02. Tentang Matematika dan Kita

58 16 16
                                    


"Nyaman sama lo itu beda, cuma gue masih ragu. Daripada nyaman lo lebih kepada menyebalkan." --Aira




Aku berakhir di hukum oleh kakak-kakak Komdis dimana kami disuruh berlari 5 kali mengelilingi lapangan sekolah yang luasnya-Ah ntahlah aku haus!

Aku duduk di sudut lapangan mengelap peluhku karna sudah menyelesaikan hukuman terlebih dahulu, akan tetapi aku jadi tersentak melihat beberapa Komdis berlari ke lapangan menghampiri pemuda yang kalau gak salah namanya adalah Ryano.

Pemuda itu berhenti lari dan membungkuk memegangi kedua lututnya, posisi dimana seseorang lelah berlari dan mengatur ulang nafasnya.

Aku hanya diam seutuhnya aku gak peduli awalnya, hanya saja kalau boleh jujur aku terpesona oleh wajah tampannya. Dimana aku bisa lihat dua matanya bergaris tajam, alis tebal, rambut jabrik hitamnya yang tampak rapi, hidung mancung seakan menjadi ciri khasnya, juga bentuk garis rahang yang sangat tegas menjelaskan betapa kuatnya ia, ditambah porsi badannya mirip seorang atlet.

"RYAN!" teriak kakak Komdis panik langsung berlari ke tengan lapangan.

Aku spontan melihat kepada pemuda itu yang sudah terduduk di lapangan menunduk di kelilingi beberapa Komdis, hingga tak lama kemudian aku melihat beberapa anak PMR turun di tengah jam pelajaran berlangsung.

Aku diam menonton kejadian yang masih berusaha aku cerna, hingga aku bisa melihatnya di papah oleh beberapa anak PMR dimana kakak komdis mengekori. Wajahnya tampak seperti meringis menahan sakit, buat aku mengernyit.

Dia kenapa?

Wajah pemuda itu pucat begitu saja dan tampak layu.

"Jangan diperhatikan banget, ntar lo dimarahi sama Bang Febri masih duduk disini!" kata gadis di sampingku yang buat aku tersentak lantas tersenyum kecil mengangguk, namun jadi melirik kecil nametagnya.

Mala Anindya. MIPA 2.

"Ah-iya..." jawabku kaku kemudian berdiri bergegas ingin kembali ke kelas.

"Lo mau ke kelas juga kan?" tanya gadis itu buat aku mengangguk.

"Salam kenal, gue Mala! Anak MIPA2!" Ucapnya mengulurkan tangan lebih dahulu kepadaku sambil berjalan di koridor sekolah yang sepi.

Aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum. "Aira, MIPA4! Salam kenal kembali!" aku tersenyum ramah kemudian melepaskan jabatan tangan kami.

"Gak nyangka gue ini sekolah luas tapi siswa/siswinya gak banyak, penasaran gue berapa biaya operasional setiap tahun dikeluarkan sekolah ini!" gumamnya sambil memandangi bangunan tinggi megah sekolahnya, juga sekitarnya yang sangat terawat dan bersih.

"Sepadan sih sama uang sekolahnya," jawab gue mengingat Ibu pernah hampir ngamuk, ketika aku merengek meminta masuk sekolah ini dikarenakan mahalnya uang sekolah di tempat ini.

"Oh ya," sahutku teringat sesuatu. "Anak tadi kenapa ya?" tanyaku mengingat setelah Mala selesai berlari, anak bernama Ryan itu berhenti berlari.

"Gak tahu sih, mungkin gara-gara gak sarapan kali jadi gak kuat lari!" jawab gadis itu kemudian tersenyum karna sudah berada di depan kelasnya. "Gue duluan ya!" pamitnya kemudian berjalan masuk ke dalam kelasnya, sedangkan aku tersenyum kemudian berbelok menaikin tangga karna kelasku berada di lantai 2.

Is Still Just?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang