20. Petunjuk

67 9 0
                                    

Fay turun dari motor, gadis itu berjalan dengan menunduk. Merasa hidupnya selalu sial. Ia menatap sekeliling yang sudah sepi. Hari memang sudah larut dan ia tidak tahu harus singgah di mana.

Sebuah mobil berhenti di hadapannya, sang pemilik keluar menemuinya. Lelaki yang masih lengkap dengan jasnya itu tersenyum ke arah Fay.

“Erwin.”

Lelaki di depannya tersenyum. “Walau tanpa embel-embel ‘pak’ seperti dulu. Saya senang kamu masih mengingat namaku.”

Erwin tersenyum simpul, menatap Fay yang mengalihkan pandangan.

“Kamu sedang apa, di sini?”

Fay tidak menjawab, gadis itu melenggang pergi. Namun cekalan sebuah tangan menghentikannya. Fay menoleh, “apa?”

“Saya tahu, kamu tidak punya tempat tinggal, bukan?”

Tebakan Erwin sepenuhnya betul, Fay tidak punya tempat tinggal. Dan Erwin dengan baik hati menawarinya apartemen. Walaupun Fay tidak suka. Setidaknya untuk malam ini saja.

“Hanya semalam, ini urgent.”

Mereka menuju kendaraan masing-masing, Fay membuntuti Erwin dari belakang. Mereka singgah di sebuah apartemen milik Erwin.

Membuka pintu, Erwin minggir mempersilakan Fay masuk.

“Lo nggak tidur di sini, ‘kan?” tanya Fay.

“Nggak tahu, kita lihat nanti, ya. Saya belum ingin pulang ke rumah.”

Erwin menatap Fay sambil tersenyum, gadis itu mundur seiring dengan langkah Erwin yang makin mendekat. Tiba-tiba, Fay ingat kejadian di mana ia hampir dilecehkan lelaki di hadapannya ini.

Kenapa bisa lupa? Harusnya ia tak perlu masuk ke dalam kandang serigala ini. Sudah terjebak, ia tidak bisa apa pun. Meraih segala sesuatu yang ada di kanan kirinya.

Erwin semakin mendekat dengan seringainya. “Kamu bodoh, Faynara.”

“Kamu pikir, saya sebaik itu meminjamkan kamu fasilitas tanpa sebuah imbalan. Hm?”

“Lo! Bener-bener ya,” geramnya.

Fay tak bisa berkata-kata selain melemparkan vas bunga, buku atau barang lainnya yang bisa menyelamatkan dirinya.

Untuk kedua kalinya, ia melakukan kesalahan  yang sama. Erwin memang bejat, tidak bisa dipercaya, dan ia licik!

Fay memandang jijik ke arah Erwin. Lelaki itu sudah berjarak setengah meter dari tempatnya. Semakin mendekat hingga akhirnya .... Erwin lepas kendali dan Fay yang  sudah tak bertenaga. Hingga terjadilah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.

Fay memegangi selimut, ia meluapkan amarahnya lewat tangisan. Gadis itu sudah tidak lagi suci, ia meringkuk membelakangi Erwin yang terlelap.

“Hiks.”

Ia tersendat, beranjak memunguti pakaiannya dan berlalu menuju kamar mandi. Menggosok tubuhnya kuat agar kembali suci seperti dulu.

“Adrian!”

Adrian bangun dengan napas terengah. Matanya melotot dan tubuhnya penuh keringat.

“Astaghfirullah ... hanya mimpi buruk.”

Diana menjambak rambut Adrian sedikit. “Bukankah sudah, Mbak katakan. Jangan tidur sebelum isya. Mimpi buruk ‘kan. Wudhu dan salatlah!”

Diana beranjak meninggalkan Adrian di ruang kerjanya. Memang Adrian sempat memeriksa berkas di sana usai shalat maghrib. Namun ternyata ia ketiduran.

Adrian menyugar rambutnya ke belakang setelah wudhu, melakukan shalat dan ia berdoa agar Fay baik-baik saja di mana pun ia berada. Dan hatinya juga tergerak agar mau mengangkat telepon maupun membalas pesan-pesannya.

Adrian duduk di pinggir kasur, ia mendial nomor Fay, berharap kali ini gadis itu mau mengangkatnya.

“Please, angkat, Fay. Saya rindu.”

°•°

Dering ponsel Fay terdengar nyaring di ruang tengah rumah Ayu. Hanya tersisa Ayu, Fay, dan si kembar.

Beberapa saat lalu, Naila beranjak ke kamar untuk istirahat, berhubung si kembar yang masih aktif bermain. Ia menitipkannya pada Ayu.

“Fay, ini ada telepon,” ujar Ayu, gadis itu duduk di sofa, sehingga dekat dengan meja tempat ponsel milik Fay berada. Berbanding terbalik dengan Fay yang memilih duduk lesehan di karpet menemani Resti bermain boneka barbie. Dan sayangnya, Riski yang tengah bermain robot itu ikut mendekat ke arah adiknya. Membuat Resti menangis.

Fay dengan sigap meletakkan Resti di pangkuannya, sedangkan Riski, bocah itu asyik memainkan robotnya tak peduli pada lingkungan sekitar, terutama Resti yang masih tergugu.

“Biarkan saja, Mbak.”

Resti menarik kaos dalam yang dipakai Riski, membuat bocah laki-laki itu terjengkang. Fay tersentak, ia menurunkan Resti yang tertawa dari pangkuannya. Dering telepon kembali berbunyi menambah suasana semakin ramai karena bersamaan dengan tangisan Riski. Fay bangkit menimang Riski.

“Diangkat tidak, Fay? Bunyi terus, berisik.”

“Angkatkan, Mbak. Lagi repot ini.”

Ayu mengambil ponsel milik Fay, tanpa melihat sang penelepon. Ayu langsung berujar, “halo, selamat malam.”

“Dengan Ayu, pemilik ponsel ini sedang sibuk mengurus keponakan.”

Tak ada jawaban, Fay melirik Ayu. “Siapa, Mbak?”

Ayu mengangkat bahu, menjauhkan ponsel dari telinga dan melihat nama yang tertera di layar. “Mas Rian.”

“Oh,” sahut Fay, belum menyadari sesuatu. Hingga beberapa saat kemudian. Ia menatap Ayu dengan mata melotot dan mulut menganga lebar.

“Itu Adrian, Mbak!” seru Fay. Gadis itu merebut ponselnya dari genggaman Ayu. Rupanya panggilan masih berlangsung. Secepat kilat, Fay memutuskan panggilan.

Ayu masih terpaku. “B-benarkah? Maaf, Fay. Aku tidak tahu. Sungguh.”

“Ya, tak apa, Mbak. Sudah terlanjur pula.”

Deg!

Adrian mematung memegangi ponsel sambil berdiri menghadap balkon. Ia mendengar suara gadis yang dirindukannya. Ini adalah petunjuk yang baik. Besok, pagi-pagi sekali ia akan datang ke butik Ayu dan bertanya pada pegawai di sana alamat rumah gadis itu.

Kali ini, berhasil atau tidak. Ia wajib membawa pulang Fay. Setidaknya, ia bisa bersama Fay.

“Terima kasih, Tuhan.”

°•°

Halo semuanya, maaf ya update-nya lama. Semoga selalu sabar menanti cerita ini up, yaaa.

Selamat membaca!!😊

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now