29. Surat Permohonan

9.3K 1.7K 561
                                    

Kalo berbicara soal kehilangan, kata “ikhlas” hanyalah sebuah kebohongan yang sering kali diucapkan. Banyak orang yang menggunakan kata itu untuk menutupi lukanya yang belum sepenuhnya mengering. Seperti halnya para bujang menggunakan kata “bodoamat” yang bermakna yang sama dengan definisi kata “ikhlas” di atas.

Rosie terlalu banyak meninggalkan kesan yang tak terlupakan terlebih kepada orang-orang yang senang mengganggu hidupnya. Termasuk Haikal, si biang pembela tragedi kuaci bagi para bujang lantai satu.

Namanya juga hidup, pahit atau tidaknya tetap saja harus dijalani. Ditinggalkan ataupun sakit sekalipun tetap saja hidup selalu berjalan sebagaimana mestinya.

Haikal telah bersiap untuk berangkat kuliah bersama dengan Lingga. Walaupun sedih ditinggal Rosie tapi masa depan tetaplah hal utama yang harus dirampungkan jadilah mereka sekarang yang berusaha hahihi walaupun hatinya sibuk huhuhu.

“Udah siap, Ling?” tanya Haikal dibalik helm.

Lingga mengangguk dibalik kaca spion, “Yoih. Gas!”

Perlahan motor mereka bergerak pelan meninggalkan halaman kosan. Tapi, belum berapa meter motor kembali Haikal hentikan karena seorang gadis kini merentangkan tangannya menghalangi jalan. Berusaha menahan emosi, Haikal mengerem motornya lalu membuka helm menghampiri gadis itu. Lingga juga ikut turun sambil mengamati.

“Mau lo apaan lagi sih?!” decak Haikal dengan tangan satunya yang sibuk memegang helm.

Gadis berjaket hitam itu menghela nafas lalu mengulurkan tangannya, “Gue minta maaf.”

“Tumben, kena azab apa lo akhirnya sadar diri?” jawabnya dengan wajah yang ketus.

Masih dengan orang yang sama—sosok yang beberapa hari yang lalu mengamuk di depan kosan hanya perkara stick drum. Gadis itu berusaha untuk tidak emosi karena memang niatnya datang untuk meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi.

“Temen gue yang satunya nerima stick dari tim lo kemarin dan lupa laporan ke gue,” jelasnya, “Makanya gue kesini buat minta maaf atas tuduhan dan tonjokan tempo hari.”

Lingga melirik jamnya, sebentar lagi dosen galak alias Pak Dio akan masuk. Udah mata kuliah filsafat lagi, keramat banget kalo telat.

“Kal, cepetan! Ini Pak Dio bisa-bisa eksekusi kita kalo telat ini mah!” sahut Lingga.

Haikal menghela nafas, ia menerima uluran tangan gadis itu dengan sedikit tak rela. Daripada masalah makin melebar dan dia tidak lulus mata kuliah filsafat karena terlalu sering buat Pak Dio emosi jadilah mereka berdamai sementara.

Sebenarnya mereka bisa saja tidak masuk hari ini, tapi prinsip mengajar dosen galak itu tidak bisa diganggu gugat maka dengan terpaksa keduanya memilih untuk masuk kelas.

“Gue maafin,” dengan cepat Haikal menarik tangannya, “Lain kali jangan asal menghakimi.”

Gadis itu mengangguk, “Iya. Btw, kita belom kenalan. Gue Prima Reyna, anak UKM Seni.”

Haikal membuka mulutnya membentuk huruf vokal, “Oh. Gue Haikal, anak komunikasi. Udah ya, gue ada matkul sekarang.”

Haikal segera memasang helmnya diikuti dengan Lingga yang ikut naik diatas motor. Perlahan motor itu melaju meninggalkan Prima yang sedikit meradang melihat sikap Haikal yang sok kegantengan itu.

“Dasar kecap, sok banget sialan!”

———

Yaya dari menatap ponselnya dengan alis yang terangkat, ia bingung membaca pesan yang dikirimkan temannya. Kalo bahasa gaul sih dia bisa paham tapi ini masalahnya dia dikirimin pesan dengan bahasa yang entah dari planet mana sedangkan otaknya tidak cukup untuk berpikir keras saat ini.

KOSAN 23 BUJANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang