Kuncup · 9

980 239 30
                                    

Jakarta, 2015

Rantika Arum Kuncoro mengunyah sarapannya pagi itu—nasi goreng sosis—dengan buru-buru. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat, padahal Ran harus tiba di sekolah sebelum setengah tujuh untuk menerima materi pemantapan pra-UN. Tahun ini adalah tahun terakhir Ran pada jenjang SMP.

"Ayaaah! Udah siap??" Ran berteriak setelah meneguk air putih. Nasi goreng sudah tandas, dan gadis berambut ikal yang kini dicepol tinggi itu menyambar ransel dan terburu memakai sepatu.

"Ayaaaaah?" panggil Ran lagi, saat tidak mendapat jawaban.

"Hadir!" Sakti menjawab dari arah garasi. Rupanya sang ayah sudah memanaskan mobil kumbang yang biasa digunakannya itu.

Senyum Ran terbit.

"Ayo berangkat, Yah. Barusan aku di-chat sama Selin, dia udah nunggu di depan rumahnya."

"Sudah pamit sama Bunda, belum?" balas Sakti.

"Aduh!" Ran menepuk jidat. "BUUUN, RAN BERANGKAT DULU. UDAH MAU TELAT!" jerit gadis itu kemudian. Dia tidak punya waktu untuk masuk lagi ke dalam rumah. Sakti yang melihat itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku berangkat dulu ya, Micin." Ran melambai singkat ke arah kelinci yang sibuk mengunyah di dalam kandang. Song Mi-jin, kelinci abu-abu yang dipelihara oleh Ran dan Selin itu, adalah reward atas kelulusan SD mereka, tiga tahun lalu.

"Eeeh, tunggu-tunggu! Ini, bekal kamu ketinggalan." Ajeng muncul dari dalam rumah, dengan pakaian kerja yang ditutup apron, menyerahkan kotak makan siang ke arah Ran yang sudah duduk di kursi depan.

Ibunda Ran itu kini bekerja sebagai dosen tetap di salah satu universitas negeri, sementara ayah yang menyupiri Ran tiap hari, masih menjadi agen real estate yang sedikit naik levelnya, bergabung dengan perusahaan properti Ursa Major sekaligus membuka usaha toko bunga bersama Om Vic.

Mobil kumbang kuno yang dikemudikan Sakti menepi di depan kediaman Lafleur-Tan. Dari halaman, Selin berlari menyambut, disusul Matt yang berjalan dengan cepat. Dua kakak-beradik itu menduduki kursi bagian belakang mobil kumbang.

"Om nanti ngantor? Tadi Papa bilang dia yang mau buka toko." Selin bertanya di sela-sela obrolan mereka, sedikit heran karena mendapati ayah Ran itu tidak berpakaian rapi—seperti biasa dilakukan jika hendak bertandang ke kantor properti Ursa Major.

"Nggak, nanti Om mau ke Rawa Belong. Kebetulan di kampus bundanya Ran lagi musim wisuda, jadi orderan banyak yang masuk." Sakti menyebutkan nama pasar bunga terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Jakarta Barat itu.

"Wuaaah, pengen ikut!" Selin menanggapi.

"Ran juga, Yah!" Sang putri menyahut.

Sakti terkekeh. "Nggak bisa... kalian kan sekolah. Terus nanti sore ada bimbel juga, kan? Hayoo, fokus belajar. UN-nya tinggal tiga bulan lagi, lho."

"Yaaah...." Suara gerutuan terdengar kompak dari bibir Ran dan Selin.

Sakti melanjutkan tawa. Lelaki itu kini melirik singkat melalui spion rear view.

"Kamu sehat, Matt?" tanya Sakti.

Sulung Lafleur-Tan yang sedang memandang ke luar jendela mobil itu mengangkat alis, singkat.

"Iya, Om."

"Pagi-pagi kok udah ngelamun?"

"Nggak pa-pa, Om."

Sakti hanya tersenyum pasrah. Membangun percakapan dengan remaja lelaki itu memang terbilang susah. Kontras sekali dengan adiknya.

Akhirnya mobil kumbang itu tiba di tempat tujuan. Hanya butuh sepuluh menit waktu tempuh untuk mencapai sekolah mereka, Dharma Sunya, yayasan swasta elit yang menaungi pendidikan dasar hingga menengah atas.

La TubéreuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang