5

390 20 0
                                    

Amora mengangguk paham dengan penjelasan Saka, walau hatinya masih berusaha menerima saran pria itu. Tidak mudah memang, tapi Amora sudah bertekad untuk mencari penjelasan kepada Arga.

"Am, aku tidak bermaksud untuk ikut campur lebih jauh masalah pribadimu, apalagi ini urusan perasaan."

Saka menelan ludahnya pelan.

"Aku berharap kau benar-benar memikirkannya dari sekarang sebelum hubungan kalian lebih serius lagi. Kau tahu, jika kalian benar menikah nanti, aku tidak tahu apa dia bisa membahagiakanmu atau tidak."

Benar, selama ini hanya Amora yang selalu mengekspresikan rasa cintanya kepada Arga. Sedangkan pria itu hanya menerima dengan senyum tipis di wajahnya.

Jika benar Arga tulus mencintainya tanpa ada paksaan, seharusnya Amora merasakan perasaan itu, tapi yang dia rasakan hanya kekosongan. Dan lagi-lagi, Amora berusaha menutupi itu dari orang terdekatnya, termasuk Saka.

"Aku mengerti, Saka. Kuharap semua ini tidak berlarut-larut. Kuharap dia bisa segera dihubungi."

"Jika dia tidak mengangkat telepon, aku sendiri yang mencarinya untukmu. Bila perlu, aku akan menyeretnya ke hadapanmu," ucap Saka menggebu.

Pemandangan itu membuat Amora sedikit tersenyum geli. Akhirnya senyuman itu kembali juga setelah lama dirinya menangisi hal yang tidak berguna. Sekali lagi terima kasih kepada Saka.

"Mau minum?" tanya Saka yang mengambil kantung minuman dari tangan Amora lalu menatanya kembali di atas meja.

Amora yang sudah lelah hanya bisa mengangguk dan bergabung untuk meneguk bir yang seperti biasa sudah dibukakan oleh Saka.

Mereka menikmati setiap tegukan dan menghembuskan napas panjang menatap langit malam yang terlihat begitu jelas dari dinding kaca apartemen Saka. Apartemen itu memiliki ruang tengah dengan dinding kaca di sebelahnya.

"Saka," panggil Amora di sela kegiatan mereka saling meneguk minum masing-masing.

"Hmm," jawab pria itu dengan suara berat.

"Langit di luar sangat mendung. Aku boleh menginap di sini malam ini?"

Seketika ucapan itu membuat Saka sang tuan rumah tersedak cairan yang sedang dia teguk. Dirinya begitu kesal sampai-sampai dia sendiri mengerang karena bir tersebut membasahi kaosnya.

"Saka! Hati-hati!" ucap Amora yang spontan mengambil kotak tisu di atas meja. Wanita itu menyodorkan tisu yang tanpa ragu diambil oleh tangan Saka. Banyak, sangat banyak yang dia ambil dari kotak tisu. Lagi pula itu kan tisunya, tidak perlulah dia harus meminta ijin mengambil banyak tisu untuk membersihkan kaosnya.

"Ini salahmu! Ah, kan basah jadinya."

"Salah di mananya?"

"Kau bilang apa tadi?" tanya Saka memastikan lagi.

Tangannya tidak henti mengusap kaos putih bersihnya dengan tisu. Mengusap beberapa kali hingga kain itu tidak basah lagi, namun, sayang nodanya masih terlihat.

"Aku tanya apakah aku boleh menginap?" ulang Amora yang masih tidak mengerti kenapa Saka begitu berlebihan menanggapi pertanyaannya.

"Itu salahmu. Aku sudah punya tunangan dan tidak bisa membiarkanmu menginap seenaknya lagi. Selesai minum kau harus pergi dari sini, atau mau kulempar dari atas gedung sampai bawah?" kata Saka dengan wajah protes dan kedua tangan terlipat di depan perutnya.

