"Mama nggak kerja?" tanya Fika ke mamanya. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari senin, itu berarti sang mama harus pergi bekerja. Namun, mamanya hanya bergeming dan tidak berniat sedikitpun untuk meninggalkannya.
"Mama izin nggak kerja dulu hari ini," jawab Fera.
Fika menggeleng pelan, ia tidak ingin karena dirinya mamanya tidak berangkat kerja. Jika hanya seorang pegawai, mana mungkin mamanya sebebas itu untuk meminta izin, sudah pasti mamanya bolos kerja tanpa mendapatkan izin oleh bos mamanya. Untung-untung kalau bos mamanya baik dan memaklumi, namun jika sebaliknya? Sudah di pastikan pekerjaan mamanya yang jadi taruhan yaitu di pecat.
"Fika nggak papa mah, mama berangkat kerja aja."
Fera tersenyum dan mengelus rambut Fika. "Nggak papa sayang. Mama nggak bisa tinggalin kamu sendirian. Bagaimana kalau kamu butuh sesuatu? Siapa yang akan membantu kamu?"
Fika berpikir keras, apa yang harus dikatakannya agar sang mama mau pergi bekerja? Jika hanya bicara omong kosong dan bertele-tele, jelas sang mama akan tetap kekeh untuk menjaganya.
"Mama kan udah siapin makanan dan air minum untuk Fika. Sepertinya Fika nggak butuh apa-apa lagi. Jadi, mama boleh pergi kerja."
"Bagaimana kalau kamu mau buang air kecil? Atau buang air besar? Tidak mungkin kamu bisa pergi sendirian ke halaman belakang rumah sedangkan kamu belum bisa jalan?"
Ah! Fika lupa akan hal itu. Ucapan mamanya sangat-sangat benar. Dia tidak mungkin bisa berjalan ke halaman belakang rumahnya. Jangankan berjalan, gerak sedikit saja susahnya minta ampun!
"Mama akan tetap di rumah jaga kamu. Kamu lebih penting dari pekerjaan, nak. Mama nggak peduli jika nantinya mama di pecat. Hanya bos yang enggak pantas di panggil bos jika memecat pegawainya tanpa menghormati dan menghargai alasan pegawainya minta izin."
"Tapi, mama belum minta izin, kan? Lagian jika seorang bos terus-terusan memaklumi alasan pegawainya minta izin maka pegawainya akan bertindak seenaknya karena bosnya kurang tegas. Jadi seorang bos memang harus bersikap disiplin dan tegas kepada pegawainya. Mama sebaiknya pergi kerja saja. Fika nggak papa di rumah," ucap Fika meyakinkan sang mama. "Fika juga yakin nggak bakalan mau kencing ataupun b.a.b." cicit Fika.
Fera menghela nafas, sifat keras kepala Fika selalu membuatnya kewalahan. "Kamu bisa menjamin kalau kamu nggak bakalan mau kencing atau buang air besar?" tanya Fera. "Kamu bukan Tuhan yang bisa tau apa yang akan terjadi kedepannya, Fika."
Fika menelan ludahnya saat mendengar ucapan mamanya yang sedikit tegas dan menekan seolah mencegah Fika untuk membantah ucapan mamanya.
"Bi...bisa," jawab Fika sedikit tidak yakin dengan jawabannya. "Fika bisa menjamin itu."
Fera mengambil nafas panjang sejenak dan tetap menatap wajah putrinya. Perlahan ia menarik tangannya dari kepala putrinya.
"Baik. Mama bakalan pergi kerja. Kalau kamu ada apa-apa di rumah, mama nggak bakalan peduli."
"Mama kok bilang gitu? Jangan bilang gitu lah mah, nanti Fika beneran kenapa-napa."
"Kenapa mama nggak boleh bilang begitu? Putri mama sendiri sangat keras kepala."
"Haihhh." Fika menghembuskan nafas gusar. "Yasudah, kalaupun Fika kenapa-napa dan mama nggak peduli, nggak papa. Mama pergi kerja saja."
Fera tak segan-segan mencubit lengan kiri Fika. "Kamu benar-benar ingin kenapa-napa, yah? Nggak cukup kamu keserempet motor? Apa sakitnya masih kurang? Kalau masih kurang mama bakalan tambahin."
Fika mendengus dan mengelus lengannya yang terbilang perih karena cubitan mamanya yang bukan main-main. Ada apa dengan mamanya? Mamanya sendiri yang mengatakan tidak akan peduli dengan dirinya kalau dirinya kenapa-napa lalu saat dirinya mengiyakan kenapa mamanya malah marah. Sebenarnya letak kesalahannya dimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Takdir [NEW STORY]
General FictionTAKDIR satu kata yang sangat berpengaruh dalam hidup seseorang. Kemana takdir akan membawa kita? Kesengsaraan kah atau kebahagiaan? RAFIKA FAISLA, gadis yang sangat ceroboh namun pintar. Gadis yang sama sekali tidak menyangka takdir akan membawanya...