Aku Ailyn. Biasa dipanggil Lyn. Gadis berumur 18 tahun yang kini hidup di atas pijakan duri. Tidak begitu sakit, karena aku sudah biasa melewatinya.
"Ai, sini deh."
Baru saja masuk ke rumah, Mama sudah menungguku di ruang tengah. Duduk santai di sofa.
Aku menghampiri Mama dan duduk di sebelah Mama.
"Besok Ai sudah boleh masuk di kampus xxx, jangan lupa soal semua tugas yang diberikan Papa kepada Ai ya..." Mama menatapku lembut. Tapi di mataku, Mama menatapku tajam. Aku segera memejamkan mata sejenak dan mengalihkan pandanganku dari mata Mama.
"Ai, kenapa? Ai sakit?"
"Gak papa, mungkin capek aja. Ai ke atas—"
"Urusan sama Tio udah selesai?"
"Kau benar-benar sudah game over, Ailyn."
Pengulangan ucapan Tio melintas ketika Mama menyebutkan nama itu.
Game over ya...
Aku rasa belum.Aku menoleh menatap Mama, tersenyum kecil dan berucap, "Sabar ya Ma, Mama tau kan Tio itu orangnya keras kepala. Ai belum bisa beresin bagian 'itu'."
"Begitu?" Raut wajahnya berubah begitu saja.
"Ya. Ai yakin besok Ai bakal—"
Aku menghentikan ucapanku ketika Mama meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya.
"Kalau dirasa Ai gak sanggup, Ai bisa kok berhenti di sini."
"Ai mau berhenti? Ai mau sia-sia in 10 tahun itu?"
Deg!
Ucapan secara langsung dan secara tidak langsung memiliki arti yang berbeda."Mama jangan bilang gitu ah, Ai janji pasti bisa," Aku semakin gencar menyakinkan Mama. Walau akupun tidak yakin kalau Tio akan menerima keberadaan ku lagi setelah apa yang kulakukan tadi.
"Ya... Pasti bisa." Raut wajah Mama kembali hangat lagi.
"Harus bisa!"
Sekarang. Setelah membuka mata dengan lebar, semuanya terasa palsu.
***
Seorang Ayah seharusnya mengajak Putrinya bermain di taman, bukan bermain di ruangan sempit yang penuh dengan cairan berwarna merah.
Tapi itu berlaku hanya pada Gadis kecil manis, lugu dan imut saja. Gadis kecil seperti ku tidak berhak memiliki kenangan manis itu.
***
Aku mengintip di celah pintu, menatap seorang Pria tua yang tak berdaya hanya bisa duduk di kursi roda menatap ke arah luar jendela. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, aku ingin mengetahuinya.
Apa dia menyesalinya?
Aku ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan itu.
Aku yang dulu penakut kini berubah menjadi pemberani, karenanya. Aku tidak tahu apa aku harus berterima kasih atau memarahinya. Karena, aku yang dulu cenderung diam dan memiliki banyak teman, tapi tidak berlaku lagi sekarang. Semuanya menghilang begitu saja berjalannya 10 tahun dengan sangat cepat.
***
"Ai, jangan cengeng! Coba lihat mata Ayah, tajam seperti elang. Bisa memangsa siapa saja yang mengganggu Ai. Sekarang katakan, siapa yang membuat Ai Ayah ini nangis?" Tanya Ayah memegang kedua bahu Ai yang bergetar karena tangisannya tak kunjung berhenti.
Ai yang masih lugu itu hanya bisa menuruti perkataan Ayahnya itu. Ditatap nya mata itu dengan intens. Tak lama Ai tersentak dan mundur beberapa langkah dari Ayahnya.
Gerakan itu membuat Ayah menyeringai, "Baiklah. Ai milik Ayah sekarang."
Ai tidak mengerti apa yang dikatakan Ayah, tapi setelah bertahun-tahun berada di genggaman sangat Ayah, Ai mulai memahaminya.
Ai dijadikan sebagai seorang pemeran utama di dalam sebuah permainan sang Ayah.
Dari yang lemah, cengeng dan manja, berubah menjadi kuat, tegar dan tegas.
***
Tok tok tok.
"Masuk."
Aku membuka pintu lalu menutupnya dengan pelan.
"Ada apa? Apa kau mau melempar sesuatu yang berat?" Tanyanya menyindir.
Aku hanya diam, tak mau berlama-lama lagi aku segera duduk di lantai.
"Ng?"
Dengan kepalan tangan yang erat, aku memohon kepadanya. "Tolong aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
LIFE IS A GAME
Fiksi PenggemarMenurutku kehidupan itu sama seperti game. Kamu tinggal pilih continue atau exit, itu akan menentukan alur selanjutnya.