Hari penutupan festival, Desember 2022.
"Benar-benar kacau semuanya, Bu!" teriak salah satu koordinator acara di balik panggung. "Cepat temukan pengganti Marka atau semua ini akan menjadi kacau!" teriak Jansen memijat pelipis dengan santai.
Festival seni tahun ini sangat kacau. Pembukaan festival yang tak sesuai ekspektasi, dan sekarang penutupan yang sungguh kacau balau. "Aku sangat menantikan penutupan festival ini, tapi malah menjadi kacau," gumam Jansen terus menggigiti jari jemarinya.
Bukan hanya Marka yang menghilang jelang acara penutupan, tapi juga para koordinator acara turut menghilang di hari penting. Beberapa di antaranya hanya tersisa tak genap dua puluh orang. Pun dengan rencananya untuk melenyapkan Marka buyar, gagal total.
Jansen hanya mengalihkan perhatian para hadirin sebentar dengan sambutan biasa layaknya seorang kepala sekolah biasa dengan embel-embel, "Maaf sebab saya tak bisa menampilkan apa-apa, lain kali saya akan bernyanyi untuk kalian semuanya."
Tak lama setelah sambutan tenang dari Jansen selaku pemilik yayasan, terdengar suara dentuman keras di balik layar. Kini akses ruangan mulai menutup satu per satu, hingga tak menyisakan akses udara segar dari luar.
Layar lebar yang tadinya ditutupi tirai, kini terbuka secara perlahan, menampilkan sosok yang tak asing bagi mereka. Bising bunyi penderek dari arah panggung memecah keributan di tengah para hadirin.
Dari para petinggi yang hadir, hingga para penjaga pun tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Mereka seolah sedang dikepung, entah oleh siapa. Layar lebar yang tadinya gelap, kini disorot hingga menunjukkan sebuah video yang menarik. Pun dengan cahaya penyorot lainnya yang kini turut menyorot ke arah jansen, sang bintang utama dalam video tersebut.
"Ibu ... aku membunuh Djaya."
Suara bising dari berbagai arah mulai terdengar bergelombang. Semuanya berasal dari kursi penonton, "Djaya penerima beasiswa lima tahun yang lalu itu?" Ini adalah berita yang membuat semuanya terpecah belah, dimana seorang Alindra mengakui kesalahannya di masa lalu.
"Tidak ..."
"Elvin satu-satunya orang yang melihatku melakukannya, Ibu. Aku s-sekarang harus bagaimana?!"
Rekaman video percakapan mereka dari lima tahun silam kini terungkap di hadapan publik. Sementara Jansen hanya terus membelalak tak percaya lantas bergumam, "t-tidak ... tidak Alindra ..."
"Tenanglah, Nak. Kau hanya perlu bungkam atas segala kejadian hari ini, biar ... biar Ibu yang memalsukan kematiannya. Anggap saja Djaya mati bunuh diri, dan itu semua tak ada kaitannya denganmu."
Bisikan demi bisikan kian merantai raganya, Jansen terus menerus menggeleng di hadapan para hadirin seraya berseru, "t-tidak! Itu semua fitnah! Jangan dipercaya! Semuanya direkayasa, h-hentikan ini semua!
"Dan kau Elvin, jika ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirmu nanti, maka kau dan keluargamu akan kubuat jatuh tersungkur hingga kalian tak dapat bangkit kembali. Paham?!"
Kini rekaman videonya terganti, digantikan oleh rekaman lainnya yang juga tak kalah sadis dari sebelumnya. Cukup untuk membuat mental Jansen merosot jauh ke bawah.
"Nak Marka, pikirkan baik-baik. Jika kau mau menerima tawaranku untuk pindah ke Kanada, maka aku akan memutus tuntutanku terhadap Ibumu, dan omsetku di sana akan menjadi milik keluargamu seutuhnya. Kau hanya perlu belajar dan menetap di Kanada, jangan kembali ke Indonesia, kau bisa mengacaukan karir Alindra."
"Ia membesarkan nama putrinya dengan licik begini rupanya? Wah, benar-benar gila!" Berbagai komentar buruk mulai memecah kepala Jansen. Berdamai dengan dirinya saja belum usai, dan kini ia ditimpa hal baru yang lebih membuat pusing kepala.
Namun rekaman yang diputar berikutnya menjadi puncak dari segalanya. Jansen tersungkur di atas panggung megah bertajuk klasik itu, segera setelah rekaman tersebut diputar kembali. Rekaman CCTV yang menunjukkan aksi pembunuhannya pada putrinya sendiri, Alindra. Ia mencekik putri semata wayangnya sendiri tanpa sadar hingga ia meregang nyawa.
"S-siapa sebenarnya kau?!"
Setelah seluruh rekaman kebusukan Jansen dan juga perlakuan buruk para siswa-siswi Sekolah Seni Rhode terungkap, layar pun berganti menampilkan sosok pria yang tak asing di mata para hadirin termasuk Jansen.
"Halo. Saya Ragas- tidak, saya sebenarnya adalah Dzaky, kakak dari siswa Djaya. Orang yang lima tahun lalu kalian jerat dalam kasus tak penting terkait sekolah ini," ucapnya terdengar dari berbagai sudut ruangan.
Tanpa dijelaskan pun, tentu sudah diketahui makna dari kejadian hari ini. Raut wajah Dzaky benar-benar tak berubah, namun satu yang paling pasti, ia kembali lagi untuk menuntut keadilan atas semua hal yang terjadi pada Djaya selama di yayasan ini.
"Ya Tuhan! Bukannya itu guru baru yang diperkenalkan minggu lalu?!" Para penghuni dalam ruangan mulai saling menyahut, berteriak seiring bunyi decitan derek yang mulai menampilkan dua tubuh manusia digantung berdampingan tepat di atas tubuh Jansen yang tersungkur lemah di panggung aula. Keduanya telah mati. Ya mereka, Markatian dan Alindra.
"Anakku ... Anakku Alindra!" teriak Jansen mendongak lantas tubuhnya telah ditetesi darah segar yang mengucur keluar dari tubuh Markatian.
"Adikku ditindas, dipukuli, dimusuhi, hingga dibunuh di sekolah ini. Bahkan ketika Adikku meminta bantuan dengan bahasa isyaratnya, tak ada satu pun yang peduli. Itu sebab mereka merasa memiliki kasta yang lebih tinggi," pinta Dzaky kembali membuka suara.
"Ketika Adikku berusaha bercengkerama dengan siswa lainnya, mereka hanya terus menghinanya. Tuli, bisu, miskin, yatim piatu, itu yang setiap hari ia dengar di sekolah ini. Padahal ia selalu menjadi juara satu umum sejak kelas awal," ucapnya terus berlanjut membuat keheningan bagai sedang mendengarkan ceramah agama.
"Kalian bahkan tak tahu, betapa cerianya ia ketika berjalan menuju gerbang sekolah, pulang dari sekolah, hingga memar yang ia dapatkan setiap hari dari sekolah. Ia sangat menyukai sekolah ini, amat sangat ..."
Dzaky berhenti sejenak, tampak mendongak lalu memejamkan mata pedih. Ini terlalu pedih untuk diceritakan kembali bagi Dzaky, sangat pedih hingga air matanya pun tak lagi meluruh jatuh di pipinya.
"Kalian terlalu sibuk mengurusi kedudukan dan harta kalian, hingga lupa cara memanusiakan diri sendiri," ucapnya kembali menatap pada layar.
Tatapan sendunya kini berubah berapi-api, amarahnya kembali menjalar ke seluruh raganya, "Selamat tinggal kalian wahai manusia yang tamak! Selamat tinggal pula untuk harta dan tahta kalian."
Dzaky menghilang dengan penuh dendam dari pandangan para hadirin, sesaat sebelum ledakan kabut asap beracun dari dalam aula kebesaran Yayasan Seni Rhode.
"Lihatlah hari yang indah ini. Kakak benar-benar berhasil membalas mereka tanpa ampun, Djaya," gumamnya.
HAPPY READING
sepertinya ini adalah akhir dari ceritanya deh, karena sudah banyak yang terungkap, bukan?🤔
see you on next chapter.
Selalu beri suara dan tinggalkan komentar untuk setiap chapternya ya, semoga kalian selalu mendukungku. Aamiin.
KAMU SEDANG MEMBACA
MERCY (Tanpa Ampun)
Mystery / Thriller"Jika sudah waktunya, biarkan aku mati. Aku sangat lelah dengan hidup ini," gumamnya mengartikan bait akhir lagu kegemarannya itu. [THRILLER/MISTERY - FICTION] @qwertyears [bahasa narasi baku] SUDAH TAMAT