"Wah gila! Pantes mukanya mirip!"
"Anak-bapak sama aja nggak bermoral!"
"Untung belum jadi presiden"
"Aku nggak mau punya presiden yang nggak punya ahlak"
"Astaga , kasihan banget keluarga Sumanjaya, ngangkat anak haram bawa sial"
"Baik banget keluarga Sumanjaya, mau nampung begituan"
"Kalau jadi keluarga Sumanjaya mending diusir aja , kasih bapaknya hahahahha"
"Denger2 anak Sumanjaya sampai meninggal di New York gara –gara ngelindungi CEO haram itu"
"Pengen lihat muka ibunya TS udah mati bisa bikin senegara gempar"
"Ih jangan pada ngomong aneh-aneh kena ciduk, powerful banget"
"Males pakai joppin, jijik ama kelakuan CEO nya"
Terry menunduk lesu membaca semua komentar-komentar di sosial media itu. Dia sudah tidak bisa lagi marah, entah perasaan apa ini dia tidak tahu.
Kecewa
Dia kecewa dengan semuanya. Terry segera menyadari bahwa skandal mengenai Gendhis dan dirinya hanyalah awal untuk membuka rahasia Lucas Hanafi yang calon presiden. Dia dan Gendhis hanya tumbal untuk perkara bodoh itu. Ini skandal besar , bahkan beberapa media internasional membahasnya. Bagaimana tidak, Lucas Hanafi yang calon presiden dengan hasil survey tertinggi, dirinya yang merupakan CEO Joppin, Gendhis yang BA jam tangan kelas dunia , dan jangan lupakan keluarga Konglomerat , Sumanjaya.
Berkali-kali Terry menghela nafasnya. Sudah setengah jam dia berada di garasi rumah besar Sumanjaya, rasanya berat untuk keluar untuk bertemu siapa pun. Bahkan dia menelepon Aryo untuk mengabarkan kepada Gendhis kalau malam ini dia tidak akan ke rumah sakit.
Terry tidak tahu harus di taruh di mana lagi mukanya kali ini. Dia merasa terus-terusan menjadi biang keonaran untuk keluarga Sumanjaya. Berkali-kali berpikir tidak membuatnya menemukan jalan keluar. Diliriknya jam tangan , pukul setengah tujuh. Waktunya makan malam , biasanya dia akan meluangkan waktu bersama para paman dan bibinya , atau sepupunya sambil menceritakan semua hal konyol yang terjadi hari itu.
Hatinya sakit, kehangatan keluarga itu tidak pantas diterimanya.
Terry melangkah pelan ke dalam rumah, dia memutuskan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia belum memikirkan tindakan apa yang akan dilakukannya. Terry melangkah ke ruang makan. Ada kedua pasang paman dan bibinya, ditemani Syeden dan Tria yang mungkin akan menginap malam ini.
Entah perasaannya saja atau semua orang di ruangan itu hanya diam atau mendiamkannya. Terry berusaha sekuat tenaga untuk bersikap normal dan memasukkan apapun ke dalam mulutnya, walau terasa hambar. Dia tidak berani menatap mereka. Orang-orang yang biasanya membuat dia nyaman dan kuat. Kali ini apapun yang terjadi hanya membuat dirinya inferior dan tertekan.
Terry mempercepat suapannya, dan bergegas duluan ke kamar. Tidak seperti biasanya, tidak ada yang menahannya. Situasi ini sangat canggung.
Sesampainya di kamar, Terry hanya diam. Menatap tiga tangkai mawar yang sudah kering, karena tidak digantinya. Pikirannya kosong , hatinya lelah.
Bahkan dia tidak tahu ada yang masuk ke kamarnya , hingga Syeden menepuk pundaknya.
"Abang.." Kata Terry mendongak, kemudian Syeden duduk di kursi depan ranjang Terry.
"Aku pikir kamu sedang mandi"
"Enggak, belum mood"
"Berat ya?" Tanya Syeden retoris, Terry tidak menjawabnya , hanya tersenyum kecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boo (Selesai)
General FictionTentang pertemuan dua insan yang kehidupannya seperti benang kusut. Akan kah persamaan membuat mereka memiliki kekuatan baru? Atau hanya akan menambah kerumitan baru?