Di belakang kursi roda yang di duduki Nandra, Aleta diam, dikepalanya muncul pertanyaan tentang bagaimana kondisi hati Nandra, kalau tubuh sudah jelas tidak baik, laki-laki itu baru saja mengalami kecelakaan, tapi bagaimana kondisi hati sang adik? Tebakan Aleta pasti kondisinya lebih buruk dari luka Nandra yang terlihat.
Tadinya, Nandra akan memilih opsi marah untuk menghadapi situasi ini, tapi tidak jadi, karena beberapa detik yang lalu, Nandra tidak melihat tangan Hanum di punggung Jeff, artinya, Hanum tidak membalas pelukan laki-laki bersetelan kemeja yang sudah lumayan lecek, dan rambut yang terlihat lepek itu. Menurut kacamata Nandra dan opini sesama laki-laki, Nandra menebak bahwa Jeff menyukai kekasihnya, mungkin laki-laki itu panik setengah mati mendengar Hanum terluka, mungkin itu alasan penampilannya sedikit kacau.
Nandra membalas pelukan Hanum dengan hangat dari kursinya, kali ini bukan aroma manis strawberry yang memenuhi indera penciuman Nandra, melainkan bau disinfektan yang cukup menyengat dari gaun rumah sakit yang Hanum kenakan. Ini jelas jauh lebih baik, karena seberapa kali dan seberapa kuatpun Nandra mencoba menyukai strawberry, ternyata Nandra masih tidak menyukainya.
"Aku takut, Han." Nandra bersuara pelan, tepat di telinga Hanum.
Hanum tidak menjawab, kecuali memeluk Nandra lebih erat dan mengusap punggung laki-laki yang ternyata penakut itu.
Setelah pelukan yang cukup lama itu berlalu, mereka ber-empat, Nandra, Hanum, Jeff, dan Aleta, diam. Hanum duduk di atas kasur dengan Nandra duduk disamping dengan masih di atas kursi roda, sedangkan Jeff dan Aleta di atas sofa.
Muak dengan kecanggungan yang menguasai ruangan, Jeff berdiri, lalu suara beratnya memenuhi udara. Kalimat yang hanya ditunjukkan kepada Hanum.
"Hanum, saya keluar dulu." Tanpa ada niatan bertanya apapun Hanum mengangguk dan tersenyum. Selepas kepergian Jeff, Aleta ikut pamit, sekarang hanya ada mereka berdua di dalam kamar.
Nandra mengambil tangan kanan Hanum yang sekarang sedang dihiasi jarum infus dan selang, lalu mengusap dan menciumnya pelan, dengan hangat dan ringan, lalu laki-laki itu menatap semestanya dengan tulus.
"Maaf," Nandra berucap parau.
"Maaf karena ngga bisa jagain kamu, maaf udah buat kamu luka."
Sekelebat bayangan yang terjadi beberapa jam yang lalu terputar dengan jelas di kepala Nandra, Hanum yang bersimbah darah, bau amis, dan juga hujan yang memperburuk semuanya. Membuat laki-laki itu memejamkan mata. Getaran tangannya dirasakan dengan jelas oleh Hanum, karena tangannya masih disimpan oleh Nandra.
Dengan tangannya yang lain, Hanum menyentuh dagu Nandra, sedikit membuat Nandra mengangkat wajahnya. Ketika Nandra membuka mata, kecupan ringan mendarat di bibirnya, kenyal dan hangat. Setelah gerakan kecil Hanum yang mampu membuat Nandra kelimpungan, gadis itu tersenyum, lalu berkata.
"Aku baik, kamu baik, apa yang harus ditakutin, Na?"
Nandra diam, banyak Han, soal, gimana kalau sampai kamu pergi gara-gara aku ceroboh? gimana kalau kamu bangun dan sama sekali ngga ingat aku? Nandra ingin sekali menjawab Hanum, tapi laki-laki itu tau Hanum benci jika ia sudah mengandaikan hal yang buruk. Toh, itu semua tidak terjadi, seperti yang Hanum bilang, dirinya baik, Hanum juga baik.
Kali ini Hanum yang menggenggam tangan Nandra dengan kedua tangannya, mencoba menyalurkan kehangatan sebanyak yang dia bisa. Hanum memperhatikan langit malam dari balik jendela, tiba-tiba ia menginginkan udara malam yang sepertinya akan menenangkan Nandra dengan baik.
"Nana, keluar yuk. Kayanya cuaca di luar bagus."
"Emang kamu jalannya ngga susah?" Tanya Nandra karena tadi laki-laki itu sempat memperhatikan langkah pincang Hanum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Paras
Teen FictionAku tidak sedang melukis kanvas, melainkan paras, untuk dicintai kamu, dan untuk mencintai kamu. Judul awal: Butterf(lie)