Kuncup · 10

923 224 24
                                    

Merepotkan.

Itulah satu-satunya kata yang hinggap dan tak pergi-pergi dari benak Matt saat memimpin jalan menuju kantin sekolah.

Gadis berambut ikal yang dikuncir tunggal itu membuntuti Matt sampai ke konter penukaran kupon di kantin Dharma Sunya.

"Nih." Matt melirik Ran sejenak saat menyodorkan dua kupon miliknya. Kuning dan merah, untuk makanan berat dan pencuci mulut.

Ragu-ragu, Ran meraih kupon berwarna merah. "Kakak... pakai yang main course-nya, biar aku pilih camilan yang ngenyangin aja," gumam gadis itu.

"Udah berapa kali dibilang, jangan panggil saya 'kakak'. Saya bukan abang kamu." Matt mendesis sebelum memunggungi Ran, beranjak.

Saat berjalan meninggalkan konter sendirian, Matt melirik pada nampan makan siang yang baru saja dia tukarkan. Seenggaknya dia tau diri, pikir pemuda itu.

"Matt! Hoy, sini-sini. Eh-eh, geser, kasi duduk!"

Kegaduhan itu berasal dari meja di mana segerombolan anak kelas 11-Majapahit berkumpul—anak-anak kelas Matt. Pusat kegaduhan berasal dari Varda, cewek dengan rambut hasil smoothing-an yang merupakan ketua kelas 11-Majapahit yang juga menjabat sebagai kandidat ketua OSIS. Varda yang eksis.

"Sini atuh, buru, duduk." Varda menepuk-nepuk kursi kosong di sisi kanannya, memberikan ruang pada Matt untuk bergabung dengan kelompok elit kelas mereka.

"Nah, gitu dong, gabung sama kita-kita. Sebuah kehormatan nih, bisa makan siang bareng Yang Mulia Pangeran dinasti Tan tiap hari." Candaan Varda bersambut gelak tawa oleh beberapa anak dari meja itu. Semuanya bersikap ramah di hadapan Matt. Terlalu ramah.

Matt hanya menggumamkan kata 'makasih' rendah sambil sesekali tersenyum, mengangguk, dan menjawab obrolan seru Varda dan gerombolan kelas mereka. 11-Majapahit merupakan jurusan Humaniora yang berisi murid-murid humanis, remaja yang pandai berinteraksi.

Yah, terkecuali Matt, tentu saja.

Kepindahan ke Indonesia membuat Matt yang tadinya sudah soliter dan pasif menjadi semakin antisosial. Matt yang sedari dulunya pelit tawa, kini tersenyum pun tak bisa. Remaja tanggung itu tumbuh menjadi pemuda yang menjaga jarak dengan semua makhluk—manusia dan bukan.

Tentu saja, alasannya sudah jelas. Matt menjalani hidupnya yang sekarang ini dengan tidak sukarela.

Seperti pagi tadi, saat jam baru bergeser sedikit dari pukul enam saat keluarga Lafleur-Tan sarapan bersama-sama, di mana Matt terpaksa duduk dan mengunyah setangkup roti mentega tanpa selera.

Sepanjang tinggal di sini, Matt selalu 'terseret' dalam keadaan yang berfokus pada Selin. Matt harus bangun ekstra pagi untuk berangkat ke sekolah bersama Selin, mengikuti jadwal tidak manusiawi adiknya itu yang berada di tahun terakhir SMP.

Matt juga 'terseret' dalam sekolah yang sama; Dharma Sunya. Gabriella sudah termakan gembar-gembor omongan Tante Ajeng tentang bagaimana bagusnya yayasan itu.

Bagaimana penjurusan tahap perguruan tinggi (Eksakta, Sosial, dan Humaniora yang dilabeli dengan nama kerajaan kuno sebagai kelas) sudah diterapkan sejak jenjang SMP, bagaimana program inklusi membantu siswa berprestasi yang kurang mampu, bagaimana sekolah itu menyaring murid-muridnya menjadi sekumpulan siswa terbaik yang berlabel super—kalau nggak superpintar, ya superkaya—dan bagaimana beruntungnya jika anak-anak mereka bisa masuk ke sana. Dharma Sunya.

Ya, setidaknya itu yang Matteo tangkap dari berbagai percakapan mamanya dan ibunda Ran itu.

Ah, berbicara tentang Ran, mata Matt diam-diam melirik gerombolan siswi SMP yang duduk dua meja dari tempatnya. Tampak sang adik, Selin, dan Ran sedang santap siang bersama teman-teman mereka. Ran duduk di pinggir, agak tersisih, sementara Selin menjadi pusat perhatian.

La TubéreuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang