4

379 19 0
                                    

Usapan demi usapan terasa begitu hangat di punggung Amora. Seiring perasaan nyaman dan aman yang dia rasakan, semakin muncul lah sedih yang dia tahan sejak awal. Dia merasa kacau dan semua itu dia luapkan di dalam pelukan Saka.

"Menangislah," kata pria itu pelan. "Menangislah sampai kau puas."

Amora menurut. Dia menangis sejadi-jadinya, tanpa memperdulikan baju Saka yang akan basah kena air mata atau ingusnya nanti. Yang dia butuhkan sekarang adalah menumpahkan seluruh emosi yang terbendung setelah sekian lama. Dan yang bisa membuka bendungan itu hanyalah Saka.

"Maaf," kata Saka di sela-sela tangisan Amora.

Sudah berapa kali Saka membentak Amora jika dia tidak setuju dengan tindakan wanita itu. Sudah berapa kali dia meninggikan suaranya ketika Amora mulai berbuat di luar kontrol. Jika dihitung memang sudah berkali-kali tapi tanggapan sahabatnya itu hanya tertawa polos.

Dan kali ini, Saka merasa jika dirinya juga sudah kelewat batas menegur wanita yang sedang patah hati itu. Gagal sudah dia melabeli diri sebagai sahabat sejak SMA jika kebiasaan Amora kala sedih pun dia tidak paham betul. Saka menyesali tindakannya tadi.

Pria itu mengusap lembut rambut Amora, berkali-kali seperti irama lagu pengantar tidur dengan ketukan beraturan.

"Aku tidak bermaksud membentak, maafkan aku."

Amora terdengar sesenggukan lalu menarik diri dari pelukan hangat Saka yang sejujurnya tidak ingin dilepas olehnya. Tapi, demi melihat wajah Saka, dia akhirnya kembali pada posisi duduknya semula.

Dahi Saka sedikit berkerut kala pria itu menatap wajah Amora dalam diam. Menunggu sang wanita menyelesaikan aksi bersih-bersih air mata dan juga ingus yang menghabiskan tisu lumayan banyak.

Mata sayu Saka kini bertemu dengan mata sembab Amora. Mereka berdua saling menatap satu sama lain seperti sudah terbiasa berkomunikasi lewat mata.

Pria itu mengangguk dan memejamkan mata sejenak. Tidak lupa tangannya menepuk pundak Amora pelan.

"Kau tidak akan mati hanya karena ditolak Arga. Jadi jangan berpikir untuk melompat dari gedung apartemenku."

Amora mengerutkan kedua alisnya. Baru saja Saka bersikap lembut kepadanya dan jangan lupakan permintaan maaf yang terdengar begitu tulus itu. Tapi, kenapa dalam sekian detik dia kembali berubah menyebalkan?

"Saka!"

"Apa?"

"Kau baru saja minta maaf padaku karena berbuat salah dan membentakku, tapi kenapa kau kembali berubah menyebalkan begini?"

"Kapan?"

"Baru saja, Saka! Kau menyebalkan!"

Amora menarik lengan Saka lalu mencubit kulit berotot pria itu dengan sangat kuat. Raungan keras terdengar menggema di ruang tengah kala Saka tidak bisa menahan perih cubitan maut Amora.

"Apa Arga kau perlakukan seperti ini juga kalau sedang marah? Pantas saja kau ditinggal pergi!" Saka meniup bekas cubitan Amora berkali-kali. Kini kulitnya tambak begitu merah dan panas.

"Aku tidak pernah berani dengannya," ucap Amora dengan mode sedihnya lagi kala mengingat Arga.

Kembali Saka merutuki kebodohan Amora yang terlalu cinta kepada Arga hingga tidak bisa berpikir mana yang harus pakai hati, mana logika.

"Denganku kau begitu ganas seperti singa buas, dengan Arga kau seperti anak anjing penurut. Kau memang pilih kasih!"

"Tapi aku mencintainya, Saka!"

"Makan tuh cinta tanpa logika! Sudah tahu Arga berubah sikap padamu tapi kau masih menganggapnya biasa saja. Seharusnya dari 2 bulan yang lalu kau bertanya jujur kepadanya, apa yang membuatnya begitu dingin kepadamu. Bukan malah memaklumi sikapnya dan menunggu seperti putri yang akan dijemput pangeran berkuda lalu hidup bahagia."

"Saka...,"

"Bisa tidak kau menjadi dirimu sendiri saja di depan Arga? Jangan menjadi bonekanya Arga, karena Amora yang aku kenal dulu tidaklah seperti ini. Kau itu dulu percaya diri."

"Saka, kenapa kau memarahiku lagi?"

"Kau taku betapa aku merindukan Amora yang kukenal, bukan tubuh Amora yang dirasuki hantu budak cintanya Arga. Sejak 2 bulan yang lalu sudah berapa kali kau menangis gara-gara Arga?"

Amora diam dan tidak bisa menjawab.

"Tidak bisa jawab, kan? Karena sudah tidak terhitung pria itu membuatmu menangis. Bahkan, kau sendiri tidak bisa mengingatnya."

Mata Amora mulai berkaca kembali, dan dia berusaha menahannya kala Saka masih ingin mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.

Pria itu menyisir rambutnya ke belakang, sejenak melempar pandangan ke lain arah. Hanya sekedar menjernihkan pikirannya untuk bisa memilah kata yang pantas untuk menyadarkan Amora.

Kala Saka kembali menatap Amora, dia pun melanjutkan ucapannya. "Amora, apa kau tidak menaruh curiga kepada orang tua Arga sedikit pun? Kemungkinan mereka tidak setuju dengan hubungan kalian begitu kentara terlihat. Mendengar cerita bahwa kau disuruh pulang saat mereka mengadakan acara makan malam bersama, itu seperti hal konyol. Jika memang kau diterima, kenapa mereka tidak sekalian mengajakmu dalam acara makan malam itu? Bukan kah itu ajang yang tepat mengenal satu sama lain antara calon mertua dan calon menantu? Tapi kenapa sebaliknya?"

Amora terdiam. Dia benar-benar tidak bisa merespon kecuali menatap mata Saka yang sedang menggebu mengungkapkan isi kepalanya.

"Am," panggil Saka dengan panggilan yang sudah lama tidak dia dengar. Panggilan yang hanya ada di antara mereka saja. "Kau harus secepatnya bicara dengan Arga. Jangan biarkan dia menggantung hubungan kalian seperti ini. Jika memang dia tidak mencintaimu lagi, maka lepaskanlah."

"Aku tidak bisa, aku mencintainya, Saka." Amora menggeleng, membuat air mata yang sedari tadi dia tahan, tumpah kembali.

Sudah berkali-kali Saka menyuruhnya putus dengan Arga tapi Amora tetap mempertahankan hubungan mereka.
Benar kata Saka, siapa di sini yang jadi budak cinta sesungguhnya?

"Lalu jika Arga menyakitimu dan kau menangis lagi, apa yang akan kau lakukan?" tanya Saka dengan raut wajah yang dingin. Dirinya begitu muak dengan kepolosan dan kebodohan Amora dalam hal cinta dan mencintai.

"Aku," jeda Amora yang sedang menatap Saka dengan ragu.

"Jangan panggil aku jika semua itu benar terjadi."

Hati Amora sangat perih mendengar Saka bersikap dingin kepadanya.

"Kau tidak perduli lagi?" tanya Amora dengan mata berkaca. Suaranya sangat pelan seperti berbisik kepada Saka.

Pria itu pun menggeleng memberi jawaban.
"Kita memang sahabat, tapi masing-masing harus mengingat bahwa kita punya kehidupan sendiri. Kau akan mempunyai prioritas sendiri begitu pun aku."

Amora masih setia mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut Saka. Pria itu pun melanjutkan lagi.

"Selama ini aku mengajarkanmu menjadi wanita kuat untuk mengahadapi masalah seperti ini. Sebagai sahabat, aku akan bahagia jika kau juga bahagia dengan pasanganmu kelak. Tidak seperti ini, uring-uringan dan menangisi Arga si brengsek itu." Napas Saka sempat naik turun dikarenakan dirinya yang menggebu mengungkapkan opininya.

Amora yang masih setia duduk di hadapan Saka pun berusaha menahan air matanya, tapi masih saja keluar tanpa dia sadari. Ucapan Saka seperti mendorongnya ke dalam danau pembersih otak dan hati. Sekarang dia sadar betul jika selama ini dia salah.

Wanita itu lalu bersandar pada sofa dan menangis dalam tawa. Melihat kembali keadaannya sekarang, sungguh miris jika dia terus-terusan menyusahkan orang terdekatnya hanya karna kebodohan yang dia lakukan. Amora, menyesali semuanya.

The Best ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang