius banget lihat bunganya," ledek Zia menyenggol bahu Arin.

Arin hanya tersenyum membalas ledekan yang diberikan sahabatnya. Ia meraih handphone-nya untuk memotret bunga tersebut.

Acara benar-benar sudah selesai. Banyak orang yang bubar dari lokasi.

"Lo masih mau ngasih bunganya nggak, Rin?" tanya Zia menaikkan salah satu alisnya.

"Nggak jadi deh, Zi. Kita pulang aja," sahut Arin dengan nada frustrasi.

"Lo yakin nggak bakal nyesal?" timpal Ayra memastikan keputusan Arin.

"Gue yakin, Ayra." Arin menghembuskan napas kasar.

Arin bukan tidak ingin memberi bunga itu kepada Kak Arka, melainkan ia dilanda rasa malu dan tidak percaya diri saat dihadapkan dengan pemilik nama Abdurrahman Arka Ramadhan.

Saat akan keluar gerbang, Arin melihat Kak Arka yang sedang berfoto dengan teman-temannya. Tidak hanya itu, para siswi juga masih menunggu giliran untuk berfoto bersama seorang Arka.

"Lo serius nggak jadi, Rin? Nanti nyesal lho," tanya Zia.

"Bawel banget sih lo. Iya, gue serius. Ayo kita pulang!" sahut Arin sembari mengangguk dengan pasti.

***

Arin terus memperhatikan bunga yang dibelinya. Tidak hanya sahabatnya, ia juga bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang sedang diinginkannya saat ini. Penyesalan pasti ada, tapi rasa bangga lebih besar. Ia bangga sudah berhasil menahan dirinya untuk tidak bertemu dengan Kak Arka.

"Bunga dari mana itu, Rin?" tanya mama menunjuk bunga yang sedang dipegang putrinya.

"Ha? Ooo, ini tadi ada orang yang jual di depan gerbang sekolah. Jadi, Arin beli, kebetulan teman-teman juga pada beli." jawab Arin menetralkan suaranya.

"Bunganya bagus. Kenapa nggak dikasih ke kakak kelas yang wisuda sekarang?" Mama mendekat dan ikut duduk di samping putrinya.

"Rencana awalnya sih mau dikasih, tapi Arin nggak tau mau dikasih sama siapa. Lagian Arin nggak ada kenal mereka. Jadi karena bunganya bagus, Arin bawa pulang aja," jelas Arin panjang lebar.

"Susun di lemari aja kalau gitu," pinta mama yang dibalas anggukan oleh Arin.

"Iya, Ma. Arin ngantuk banget nih. Mau tidur dulu. Selamat malam, Ma."

Arin merebahkan badannya di kasur. Sebenarnya, matanya belum ngantuk. Hanya saja ia ingin mengalihkan pembicaraan. Arin kembali teringat dengan kata-kata Zia dan Ayra. Mereka benar, Arin akan menyesal dengan keputusan yang dipilihnya. Itu adalah hari terakhir bagi Kak Arka untuk menjadi siswa di sekolah yang sama dengannya. Tidak ada lagi ia mendengarkan suara khas pria itu. Tidak ada lagi ia melihat wujud seorang Abdurrahman Arka Ramadhan. Semua sudah berakhir.

'Ayra, Zia, kalian benar. Gue sekarang nyesal. Gue nyesal nggak dengar kata-kata kalian. Sekarang gue harus gimana? Apa yang harus gue lakuin untuk ngobati penyesalan ini?' gumam Arin dengan suara lirih.

'Ayra, Zia, apa kabar dengan perasaan gue sekarang? Apa gue harus menuntaskannya? Apa gue harus melupakan seorang Arka mulai dari sekarang? Gue bingung.' Arin berdecak frustrasi.

Ting!

Sorot matanya beralih menatap handphone yang ada di nakas. Ia segera memeriksa pesan masuk.

Ayra:
[Assalamualaikum, Arin.]

Arin:
[Waalaikumsalam, Ra.]
[Kenapa?]

Ayra:
[Lo gimana kabarnya sekarang? Lo nggak papa? Jujur, gue kepikiran dari tadi sama lo.]
[Please. Jujur ke gue, Rin]
[Cerita aja, gue paham kok kondisi lo.]

Arin:
[Gue nggak papa, Ra.]
[Iya udah, lo tidur ya. Udah malem, nggak baik untuk kesehatan lo.]

Ayra:
[Gue nggak bisa tidur, Rin. Gue kepikiran sama lo. Jangan lo rahasiain dari gue. Gue bakal dengar cerita lo kok.]

Deg!

Setiap pesan yang dikirim Ayra membuat dada Arin terasa sesak. Ayra benar, kondisinya sedang tidak baik-baik saja.

To be Continue!
Jangan lupa vote dan komen ya, Guys.
See You.

Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang