Jadi, Kakak Harus Apa?

27 1 0
                                    

genre : broken home, wrong treatment

Jisung as Jidan (adek)
Mark as Marcel (Pacar Amara)
Chenle as Leo (teman Jidan)
OC as Amara



"Assalamu'alaikum, aku pulang"

setelah memastikan tidak ada yang menjawab salamnya Jidan memilih untuk langsung membuka pintu rumah dan masuk kedalam.

ia tutup kembali secara perlahan pintu rumahnya.
Jidan arahkan pandangannya kejam dinding disebelah kanan.

'pukul 11 malam ya' batin Jidan tersenyum kecut.

Jidan masuk kedalam dapur karena haus, dapat ia lihat sang kakak sedang tertidur dengan tangann dan kepalanya diatas meja makan, ah dan sepiring nasi goreng di tengah meja.

'itu buat aku?' batin Jidan

Jidan menggelengkan kepalanya, "ck dia gapeduli sama gua, mau gua mati pun gaakan" gumamnya kesal sembari membuka pintu kulkas kasar

membuat Kakaknya yang peka pendengaran langsung terbangun, "oh Jidan udah pulang?"

Jidan tidak menjawab pertanyaan kakaknya, dan dapat Jidan dengar nafas berat kakaknya, Jidan tidak peduli, ia lelah, lapar, dan mengantuk sekarang.

"Jidan kamu udah makan? tadi kakak tanya Leo kamu belum makan soalnya"

Jidan memutar bolamatanya malas, "belum, dan kenapa kaka tanya Leo? gabisa langsung telepon aku??"

Amara menggeleng-gelengkan kepalanya takut Jidan salah paham, "engga, kaka takutnya sibuk, kan kamu bilang mau balapan? jadi kaka coba tanya Leo"

Jidan tertawa kecil mendengar jawaban Amara, kakaknya.

"ini" tunjuk Jidan kearah sepiring nasi goreng dimeja makan.

"punya siapa?" tanyanya

Amara tersenyum manis
"punya kamu, kakak masakin barusan, dan maaf kaka ga nyambut kamu dipintu tadi soalnya udah ngantuk banget, ini makan dulu Ji" balas Amara

Jidan hanya mengangguk anggukan kepalanya asal, ia tidak begitu mendengarkan Amara, perutnya begitu keroncongan sekarang.

Amara bangkit dari duduknya setelah memastikan Jidan memulai makan malamnya, "kamu mau minum apa? kaka bikinin" tanya Amara memastikan.

"gausah, udah sana kaka kerja aja" balas Jidan masih fokus dengan makanannya.

Amara menghembuskan nafasnya panjang, ia kembali mendudukkan diri dan memperhatikan Jidan menikmati makanannya.

'Maaf Jidan, kaka sibuk banget ya? kakak tinggalin kamu sejauh mana ji? kamu butuh kaka terus ya? maaf kaka ga selalu ada buat kamu ji, maaf kaka bukan orangtua dan kakak yang baik buat kamu'

ingin sekali Amara ucapkan kata demi kata itu, kalimat itu sudah terpendam lama didalam hatinya, ego membuat Amara bisu, Amara hanya memperhatikan Jidan sembari menelan betapa pahitnya hidup mereka berdua yang sebatang kara.

karena Amara tidak ingin membuat hubungan ia dan adiknya merenggang ia berusaha sebisa mungkin untuk menjadi keluarga yang baik, seperti saran kekasihnya Marcel, mereka kan sama sama laki laki, kadang Laki laki adalah makhluk ciptaan tuhan yang sangatlah membutuhkan kasih sayang.

mereka terlalu lama dikenal dengan 'yang paling kuat' jadi karena itulah menjadi lemah akan membuat mereka seakan-akan adalah sampah yang tak berguna.
mereka juga membutuhkan peluk dikala kesedihan datang, mereka tetaplah manusia.

"eumm tadi gimana balapanmu, menang?" tanya Amara basa basi.

"ck, kenapa? kaka mau minta duit taruhan aku?" tanya Jidan, yang masih fokus dengan kesibukannya.

"k-kok gitu, engga Jidan, kaka cuma pengen tau aja adek kaka ini hebat ngga, kamu tau kan abang hendra itu keren banget dulu, sampe dijulukin panglim-"

brak

Amara yang tadinya tampak antusias bercerita mendadak berhenti karena gebrakan Jisung diatas meja.

Jisung menjatuhkan sendok yang barusaja ia gunakan diatas piring kasar, sehingga cukup nyaring bunyinya.

"k-kenapa Jidan? Jidan ada masalah ? mau cerita sama kakak ga?" tanya Amara pelan, sejujurnya ia takut sekali.

Jidan tersenyum kecut sembari memijat pelipisnya pening, "kakak, kaka itu ga pernah khawatir sama aku ya?"

"kenapa kaka malah bangga banggain title jelek itu? orangtua sama kakak temenku selalu marahin mereka, kaka gapernah tuh marah marah kalau aku main sampe malem, kaka juga gapernah marah kalau aku balapan?"

"kaka gatakut aku mati kaya abang yang kecelakaan di arena karena balapan?"

Amara menatap Jidan heran, "engga Jidan, jangan ngomong gi-"

"kakak juga tau aku ngerokok, kaka juga ga marahin aku, justru ka Marcel yang sama sama cowok malah marah sama aku, kaka ga peduli sama aku?"

Amara menggeleng-gelengkan kepalanya ribut "engga Jidan, maksud kaka tuh-"

"kaka ga lupa kan papah meninggal karena rokok? kaka galupa kan papah kesepian kehilangan mamah dan lari ke rokok, kaka juga pasti gaakan lupa doktee bilang aku gaboleh ngerokok, tapi kenapa kaka diem aja, KENAPA KAK!??"

"kaka se ga peduli itu ya sama aku?"

Jidan menitihkan air mata karena sudah terlalu emosi.

Amara merasakan sakit dihatinya begitu dalam, ternyata selama ini Jidan butuh perhatian seperti itu, bukan kebebasan yang dulu dia inginkan.

Amara kecewa dengan dirinya sendiri, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Jidan menitihkan air mata dibalik jemari tangannya yang menyembunyikan Jidan yang lemah.

Amara kecewa dengan dirinya karena tidak menjadi keluarga yang baik untuk Jidan.

Amara bangkit dari duduknya, berjalan pelan kearah Jidan yang semula duduk disebrangnya, Amara hadapkan kursi Jidan kearahnya, Amara usap kepala Jidan dengan lembut, Amara bisa dengar suara tangisan itu, Jidan yang lemah.

Amara mendudukkan diri dilantai dengan lutut sebagai tumpuannya, ia peluk Jidan yang masih menutupi wajahnya.

"Jidan, kakak minta maaf"
"Jidan kaka gatau bagaimana caranya menjadi orangtua, Jidan kaka itu anak kedua, kaka juga gatau bagaimana caranya menjadi seorang kakak buat kamu, Jidan kamu sama kakak itu udah dari kamu umur 8 tahun, mamah pergi, kakak rawat kamu layaknya seorang anak kecil biasa, kakak dulu saat masih menjadi seorang anak, kakak sedih, kakak mau bebas, kakak mau kesana kemari tanpa larangan, kakak mau coba ini itu tanpa rasa takut, kakak mau jadi ini itu tanpa perlu memikirkan pendapat orang, kaka juga mau bebas Jidan, tapi gabisa"

"karena itu, kakak kira kalau kaka kasih kamu kebebasan kamu akan bahagia, kaka kerja banting tulang biar apa yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan dengan mudah"

"kamu gaperlu seperti kaka yang menunggu dapat uang bulanan karena keluarga kita yang dipaksa hidup berkecukupan, kaka minta maaf Jidan, kaka gabisa jadi orangtua dan kakak yang baik buat kamu"

dapat Amara rasakan sentuhan di bahu nya, itu Jidan yang menuntunnya untuk berdiri dan bangkit, Amara bangkit, ia tatap wajah sendu Jidan yang membuatnya sedih.

Jidan bawa Amara kedalam dekapannya "maaf kak, Jidan gatau"

kini, Amaralah yang menangis.

"J-jidan, kakak itu khawatir sama kamu, khawatir sekali" dalam peluk mereka amara bicara.

Amara katakan semuanya,
perihal Amara yang khawatir dengan Jidan, lalu berakhir dengan bertanya pada Leo
perihal Amara yang takut Jidan kecanduan dan meminta Marcel untuk menegurnya agar tidak merokok
perihal Amara yang sibuk bekerja agar selalu bisa memberikan apa yang Jidan minta dengan tepat waktu.
perihal Amara yang selalu menunggu Jidan pulang setiap malam.
perihal Amara yang takut dan gemeter ketika merawat Jidan yang sedang sakit ringan.

perihal mereka berdua yang hidup berdua dengan kesendirian.

perihal Amara dan Jidan, saudara kandung yang pada akhirnya menemukan jalan keluar.









one shootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang