48. Fatimah : Aku takut

10 2 0
                                    

Aku melihat Kak Atika yang sudah tertidur dilantai kamar mandi. Jika melihat kondisi ini, sudah dipastikan ia sedang pingsan. Aku mendekatinya, terasa kulit yang dingin serta bibirnya yang pucat. Kudekatkan jari tanganku tepat didepan hidung Kak Atika.

"Alhamdulillah masih bernafas."

Aku berlari keluar kamar dan mengambil selimut kemudian kembali pada Kak Atika yang kubalut dengan selimut tadi. Aku mencoba tenang mengambil ponsel dalam tas. Tanpa berpikir lama aku segera menelepon Aidin. Alhamdulillah respon Aidin cepat dalam menjawab.

"Halo assalamu'alaikum Aidin, bisa minta tolong ke rumah Kak Atika dengan membawa mobil sekarang? Kak Atika pingsan. Terima kasih," tanpa menghiraukan jawaban Aidin aku langsung menutup telepon dan kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas.

Tanpa menunggu Aidin, aku mengambil kaos kaki, jaket, dan kerudung Kak Atika dalam lemari. Segera aku pakaikan pada Kak Atika yang masih tidak sadarkan diri. Aku juga berlari ke kamarku untuk mengambil semua keperluanku serta kumasukkan dalam tas besar, tak lupa aku juga mengambil keperluan Kak Atika serta semua administrasi yang akan di perlukan.

Waktu yang pas sekali, ketika semua sudah selesai kusiapkan, Aidin datang dengan membawa mobil.

"Assalamu'alaikum, ada apa?"

Aku menjawab dengan terburu memasukkan tas dalam mobil, serta membuka pintu tengah agar Kak Atika segera masuk. "Tolong angkat Kak Atika, dia ada di kamar mandi kamarnya."

Melihat aku yang tak punya banyak waktu, Aidin dapat diajak kerja sama dengan cepat melaksanakan instruksiku. Kamipun pergi ke rumah sakit. Dalam perjalanan aku dan Aidin saling diam, kurasa Aidin mengerti bukan saat yang tepat untuk saling mengobrol. Aku tiba-tiba teringat Umi, maka segera aku menelepon Umi.

"Assalamu'alaikum Umi?"

"Umi, Fatimah ingin mengabarkan kalau Kak Atika pingsan dirumah."

"Fatimah juga belum tau kenapa bisa sampai pingsan, Umi."

"Ini sekarang Fatimah sedang perjalanan ke rumah sakit."

"Umi mau nyusul? Yasudah nanti Fatimah share location kalau sudah sampai."

"Baik Umi, Assalamu'alaikum."

Aku mematikan telepon dari Umi dan tanpa sadar melihat spion mobil bagian tengah yang langsung bertabrakan dengan tatapan Aidin, namun Aidin segera fokus menjalankan mobil lagi. Aku selama perjalanan terus menggenggam tangan Kak Atika yang mulai menghangat dan tak lupa terus berdzikir memohon keselamatan Kak Atika.

Butuh waktu 15 menit hingga sampai ke rumah sakit, Aidin langsung mengarahkan pada IGD dan aku segera turun meminta penjaga untuk mengambilkan brankar. Yang aku suka dari rumah sakit ini adalah aksi cepat tanggapnya dalam menghadapi pasien gawat darurat, alhamdulillah Kak Atika mendapatkan perawatan dengan cepat.

Aku duduk diruang tunggu hingga Aidin datang dari arah parkir sambil membawa tas yang sebelumnya sudah aku bawa. Ia mendekatiku sambil menurunkan tas tepat disebelah kakiku.

"Terima kasih Aidin, aku benar-benar tidak tau harus telpon siapa jika bukan kamu. Mohon maaf merepotkanmu," ucapku tulus yang disambut hangat oleh Aidin sambil tersenyum.

"Tak apa. Lain kali jika ada keadaan darurat seperti ini lagi kamu bisa menghubungiku."

Aku melepaskan tatapan dari Aidin untuk mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam, aku akan menghubungi Umi kembali melalui pesan. Setelahnya aku segera keruang administrasi untuk melakukan registrasi untuk Kak Atika.

"Aidin, aku tinggal dulu," Aidin hanya mengangguk.

*****

"Terima kasih kak."

Ketika aku selesai mengurus segala keperluan administrasi untuk Kak Atika, Umi datang dengan sembab disusul dengan Bapak dibelakangnya. Aku segera menghampiri Umi yang sedang terburu-buru karena khawatir.

"Umi, hati-hati," aku mengambil tangan Umi untuk salam dan kususul pada tangan Bapak.

"Bagaimana keadaan Kakakmu?" tanya Umi.

"Kak Atika masih dalam IGD, Umi. Ayo kesana, takut Kak Atika sudah sadar," aku mengajak Umi dan Bapak menuju ruang IGD dengan aku berjalan terlebih dahulu sebagai penunjuk jalan. Sedangkan Umi bergandengan dengan Bapak dibelakangku.

Saat sampai didepan IGD, Aidin yang menyadari kedatanganku segera berdiri menyambut Umi dan Pak Kyai dengan salam. Selama 10 menit menunggu dokter keluar membawa kabar, aku menjelaskan kronologi kejadian menemukan Kak Atika saat pingsan kepada Aidin, Umi dan Bapak. Hingga pintu IGD terbuka, kami langsung mengerubungi dokter tersebut.

"Bagaimana keadaan menantu saya dok?" Umi mendahului kami semua.

Dokter tersebut melepas kacamatanya, "Ibu Atika saat ini sudah baik-baik saja, mohon maaf tadi sedikit lebih lama karena kami ingin memastikan kandungan Ibu Atika. Alhamdulillah Ibu dan anaknya sehat."

"Anak?" ucapku tanpa sadar.

Aku secara tidak sadar memutar kepala untuk melihat ekspresi keluargaku yang lain. Semuanya merasa terkejut sama denganku, bahkan Umi sampai menutup mulut. Bapakpun juga sama kagetnya walaupun tertutup dengan wajah dinginnya.

"Iya, saat ini Ibu Atika sedang mengandung. Untuk lebih jelasnya, saya akan merujuk Ibu Atika kepada dokter kandungan di rumah sakit ini."

"Alhamdulillah," aku mendengar Bapak berucap yang membuat kami semua mengalihkan atensi kepada Bapak.

Hingga kami semua merasa kaku ketika dokter menanyak sosok yang saat ini hilang dan justru sosok ini yang sangat dibutuhkan oleh Kak Atika.

"Suami Ibu Atika dimana ya?"

"Sedari tadi Ibu Atika menanyakan suaminya dalam keadaan tidak sadar."

*****

Kak Atika saat ini sudah pindah kamar, dan kami sepakat untuk memberikan kamar yang baik untuk Kak Atika. Tidak ada yang berani masuk ke dalam, baik aku, Aidin, Umi maupun Bapak. Kami masih terdiam dengan keadaan saat ini, seakan-akan kami satu pemikiran. Berpikir bagaimana jika Kak Atika tahu akan posisinya saat ini. Aku yakin ia akan semakin terpuruk, aku berpikir bahwa hamil tanpa adanya kehadiran suami sangatlah berat.

Tapi, tunggu.

Jangan-jangan Kak Atika sudah tahu jika ia sedang hamil?

Apakah ini alasan Kak Atika sering diam, menangis, bahkan tidak lagi mengungkapkan perasaanya. Dan tunggu, apakah ini juga alasan permintaan-permintaan Kak Atika yang tidak masuk akal dan harus terpenuhi?

"Ngidam?" ucapku tanpa sadar hingga Aidin menoleh. Ia pasti mendengar gumamku.

"Jadi, kemaren-kemaren itu ngidam?" tanya Aidin. Aku dan dia saling menatap.

"Ngidam?" Umi ikut dalam pembicaraan. Bapak juga sama, namun beliau memilih diam.

"Iya Umi, Kak Atika selama ini dirumah sering meminta sesuatu. Ketika Fatimah atau Aidin tidak mengabulkannya, maka Kak Atika akan menangis," jelasku.

"Allahu akbar," Umi kembali menangis. Namun kali ini beliau memilih pergi, aku segera berdiri berniat menyusul Umi namun Bapak menghentikan.

"Biar Bapak saja yang nyusul Umi," aku mengangguk dan kembali duduk.

"Aidin," panggilku.

"Apakah Kak Atika sudah tau kondisi ini?"

"Aku takut."

Tanpa terasa aku mulai meneteskan air mata dan bibirku mulai bergetar.


Bersambung...

Abdurrahman X Atika Zaman NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang