Sepuluh Hari Terakhir

14 3 0
                                    

Langit malam ini begitu cerah, sinar Rembulan nampak melumuri permukaan bumi. Aku menatapnya dari balik jendela kamar, membuatku terhanyut, perasaan yang aneh datang lalu suara-suara dari masa lalu memanggilku.

"Pak kok bulannya ngikutin kita sih?"

"Hmmmm … karena bumi berputar jadi bulan ngikutin kita deh."

Aku coba menutup mata, membayangkan dan menikmati kembali masa-masa itu. Sepenggal percakapanku dan Bapak tergambar jelas dalam ingatanku.

Disuatu malam saat bulan purnama, Bapak berjalan melintasi tanah lapang. Sementara aku duduk di pundak Bapak, berpegang kepada kedua tangannya. Bapak berjalan hati-hati memastikan aku aman di pundaknya. Saat-saat itu adalah saat paling menyenangkan dalam hidupku bersama Bapak, saat hatiku dipenuhi dengan kepolosan seorang anak dan hanya cinta serta kasih sayang saja yang mengisinya. Saat itu Bapak adalah orang tua terbaik yang aku miliki, aku bangga menjadi anak Bapak. Bapak pintar matematika, Bapak pintar bahasa Inggris, Bapak bisa menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan, Bapak selalu mendengar apa yang aku ceritakan, Bapak selalu menjadi tempat aku meminta apapun meski tak selalu keinginanku terpenuhi. Saat itu  adalah masa-masa terbahagia ku sebagai seorang anak.

Tidak terasa air mataku menetes, betapa aku sangat merindukan Bapak bahkan sebelum hari ini tiba. Sudah sejak lama aku kehilangan Bapak. Masa-masa indah itu seolah sirna, tidak pernah menjadi kenangan manis yang bisa sama-sama kami kenang. Entah Bapak mengenang dan merindukannya juga atau tidak, yang jelas aku sangat merindukannya. Aku selalu ingin menjadi aku kecil yang seutuhnya menjadi anak Bapak. Tapi masa sudah berubah, hari-hari menyakitkan pernah aku lalui tanpa kehadiran Bapak. Dendam dan kebencian seolah tertumpuk dan berkerak di hatiku.

Sejak Bapak menikah kemudian pindah ke luar kota bersama istrinya, sehingga harus mengurangi waktu kebersamaan kami, sejak itulah hubungan kami merenggang dan sejak itu pula dunia begitu kejam kepadaku. Saat bersama Bapak aku selalu merasa aman, tidak ada seorang pun yang berani menyakiti, segala kebutuhanku tercukupi namun saat tidak ada Bapak beberapa orang senang melontarkan kata-kata dan sikap menyakitkan sementara aku hanya bisa diam, tidak pernah berani menjawab atau membalas.

Kepergian Ibu sebelum aku mengenalnya, dan ketidak hadiran Bapak sudah menjadikan aku anak yang minder, seringkali aku merasa tidak pantas bahagia, sering kali aku merasa hanya merepotkan orang-orang yang ada disekitar ku. Aku tidak pernah punya keberanian untuk mengelak saat orang lain bersikap buruk kepadaku.

Kadang aku berpikir mungkin sifatku yang pendiam sudah menggugah sifat jahat manusia tak bertanggung jawab. Aku kecil hingga remaja, beberapa kali mengalami peristiwa mengerikan. Sebuah peristiwa yang tidak  aku mengerti awalnya tapi dengan sangat jelas bisa aku rasakan dampak buruknya. Rasanya teramat menakutkan, entah dengan cara apa aku harus katakan bahwa aku sangat takut, aku sangat tidak menyukainya, namun aku tidak  punya tempat bercerita. Tidak ada satupun yang bisa aku percaya. Tidak ada kepercayaan diri bahwa ucapanku akan dianggap penting. Aku simpan cerita itu sendirian sampai suatu hari setelah dewasa – aku baru memahami bahwa hal itu adalah sebuah pelecehan seksual.

Aku memendam segala ketakutan, hingga tanpa aku sadari kejadian itu berhasil merusak hatiku, menumbuhkan kemarahan dan kebencian yang hebat. Rasa benci itu tumbuh tidak hanya untuk para pelaku, namun untuk diriku sendiri, terlebih untuk Bapak, satu-satunya orang tua kandung yang aku punya. Aku melemparkan tanggung jawab dari semua penderitaan yang aku alami kepada Bapak. Perundungan, pelecehan seksual, kesulitan ekonomi, dan kesepian adalah hal yang sangat aku benci untuk menghadapinya sendirian.

Sepuluh Hari TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang