Chapter 1

4 0 0
                                    

“Tha, gimana persiapan acara lamaran kamu? Lancar kan?”

“Hm, cuma lamaran kan? Udah oke kok, lagipula acaranya hanya dihadiri keluarga dan kerabat. Jadi persiapannya gak terlalu ribet.”

“Bagus deh kalo gitu,” Dia mengangguk lalu fokus kembali pada ponselnya.

Aku hanya tersenyum seadanya sambil menghela nafas. Oh! Jangan lupakan juga pecahan hati yang retak sedang bergemuruh dalam diriku.

Ternyata benar, bila memang bukan jodoh, mau di usahakan seperti apapun tidak akan bisa bersama. Mungkin pepatah itu akan kutepis dan kuhiraukan kalau di dengar ketika kami masih berada di bangku sekolahan.

Tapi aku menyadari bagaimana takdir menggiring kenyataan hingga detik ini aku menjelang usia seperempat  abad.

“Kalau kamu butuh sesuatu atau pertolongan, jangan sungkan loh, hubungi aku.”

“Kebetulan aku lagi butuh sesuatu.”

“Oh ya? Apa? Aku akan bantu.”

“Hati kamu.”

Lirikannya bila sedang kesal terlihat lucu. Maka aku akan tertawa terbahak-bahak. Pukulan ringan pada bahu nya juga aku lakukan. Respon itu yang selalu aku berikan kalau dia terlihat kesal. Dan dia akan berdecak sinis.

Aku berhenti tertawa saat pelayan mengantarkan pesanan kami. Minuman greentea cheese kesukaanku dan segelas kopi menjadi pesanan kami sembari menunggu yang lain datang.

Dia meminumnya sambil matanya tak luput dari ponsel yang dipegang. Lalu pandangannya beralih padaku. “Yang lain lagi pada dimana Tha? Kebiasaan ngaret.”

“Mungkin lagi di jalan Dy, sabar sedikit lah. Lagian baru nunggu beberapa menit juga. Kita aja yang mungkin kecepetan sampainya.” Aku berucap sambil memikirkan kemungkinan dia bersikap seperti ini.

Maksudku, Fandy memiliki sifat sabar yang bagus. Dilihat dari beberapa kali kak Lili lama berdandan kalau mereka akan pergi. Atau ketika Sera telat datang ke tempat dimana mereka janjian. Juga ketika menunggu kak Vano dan Kak Satria ketika mereka akan berpergian. Dia tidak keberatan sama sekali untuk menunggu.

“Segitu gak maunya berduaan sama aku?” Itu yang aku pikirkan. Karena memang dia menjadi tidak sabaran ketika berduaan dengan ku saja.

Dia menghiraukauku. Sudah biasa Tha.
Ah, sudahlah tidak perlu berharap lagi. Kami bukan jodoh. Kata itu yang kini aku terapkan pada diriku.

Tapi, bagaimana cara agar aku bisa melupakan perasaan melankolis terhadapnya kalau hampir setiap hari kita bertemu?
Tiba tiba dia menyampirkan tangannya di rambutku. Untuk beberapa saat aku terpaku, retak itu terdengar lagi meskipun hanya aku yang merasa. “Deon orang baik, aku doakan kamu bahagia dengan dia, dan berjodoh. Okay?”. Dia tersenyum dengan tidak tau diri.

Aku hanya terdiam dan memejamkan mata sembari menunduk ke bawah dengan mata bergetar.

Untuk sesaat aku merasa kehilangan ketika tangannya tak lagi di rambutku. Mendengar denting meja yang beradu dengan tas diatasnya kami pun beralih pada wanita cantik di depan yang sudah duduk di depanku.

Dia meminum greentea cheese yang belum kusentuh sama sekali. “Duh, gila panas banget sih di luar, padahal dari parkiran kesini gak terlalu jauh, tapi keringatku banyak gini.” Keluhnya.

Fandy dengan sigap menyerahkan tissue. “Kan tadi udah aku tawarin buat jemput tapi kamu gak mau kan Ra?”

“Rumahmu sama rumahku kan berlawanan arah, semua orang juga tau.”

“Daripada naik ojol, panas kan kerasa sekarang.” Fandy tersenyum penuh kemenangan seakan mengejek Sera yang tidak mau di jemput dan memilih untuk memesan transportasi online Karena mobilnya sedang dibengkel.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang