BAB 6 - Aku Diciptakan Untuk Itu

424 31 1
                                    

Siang itu Caiden memenuhi undangan makan siang oleh Kangjeng Gusti Pangeran Lingga Haryatomo Kanigara, salah seorang pangeran di Madjakarta yang senang mengundang para aristokrat untuk makan siang di kediamannya. Sebuah keraton besar yang diisi oleh pendopo-pendopo dengan satu taman bunga besar, di tengahnya terdapat sebuah patung rajawali yang mengucur air dari moncongnya untuk mengisi kolam ikan di sekitarnya.

Keraton kecil yang megah itu kini di penuhi oleh para bangsawan yang sedang menikmati kue lapis mereka, dengan gorengan tahu berisi sayuran dan secangkir sirup merah yang menemani obrolan mereka.

"Bagaimana dengan kabar Nyonya Abrata, Tuan Abrata? Aku dengar beberapa hari yang lalu beliau tidak enak badan dan tidak menghadiri pesta di kediaman Malaisa?" tanya Kangjeng Gusti Lingga kepada Caiden yang tengah menyeruput sirupnya.

"Ya, benar Kangjeng Gusti. Ibuku mendadak panas dan memilih untuk absen dari pesta di kediaman Malaisa," jawab Caiden.

"Aku memiliki obat penurun demam dari China. Jika kamu mau, sebelum pulang ambilah dengan pelayanku di dapur keraton."

"Baik, Kangjeng Gusti. Kerendahan hatimu akan sangat membantuku." Caiden berterima kasih dengan mengangkat gelas sirupnya. Dan para pria itu menyeruput sirup merah mereka.

"Kita akan mengakali hasil runding taruhan pacu kuda di Senopati nanti, bagaimana?" usul Tuan Dnovan bersemangat.

"Aku setuju, dengan begitu hasil taruhannya akan lebih besar," sambung Tuan Hawari membuka kertas taruhannya.

"Kita juga bisa menggaet banyak petaruh untuk melakukan taruhan." Tuan Ratj menyambung dengan meletakkan kertas taruhannya juga.

"Kita berada di kubu yang sama," ucap Tuan Hawari bertos ria dengan Tuan Ratj.

"Tentu saja, Moreo adalah kuda terbaik di Senopati, setuju?" Tuan Ratj menunjuk satu persatu dari para pria itu dengan semangat.

Kangjeng Gusti Lingga tertawa, "Aku akan mengikuti saja."

"Apakah itu dibolehkan, Tuan Abrata?" tanya Rendjhani Karunasankara yang terlihat tidak tertarik sama sekali dengan pembicaraan mereka.

"Kita lihat nanti di lapangan, tuan-tuan. Kecurangan biasanya tidak diterima di Senopati," tutur Caiden setelah menyeruput habis sirup merahnya. Lalu pria itu izin untuk pamit dan mengambil obat ibunya di dapur keraton.

Di pendopo lainnya, para perempuan ambisius tengah berunding untuk menentukan siapa yang akan menjadi tangan kanan Nyai Sri Lankat. Dikarenaka wanita tua itu kini sedang berada di balik jeruji hitam gedung putih, klub merpati menjadi tidak aktif dan beberapa anggotanya bahkan sudah mengundurkan diri. Kini hanya tersisa lima dari sekian banyak yang bergabung, mereka adalah Aghnia Saad, Nona Sartika, Ivana Djokovic, Nona Marlina, dan Raden Ajeng Gladis Hariyatomo Kanigara.

"Aku mengusulkan Nona Saad untuk mengambil kursi kepemimpinan di saat Nyai Sri tidak ada, bagaimana?" tanya Nona Marlina. Perempuan dengan rambut keriting ikal sebahu, dia adalah seorang anak salah seorang penyair terkenal di Batavia. Dia senang mengikuti pertemuan-pertemuan rahasia mengenai isu politik Eropa di lorong gelap Pegangsaan.

"Aku tidak keberatan," jawab Aghnia berdeham percaya diri.

"Tetapi aku tidak melihat bakaran semangat itu, Nona Saad," bantah Sartika yang tegas dan berwajah garang. Dia adalah seorang pejuang paling pemberani dari mereka semua. Nona Sartika memiliki latar belakang sebagai seorang perwira di masa lalunya, dan semenjak kakinya pincang sebelah dirinya dikeluarkan. Mulai saat itu dia aktif dalam penyampaian hak-hak wanita di Hindia Belanda.

"Aku meragukan Nona Saad sebagai pemimpin sementara. Bukan berarti kamu tidak pandai dalam mengorganizir kelompok ini, Nona Saad. Tolong jangan salah paham," ucap Gadis lembut. "Hanya saja, aku melihat bahwa kamu sudah tidak seharusnya berorasi lagi. Jika mereka menandai wajahmu, maka akan sulit bagi kamu, kita semua untuk mempertahankan penyamaran ini."

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang