Eh, aku dateng bawa cerita baru, nih.
Ini kayaknya jauh lebih menantang dari cerita-cerita sebelumnya.
Kita slow update ya.
Masukin dulu ke library kalian supaya tau kalau sewaktu-waktu update.
Semoga sukaaaa.
Happy reading.
Kepala ini rasanya ingin pecah setelah Ibu menjabarkan masalah apa saja yang tengah membelenggu keluarga kami. Aku sulung dari dua bersaudara. Bapak sudah lama sakit-sakitan, sementara Ibu tak bisa bekerja lagi karena kondisi kesehatannya yang kerap kali bermasalah. Adikku—Danu yang duduk di kelas 11 pun masih membutuhkan biaya.
Tagihan listrik, uang SPP Danu, obat Bapak, obat Ibu dan masih banyak lagi. Menjadi anak sulung membuatku memikul beban yang cukup berat. Setelah Bapak sakit-sakitan dan mengharuskannya untuk berhenti bekerja, kami mulai putar otak untuk bisa menghasilkan uang guna memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Untuk sedikit mengurangi bebanku, Ibu memilih berjualan nasi uduk dan beberapa lauk matang di teras rumah. Untung yang didapat memang tak seberapa, sebagian dipakai lagi untuk modal keesokan hari.
Terhitung enam tahun sudah aku lulus dari SMA. Kala itu, aku punya mimpi yang mungkin sangat konyol untuk bisa diwujudkan. Aku ingin sekali bisa melanjutkan pendidikan ke bangku universitas. Namun, apa yang terjadi pada Bapak terpaksa membuat impianku terkubur dalam-dalam. Berbekal ijazah SMA, aku memberanikan diri untuk melamar pekerjaan. Berat memang karena hampir semua sainganku fresh graduate. Penolakan pun sering kudapat. Mereka bilang lulusan SMA akan kalah bersaing di dunia pekerjaan dengan yang lulusan universitas.
Seorang pemilik restoran berbaik hati dan mau mempekerjakanku di restorannya. Namanya Bu Viona. Beliau memberikanku pekerjaan sebagai pelayan di sana. Aku bekerja enam hari dalam seminggu. Hari libur tak selalu jatuh di hari Minggu. Kadang, aku pun harus menggantikan teman yang berhalangan hadir, meskipun itu hari liburku. Sebagai gantinya, ia akan membayarku sebesar upah harian yang biasa kuterima. Satu hal yang kusuka adalah kami akan dibayar dua kali lipat setiap bekerja di hari libur nasional.
Penghasilan perbulanku bisa dibilang cukup untuk membiayai kebuatuhan kami sekeluarga. Tapi, terkadang ada yang namanya kebutuhan tidak terduga. Itulah yang sering membuat aku dan Ibu terpaksa berhutang, bahkan sampai berhutang di lintah darat.
"Kamu sudah gajian, Di?" tanya Ibu. Aku menggeleng. "Kapan gajiannya?"
"Bu, ini tanggal berapa?" Kutunjuk kalender yang digantung di bagian belakang lemari televisi. "Minggu depan gajiannya. Ada apa, Bu? Apa ada yang harus dibayar?"
"Jangan lupa. Kita harus bayar cicilan hutang ke Bu Dewi. Telat sehari bunganya besar banget."
"Iya, Bu."
Danu baru saja kembali dari sekolah. Setelah menyalamiku dan Ibu, ia masuk ke kamar untuk menyimpan tasnya. Danu kembali dengan menyodorkan selembar kertas padaku. Kertas itu berisikan edaran sekolah yang mengimbau orang tua dan wali murid untuk membayarkan uang studi tur anak-anak. Ya Tuhan! Kenapa mahal sekali, sih?
Di surat itu tertulis kalau sekolah akan mengadakan kegiatan studi tur ke Bandung dan Jogja. Biayanya hampir sepertiga gajiku selama sebulan. Studi tur ini sangat penting untuknya karena akan mempengaruhi nilai.
"Kapan paling telat bayarnya, Nu?" tanyaku.
"Bulan depan, Mbak. Mbak ada uangnya? Kalau nggak ada aku nggak usah ikut nggak apa-apa, kok."
"Mbak usahain. Kamu harus ikut. Mbak nggak mau nilai kamu bermasalah cuma karena nggak ikut studi tur. Mbak bisa bayarin akomodasi kamu, tapi untuk uang jajan selama di sana, kamu bantu nabung setiap harinya, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingin Bahagia
RomanceUPDATE SETIAP SENIN Menjadi seorang penjaja seks komersial jelas bukan keinginan Diandra. Namun, kebutuhan memaksa dan Diandra sama sekali tak punya pilihan. Untuk kali pertama, ia harus menjual keperawanannya pada seorang laki-laki demi uang. Sela...