Gandi tersenyum malu, pelayan itu menggeliat ketika Caiden mencium seluruh tubuhnya dengan menggoda. Caiden tersenyum bahagia dan menggigit putting payudara wanita itu hanya untuk membuat Gandi meneriakkan namanya. Pintar sekali, Caiden. Ia bangga pada dirinya sendiri.
"Tuanku, aku menginginkan kamu," desahan Gandi membuat Caiden semakin ingin berlama-lama dengan wanita itu.
Setelah beberapa bulan tidak bertemu, Caiden pikir wanita itu akan lari darinya dan memilih pria lain. Nyatanya, Gandi hadir di sana, tepat di hadapannya dengan gaun merah dan lipstik bewarna yang sama. Caiden merasa seluruh romanya meregang terutama bagian yang terdapat di kedua pahanya yang mengeras ketika melihat wanita itu. Tidak butuh waktu lama untuk kembali mencicipi wanitanya. Caiden segera membawa Gandi ke salah satu rumahnya yang berada dekat dengan Lapangan Pacuan Kuda.
"Sebut namaku, Gandi."
"Tuan Abrata."
"Ya, begitu." Bibir pria itu menyusuri leher Gandi memberikan tanda di sana dan baik ke bibirnya sebelum akhirnya Gandi berteriak karena kenakalan kedua jari Caiden yang berada di tempat sensitif wanita itu.
"Tuanku, aku menginginkan kamu, di dalam."
Caiden menyungging senyum sinisnya dan memasukan kejantanannya yang sudah mengeras sedari tadi. Dia menanamkan dirinya dengan menggoda. Wanita itu mencakar punggung Caiden sementara pria itu memperdalam dirinya ke tubuh Gandi. Mereka mempercepat ritme untuk menemukan kepuasan bersama-sama.
"Gandi," suara Caiden yang parau dan mata mereka bertemu. Gandi dan Caiden semakin cepat dan wanita itu merasakan puncaknya ketika Caiden membenamkan dirinya jauh ke dalam tubuh Gandi. Ia merasakan seluruh tubuhnya bergemetar hebat karena gairah kepuasannya tersampaikan.
"Kamu memang hebat, Tuan Abrata."
"Berhenti memanggilku begitu, aku tidak lagi menjadi Tuan untukmu."
Caiden segera membenahkan dirinya. "Apa kamu akan pulang, sekarang?" tanya Gandi terheran. Karena biasa Caiden akan menginap bersamanya.
"Kamu bisa kembali sebelum fajar. Jangan sampai pelayan melihatmu, mereka datang ketika matahari terbit," ucap Caiden yang masih berbenah.
"T-tapi kenapa Tuanku?"
"Kamu datang di saat yang tepat. Aku membutuhkan seseorang untuk memuaskan gairahku dan itu bukan wanita itu. Aku memilihmu karena kamu ada di sana pada saat itu," kata Caiden dan dia keluar dari rumahnya. Meninggalkan wanita gelapnya yang meringkuk dibalik selimut hangat rumah yang diiming-imingi akan menjadi rumah mereka kelak.
"Hujan?" gumam Caiden dan dia mengeluarkan rokoknya lalu menghisapnya dengan dalam. Sialan, batinnya. Kenapa pelayan itu tiba di saat ini, di saat Caiden sangat menginginkan wanita itu. Caiden membuang pikiran buruknya dan menginjak rokok yang belum habis dia hisap.
"Sialan," umpatnya dan meludah untuk membuang semua pikiran buruk itu. "Aku tidak menginginkannya, aku tidak menginginkan wanita itu." Caiden terus mengulangnya di dalam hati agar ia sadar, bahwa dia tidak menginginkan wanita itu.
"Sialan," umpatnya lagi. Ketika dia menyadari bahwa dia meninggalkan Aghnia di lapangan pacu kuda. Caiden terus mengumpat dan dia menerjang hujan untuk mendapati wanita itu yang sudah menggigil di samping kudanya. "Bodoh," umpatnya lagi.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nona Saad?" tanya Caiden berteriak. Ya dia marah.
"Aku menunggumu, Tuan Abrata."
"Lantas mengapa tidak berteduh?" tanya Caiden lagi. Aghnia melihat sekelilingnya yang tidak terdapat tempat untuk berteduh, kecuali kandang kuda bau dan penuh lumpur karena hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Historical FictionAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...