Nero, keberadaan ku sempurna

Chapter : 34 Apa Dia sangat menyukai kue?

Sayangnya, Nero tidak memperhatikan ekspresi bingung Choko saat ini, dia lebih tertarik pada sepotong kue stroberi di depannya, Nero hampir meneteskan air liur hanya dengan melihat, bagaimana dia punya waktu untuk memperhatikan Choko?

*Batuk*

Nero memalsukan batuk untuk menenangkan diri, dia tidak ingin terlihat canggung, lalu dia mengambil garpu di samping piringnya dan mengambil sepotong kue dan membawanya ke mulutnya. . . merasakan rasa surgawi menyebar di seluruh mulutnya, dia merasakan seluruh wajahnya memerah dalam ekstasi dan kebahagiaan meluap ke seluruh tubuhnya.

'Adik perempuan sialan. . . adik perempuan sialan. . . Dia memakan kue itu perlahan-lahan ingin mencicipi setiap bagian sambil mengutuk kakaknya karena telah membuatnya kehilangan kesempatan untuk mengalami setiap kesenangan dalam hidup. . .

"Tapi jika semua ini tidak terjadi, apakah aku akan tetap menjadi diriku?" Ketika dia bertanya pada dirinya sendiri pertanyaan ini, Nero sedikit bingung, karena dia bukan dirinya sendiri sejak dia adalah Nera dan Nero. "Apakah benar mengatakan bahwa ingatan menjadikanku siapa aku, jadi tanpa ingatan Nero atau Nera, aku tidak akan menjadi aku?"

Nero menggelengkan kepalanya membuang pikiran itu, dia tidak berpikir memikirkan itu akan membawanya ke suatu tempat. Sekarang dia hanya bisa menerima apa yang terjadi padanya dan terus hidup sebaik mungkin tanpa kehilangan apa pun, tetapi tentu saja, dia tidak bisa tergesa-gesa dan kehilangan segalanya.

"Nero?"

"Hah?" Dia menatap Choko. Melihat ekspresi aneh yang diberikan Choko padanya, Nero mulai bertanya-tanya apakah dia melakukan sesuatu yang aneh.

"Aku memanggilmu beberapa kali … apakah kamu sangat menyukai kue itu?" Choko tersipu, "Kamu mau … kamu mau bagianku juga?"

"Malaikat? Bukan. Dewi?" Nero bertanya-tanya. 'Siapa yang waras akan memberikan kue mereka. . . ? '

Mata Nero berkilau dengan cahaya yang bahkan lebih menyilaukan daripada matahari tengah hari. Choko dan ibunya, Latifa, terpana melihat mata mereka yang cerah dan indah tampak seperti permata langka.

"Apakah dia sangat menyukai kue itu?" Pasangan ibu dan anak itu saling memandang. Latifa berusaha sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air mata, bertanya-tanya betapa sulitnya, baginya untuk begitu bahagia hanya makan sepotong kue sederhana. . .

"Kawan, kawan, bibi sudah penuh, dia bisa makan bagianku juga," kata Latifa dengan mata penuh cinta dan kasih sayang.

Dia menatap mereka berdua tanpa mengerti mengapa mereka bersikap seperti ini. Tapi dia tidak menolak. "Aku tidak bisa membuang kue yang luar biasa ini jika sudah kenyang, kan?"

Dengan pemikiran itu, Nero tersenyum ceria dan berkata, "Terima kasih, Bibi Latifa, Choko."

“Jangan khawatir, kamu bisa makan sepuasnya,” Latifa mencoba yang terbaik untuk menekan air matanya dan tersenyum pada Nero.

"Ya, ya, Nero, aku sudah kenyang," kata Choko meletakkan piringnya dengan setengah potongan kue utuh.

"Mereka baik sekali …" Nero berpikir, "Mereka tidak mencoba menggemukkanku dan kemudian melahapku, kan?" Nero hampir berpikir untuk menolak ketika dia memikirkannya, tetapi ketika dia berpikir untuk berhenti makan kue surgawi itu, dia membuat matanya basah.

Dia benar-benar percaya bahwa dia memiliki kemungkinan ini, tidak hanya dalam kehidupan ini tetapi dalam kehidupan masa lalu Nero, dia tahu bahwa ada banyak orang psikopat yang memakan daging manusia. . . hanya memikirkan hal itu membuatnya gemetar ketakutan.

"Tidak, tidak, mereka tidak akan melakukan itu padaku …" Yakin bahwa Choko dan Latifa bukan kanibal yang ingin menggemukkannya dan kemudian memakannya. Nero memakan kue itu lagi dengan senyum konyol di wajahnya.

"Anak perempuan … apakah kamu berniat melanjutkan kehidupan ini sebagai pemburu?"

Suara khawatir Latifa mencapai telinga Choko dan Nero. Terlihat jelas dari ekspresi ibu Choko bahwa dia tidak puas dengan gaya hidup putrinya. Nero memandang diam-diam, dia bisa memahami keprihatinan Latifa, kehidupan seorang pemburu itu berisiko.

"Ibu …"

Choko memandangi ekspresi khawatir ibunya dan menghela nafas panjang. Dia menghirup udara; dia menutup matanya selama beberapa detik dan membuka lagi.

Mata Choko bersinar dengan tekad saat dia menjawab: "Aku tahu kamu mengkhawatirkan aku. Tapi kamu tidak perlu khawatir, putri kamu ini di sini tidak bermaksud melakukan sesuatu yang terlalu berisiko dan membahayakan hidupku. Aku lagipula tidak ingin meninggalkan ibuku yang sendirian. "

Lihat, dia tersenyum ramah pada ibunya ketika dia selesai berbicara.

Mendengar jawaban putrinya, Latifa tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia tahu putrinya keras kepala, dan ketika dia memutuskan sesuatu, dia hampir tidak bisa kembali. Tapi dia tidak bisa membantu tetapi khawatir tentang putrinya pergi berburu monster, menempatkan hidupnya dalam bahaya.

Setelah menghabiskan semua kue, Nero menggosok perutnya dengan puas.

Melihat senyum konyol Nero ketika dia selesai makan, Choko dan Latifa saling memandang dan tersenyum. Sangat memuaskan bagi kami berdua, melihat senyum bahagia Nero.

Segera salah satu pelayan datang kepada mereka dan mengumpulkan piring-piring dan menyajikan secangkir teh baru.

"Terima kasih," Nero mengucapkan terima kasih ketika dia mendapatkan gelas teh.

Setelah mereka menghabiskan teh mereka. Choko berdiri dan memandang ibunya dan berkata, "Bu, kita pergi sekarang. Aku akan kembali lagi nanti."

"Benar. Tapi hati-hati di luar sana," kata Latifa cemas.

"Aku akan," Choko tersenyum meyakinkan.

Nero juga menghabiskan tehnya, meskipun dia tidak terbiasa minum teh, dia menyukai rasanya.

Choko menoleh ke Nero dan dia berkata, "Bagaimana kalau kita pergi?"

"Ya," Nero setuju. Tetapi sebelum dia pergi, dia memandang Latifa dan berkata, "Terima kasih Bibi Latifa, semuanya hebat!"

Setelah mereka berdua berubah, mereka pergi. Nero mengenakan pakaian kulitnya lagi, sementara Choko mengenakan celana hitam dan blus cokelat ketat dan jaket hitam lengan pendek.

Meskipun pakaiannya sederhana, dia masih sangat cantik.