**disarankan untuk baca sambil denger musicnya**
4番目の詩。
Aku benci pada diriku sendiri. Yang tidak ada di sisimu saat kau benar-benar membutuhkan seseorang.
Mereka di sana. Berjalan berdampingan satu sama lain dengan sambutan sorak sorai para shinobi yang menanti di sini. Tiap wajah pahlawan baru itu melukis senyum yang tak kunjung padam. Riuh rendah teriakan dan tepukan memuja para warga terdengar bak letupan di festival hanabi malam itu. Raut kebahagiaan mereka terpancar seolah bersujud syukur atas keselamatan mereka dari hantaman benda asing.
Sekian pasang tungkai kembar itu berhenti tepat di sisi penyangga atap gedung Hokage. Masih dengan senyuman, sapaan lambaian tangan, dan terkadang dihiasi kekehan dari sang pahlawan, idola baru yang dipuja tiap warga.
Balutan perca coklat yang melingakari dahi seorang pemuda terlihat lebih turun dari sebelumnya; semakin menutupi manik kembar berbeda pupil. Pria itu berdiri dijajaran para shinobi lain, berbaris di tengah atap, di belakang para pahlawan.
Perca penghalangan penglihatannya tidak menyurutkan pupil kembar itu bergerak dan terkunci dengan pasti. Menatap punggung mungil yang tertutup dengan helaian surai indigo di depan sana. Tak berkedip, enggan berpaling. Hanya menatap, tanpa angan untuk sekedar memikirkan distorsi penglihatannya.
Punggung gadis yang sama. Surai indigo gadis yang sama. Tutur dan perilaku lembut gadis yang sama.
Kendati jarak realita di antara mereka hanya sebatas tujuh langkah, nyatanya jarak imajinernya seluas dunia. Dengan ketidakmampuan si pria untuk sekedar mendekat, mengucapkan 'terima kasih sudah kembali dengan selamat'.
Pengecut.
Bibir bergaris datar sepanjang waktu kini berubah arah, melengkung naik keatas di salah satu sudutnya. Menyeringai seperti iblis padahal yang ia pikirkan adalah seorang malaikat. Si gadis lemah lembut dan dirinya yang kuat namun pengecut.
Demikian pula pikiran yang berkecamuk tanpa henti itu menjadi alasannya berdiri di pagar kayu sebuah kediaman. Kediaman yang sangat besar. Bahkan dirinya yakin, ia tidak akan mampu mengingat letak setiap ruangan di kediaman enam atap dan dua lantai di hadapannya.
Memorinya seolah terpaksa ditarik mundur ke kejadian beberapa hari yang lalu. Saat pemuda itu sedang berdiri di dekat bangsal seorang pria paruh baya. Tubuhnya memang di sana, di sudut kamar di bawah bayangan gelap. Namun tidak perlu cahaya yang gemerlapan, bahkan Hiashi yang setengah sadar pun tahu betul pria itu hanya menitipkan raga di sana, tanpa jiwa dan asa.