Sunni-Syiah: Saudara Kandung yang Kerap Bersitegang
Merujuk pada sejarah Islam, Sunni-Syiah merupakan 2 kelompok yang berakar pada perbedaan pandangan dalam melihat pengganti Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya Beliau.
Pihak Syiah menilai bahwa pengganti Nabi haruslah berasal dari keluarga Nabi. Sedangkan pihak Sunni, pengganti Nabi tidak harus berasal dari keluarga Nabi.
Sehingga Nabi membuat kesimpangsiuran dalam menentukan siapa penganti Beliau. Kala itu, Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin menggantikan Beliau. Sementara, ada sebagian kelompok yang menilai seharusnya, Ali yang menjadi pengganti karena Ali merupakan keluarga dekat Nabi.
Perbedaan pendapat ini menjadikan kelompok pendukung Ali menjadi kelompok yang berseberangan dengan mainstream dan menjadi kelompok yang dinamakan Syiah.
Perbedaan ini kian genap ketika terjadi perang Karbala antara pihak keturunan Ali dan pengikutnya melawan dinasti Muawiyah pada tahun 680 Masehi di tanah lapang bernama Karbala, Irak.
Pada pertempuran ini Hasan dan Husein, cucu Nabi, wafat. Kejadian ini kemudian diperingati sebagai hari suci oleh Syiah setiap 10 Muharam.
Hingga kini Sunni-Syiah kerap berseberangan. Di Timur Tengah sana, Lebanon dan Suriah, Sunni-Syiah berperang. Ketegangan Sunni-Syiah di kedua negara tersebut membawa instabilitas di kawasan Timur Tengah secara umum. Dan ternyata tidak hanya di Timur Tengah, di Indonesia pun pergesekan antara Sunni-Syiah kerap terjadi.
Ternyata perkembangan Syiah tidak berhenti, Syiah kian berkembang terutama semenjak Revolusi Iran 1979. Di Indonesia, menurut Jalaludin Rahmat, Tokoh Syiah Indonesia, mengatakan Revolusi Iran menjadi momentum berkembangnya Syiah di Indonesia.
Banyak pihak yang salut dengan Revolusi Iran, karena dilakukan tanpa kekerasan. Namun, berhasil menggulingkan Syah Iran Pahlevi kala itu. Kemudian menggantikannya dengan pemerintah Mullah Syiah hingga saat ini. Dari sinilah lantas, Syiah mulai marak di Indonesia.
Sejak saat ini pula, seiring dengan berkembangnya Syiah, lingkungan sekitar yang Sunni merasa terganggu dan mulai muncul sikap keberatan terhadap Syiah yang dipimpin oleh Tajul Muluk ini.
Pada konflik Agustus 2012 ini menurut data yang dihimpun oleh kontras.org, terdapat 1 orang meninggal dunia, 1 orang luka berat, 15 orang penganut Syiah belum ditemukan, bangunan terbakar di 48 lokasi yang merupakan milik 64 keluarga, 1 unit motor dan beberapa hewan ternak ikut terbakar.
Sunni-Syiah: Arab Saudi vs Iran?
Sempat dijelaskan di awal, konflik Sunni-Syiah terjadi dimana-mana, terutama Timur Tengah. Dan kini di Indonesia. Dalam penelurusan terdapat argumen yang menyatakan bahwa konflik Sunni-Syiah merupakan manisfetasi dari ketegangan di Timur Tengah antara pihak Arab Saudi dan Iran.
Arab Saudi di satu sisi sebagai negara kerajaan yang bermahzab Sunni dan Iran sebagai negara republik Islam yang bermahzab Syiah.
Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran secara jelas terlihat semenjak terjadinya Revolusi Iran 1979. Sejak itu, Arab Saudi dan negara-negara berbasis kerajaan di Timur Tengah merasa terancam akan menularnya Revolusi Iran di seantero Timur Tengah.
Digambarkan misalnya, ketika terjadi perang Iran-Irak. Arab Saudi jelas mendukung Irak dari segala lini. Karena Iran dianggap mengancam otoritas kerajaan Saudi.
Penjelasan yang sama dikemukakan juga oleh Agus Sunyoto, Wakil Ketua Lesbumi NU yang direkam oleh Tempo.co.id. Menurutnya, Ayatollah Khomaeini yang mempelopori berdirinya Republik Demokrasi Islam, yang kemudian membawa Iran menjadi dengan dibawah kekuasaan ulama menjadi mompok bagi penguasa Timur Tengah yang di dominasi oleh negara kerajaan.
Maka untuk membendung ini, berapa pun dana dikeluarkan untuk menumbuhkan gerakan anti Syiah.
Pertarungan antara Arab Saudi dan Iran kian terlihat vulgar ketika Arab Saudi menghapus nama Israel dari daftar musuh dan mengalihkan kewaspadaan pada Iran.
Republika.co.id memuat bahwa mengacu pada Nahrain.net Departemen Informasi Saudi memerintahkan media-media di negaranya tidak mempublikasikan artikel tentang bahaya Israel, namun lebih memfokuskan pada ancaman Iran terhadap Timur Tengah.
Penjelasan ini terlihat bahwa Revolusi Iran ternyata dipandang negatif oleh negara kawasan Timur Tengah lainnya. Arab Saudi misalnya, merasa terancam karena takut jika Revolusi Iran kemudian menular keseantero Timur Tengah.
Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa Arab Saudi sebagai negara Timur Tengah yang seringkali diasosiasikan dengan umat Sunni kurang bersahabat dengan Iran yang menjadi pusat Umat Syiah. Dan hal itu berlangsung hingga saat ini.
Hal ini sekaligus memberikan peneguhan bahwa konflik Sunni-Syiah tidak sekadar memiliki akar historik namun juga memiliki kaitan dengan konflik pada tataran global yang terjadi di Timur Tengah antara Arab Saudi dengan Iran.
Kompleksitas Konflik Sunni-Syiah Sampang
Konflik Sunni-Syiah Sampang bukanlah sekedar konflik sederhana, karena memiliki akar historik dan kaitan dengan konflik global. Dari ulasan ini, selayaknya pemerintah siap bahwa ada potensi konflik yang begitu tinggi dan jangan sampai Indonesia menjadi loyang konflik sebagaimana yang terjadi diluaran sana.
Namun, tidak dengan menjadikan pihak yang dipersekusi sebagai obyek dan sumber masalah. Merujuk pada Burton, konflik terjadi karena terhambatnya pemenuhan kebutuhan manusia (Burton: 1990).
Hal yang bisa dilakukan salah satunya, dengan bagaimana mengupayakan ruang publik bersama yang dapat digunakan oleh masing-masing pihak yang berbeda untuk membangun interaksi yang sehat. Tidak seperti selama ini pihak yang berkonflik tersebut hidup terklaster dengan kelompoknya sendiri-sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
artikel opini ilmu kalam
Science FictionKonflik Sunni-Syiah Sampang bukanlah sekedar konflik sederhana, karena memiliki akar historik dan kaitan dengan konflik global.