•••
Shafalina
3 years later.
Langkah kakiku terayun menuju lantai dua rumah. Senyum ceria tak henti-hentinya aku sebarkan saat memasuki kamar bernuansa biru langit tersebut. Putri kecilku belum bangun.
Matahari sudah bersinar cerah dan waktu juga menunjukan pukul tujuh pagi. Aku sudah biasa mengajarkan Kalila untuk bangun pagi. Dia tidak boleh malas-malasan. Namun ya, anak seusianya cenderung bangun lebih siang. Oleh karena itu, aku akan membuat lelucon ringan agar membuat dia bangun. Seperti pagi ini misalnya.
"Ila, dipanggil sama matahari! Matahari yang bundar udah terbit, lho." Kubalik tubuh kecilnya yang tengkurap sambil memeluk boneka teddy bear berwarna coklat keemasan itu. Boneka kesukaan Ila.
"Eunghh, Mama." Kalila mengucek matanya dengan wajah menggemaskan. Aku paling suka Ila yang tidak rewel waktu bangun pagi. Seperti biasa, dia selalu menunjukan wajah lugunya kepadaku.
"Wake up, Princess! Perut Ila mau makan apa hari ini?" tanyaku seraya menggendongnya turun ke lantai bawah. Ke dapur tepatnya.
Kalila hanya bergumam kecil. Dia menyandarkan kepalanya pada pundakku dengan manja. Khas Kalila tentunya. Bila dia bersikap seperti itu, aku langsung teringat pada ayahnya.
Sayang, Kai tidak pernah tahu tentang keberadaan Kalila.
"Mamam oti, Ma." Akhirnya Kalila menjawab pertanyaanku. Dia sangat lucu.
"Oh, mamam oti? Oke, Mama buatkan untuk Ila, ya."
Dengan sigap, aku meletakan tubuh kecil putriku ke kereta makan bayi. Sebenarnya Kalila tidak memerlukan kereta itu lagi, tapi melihat tingkah lakunya saat sedang kutinggal, aku pikir dia masih membutuhkannya.
Kugelung rambut panjangku menggunakan jepit rambut. Mungkin memasak roti sosis telur yang simple, cocok untuk pagi hari ini. Jadi kupikir tidak sembarang makanan boleh dia konsumsi.
"Ila tadi bobo sama siapa, sih?" Aku mencoba membuat Kalila berbicara. Dia agak telat berbicara sebab Ila lebih dulu bisa berjalan. Sempat aku panik, tapi mama bilang itu bukan hal buruk.
"Bobo? Ila bobo ama neka." Tangannya bergoyang ke kanan dan kiri. Ah, putriku itu selalu bersemangat.
"Bobo sama boneka, ya? Siapa nama boneka Ila?" tanyaku seraya memotong sosis rasa sapi baru kemudian memasukkannya ke dalam telur yang sudah dikocok.
Namun, saat aku meliriknya, Ila malah berusaha menggapai cangkir pink milikku. Dia ingin memainkannya. Untung saja aku dengan sigap langsung menjauhkan benda kaca tersebut. Kutarik kereta makannya mendekat ke pintu dapur.
Ila mulai berontak, bersiap akan menangis. "Tuuu, Mama. Tuuu."
Segera aku mengambil mainan di atas meja makan agar Kalila tidak jadi menangis. Aku harus cepat karena sedang menggoreng telur dadar untuk Ila santap. Beginilah kerepotanku sebagai ibu rumah tangga sehari-hari.
"Loh, Ila kok rewel? Ini boneka Barbie-nya aja nggak rewel kayak Ila."
Bersyukur karena setelah aku menyodorkan boneka berwajah ayu itu, Ila berhenti menangis. Bahkan, dia tampak mengajakku bermain bersama.
"Ila bisa main sendiri? Mama mau masak buat perut Ila makan. Bisa, Sayang?" ujarku dengan lembut.
Putriku berhenti main sejenak lalu mengangguk lucu. "Mamam, Ma."
Aku tergelak. Kalila anak yang jujur, walaupun aku tidak menampik kalau dia juga pernah berbohong. Sejauh ini, dia adalah duniaku. Tidak pernah satu hari pun aku menghabiskan waktu jauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be A Good Family
RomanceMemang berapa lama Shafa bisa menyembunyikan Kalila dari Kailand? ••• Shafalina Malik mau tidak mau harus menjalani pernikahan dengan Kailand Nirantara. Meskipun tanpa cinta, pernikahan ini membawa hal baru bagi mereka berdua. Hingga suatu hari Kai...