Saat ini, November 2022.
"Waktu hukumanmu telah berakhir, jangan menoleh lagi, Brengsek!" seru seorang polisi menendangi bokong milik Dzaky dengan intens.
"Berisik," balasnya seraya menunjukkan jari tengahnya kepada polisi- tidak, temannya itu. Mereka sudah cukup dekat selama lima tahun lamanya, jadi bolehkah mereka dikatakan sebagai teman?
"Ah, bau dosa dan uang haram," gumamnya menghirup energi dari langit mendung, "langit menyambutku dengan baik."
Dihisapnya sepuntung rokok hasil curiannya sejam yang lalu dari kantor polisi. Seperti yang terlihat, Dzaky tampak acak-acakan, rambutnya panjang sebahu, ia bahkan mulai merokok. Jika ditanya, orang yang pernah mengenalnya pun pasti tak akan mudah mengenalinya saat ini.
"Sekarang, mulai dari mana kita?"
Berselang beberapa jam setelah selesai berputar-putar tak jelas di sekitar kantor polisi, ia kini kembali ke rumah lamanya. Rumah yang penuh dengan kenangan bersama adiknya, Djaya.
Ia mengambil sebuah foto yang masih terbingkai rapi, walau tampak berdebu, serta ada beberapa helai benang laba-laba di setiap sudutnya. Foto yang menampakkan wajah ceria sang adik dengan senyum lebar seindah pelanginya itu.
"Kakak berhenti menangis untuk saat ini," gumamnya. Tatapannya tampak semakin menyeramkan di balik poni panjang tak terurus miliknya itu. Aura menyeramkan dalam tubuhnya terurai di udara. Ia seperti telah dikuasai oleh iblis.
"Namun, setelah berhasil membalas perbuatan mereka semua yang pernah menyakitimu, Kakak akan menangis lagi sejadi-jadinya. Adikku ... maaf, sebab kau harus menunggu selama itu, lalu kita akan bertemu," lirihnya melanjutkan kalimatnya.
Dering telepon menyadarkannya dari lamunan. Di luar dugaan, telepon genggam yang sudah lama tak disentuhnya itu ternyata masih berfungsi. Namun, orang jahil mana yang berhasil menelepon nomor baru pembeliannya? Tak ingin larut dalam pikiran yang tak berguna, ia pun segera mengangkat telepon, kemudian mendapati seseorang berbicara di baliknya, "Kau tak ingin melihat kawan lamamu? Kau terlihat begitu sehat setelah keluar dari penjara, Dzaky."
Dengan sekali dengar, ia berhasil menebak dengan siapa ia berbicara saat ini. "Kau ... anak orang kaya kasus prostitusi itu?" terkanya membalas.
Lelaki yang berada di seberang, kini terdengar tertawa terbahak-bahak seraya membalas, "Wah, sangat menyenangkan mendengar kau masih mengingatku, Dzaky! Tak salah aku menghubungi orang sepertimu."
"Ya benar, ini aku Georgi, si anak orang kaya yang terjerat kasus prostitusi. Ayolah berkunjung ke mansionku, aku sungguh ingin membalas segala kebaikanmu selama di penjara," lanjutnya kemudian.
"Beri aku uang, jika kau ingin membalasku," celetuk Dzaky yang kini memutuskan untuk bersantai di atas sofa berdebu, dengan mengunyah kudapan lembab yang terlihat sudah kedaluwarsa sejak satu tahun yang lalu.
"Dendammu pada Sekolah Seni Rhode, benar?"
Dzaky melongo, menelan air liurnya kasar, lalu menjawab dengan nada yang sedikit naik oktaf, "Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?"
"Aku tidak mungkin memilih rekan yang sama sekali tak kuketahui akarnya," jawab lelaki ber-asma Georgi itu, "jadi datanglah ke mansionku, sebab aku punya tawaran yang menarik untukmu."
Bukannya membalas dengan perkataan 'ya' atau sekadar deheman disertai anggukan kecil saja, Dzaky justru memilih jalannya sendiri. Ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Persetan dengan uang yang banyak, aku lebih ingin mengatasinya sendirian sampai mati."
Ya, memang sudah kodratnya seperti itu. Bagi seorang pemuda miskin yang kini hidup sebatang kara, lebih baik mati tanpa melibatkan siapa pun.
⠀
HAPPY READING
see you on next chapter.
Selalu beri suara dan tinggalkan komentar untuk setiap chapternya ya, semoga kalian selalu mendukungku. Aamiin.
KAMU SEDANG MEMBACA
MERCY (Tanpa Ampun)
Mystery / Thriller"Jika sudah waktunya, biarkan aku mati. Aku sangat lelah dengan hidup ini," gumamnya mengartikan bait akhir lagu kegemarannya itu. [THRILLER/MISTERY - FICTION] @qwertyears [bahasa narasi baku] SUDAH TAMAT