"Kau benar-benar sahabat tidak berguna, Saka!" Tangan Amora dengan sigap meraih kepala Saka dengan kekuatan penuh.

Pertengkaran ala bocah pun terjadi di antara mereka kala satu sama lain berusaha menyerang dan bertahan dari serangan.

Rambut Saka yang sudah berantakan masih belum dilepaskan oleh Amora walaupun pria itu memohon untuk dilepaskan.

"Aku akan membakar semua novel dan juga komikmu jika kepalaku botak gara-gara kau. Amora, lepas!"

"Tidak mau! Kau sendiri yang memulainya, kenapa dari tadi terus memarahiku? Tadi itu aku memang dalam mode sedih, tapi sekarang aku begitu bersemangat membuatmu botak!" ucap Amora dengan tawa ala psikopat yang mengerikan.

"Kau gila!"

"Kau juga gila, Saka!"

"Jangan sampai aku membuat kepalamu juga botak, lepaskan sekarang!"

"Tidak mau!"

"1."

"Aku tidak akan takut,"

"2."

"Coba saja terus,"

"3."

Setelah Saka mengucapkan kata tiga, tangan pria itu mulai mencengkeram kedua pergelangan tangan Amora dengan erat.

Raut wajah Amora tentu seketika berubah kala merasakan panas pada kedua tangannya. Mata keduanya bertemu dan hanya ada amarah pergulatan di dalamnya.

Merasa diintimidasi, Amora semakin mengeratkan jambakannya pada rambut Saka yang menyebabkan pria itu meraung dengan keras.

"Am, kau sudah gila karena mabuk," ucap Saka di sela rasa sakit yang dia rasakan.

Dilihat dari mata Amora yang sudah memerah, memang benar jika wanita itu sudah mabuk berat. Tapi, anehnya tenaganya begitu kuat untuk melawan Saka yang notabene seorang pria.

"Lepaskan kepalaku!"

"Berhenti membentakku!"

"Jika kau tidak melepaskan rambutku, aku tidak akan berhenti membentakmu. Kepalaku sakit, Amora!"

Tapi genggaman itu semakin menjadi karena Amora kini dikuasai oleh emosi marahnya. Merasa tidak tahan lagi, Saka mendorong tubuh Amora ke belakang dengan sekuat tenaga. Tubuh keduanya jatuh di atas karpet berbulu yang untungnya lumayan empuk dan tidak menyebabkan kepala Amora terluka apalagi gegar otak.

Selain itu, tangan Saka sempat melindungi kepala wanita itu sebelum sampai di atas karpet.

"Kau sudah gila!" ucap Saka dengan napas memburu tidak beraturan.

Tenaganya seperti dikuras habis karena menghadapi Amora yang sedang mabuk.

Wanita di bawahnya kini tertawa geli. Lebih tepatnya tertawa gila jika dilihat dari kaca mata Saka.

"Kenapa tertawa? Puas kau sekarang membuat rambutku rontok setengah?"

Amora tertawa lagi dan kali ini tertawa karena ucapan Saka yang terdengar lucu.

"Saka kau lucu," ucap wanita itu.

"Dan kau pembuat onar yang sulit diajak kompromi," Saka menatap Amora yang berada di bawahnya. Beberapa sentimeter jarak wajah mereka, tapi pria itu buru-buru bangkit dan duduk di tempatnya semula.

Melihat keadaan Amora yang sudah tidak sadarkan diri seperti sekarang, membuat Saka hanya bisa menghembuskan napas pasrah.

Membawa wanita itu pulang dengan keadaan mabuk seperti ini, tentu akan memperkeruh keadaan. Jika nanti orang tua Amora bertanya, harus jawab apa dia nanti?

Tapi jika membiarkan Amora menginap di apartemennya, dia tidak bisa membayangkan jika Sena tiba-tiba datang dan mendapati sahabat wanitanya sedang tertidur karena semalaman mabuk di apartemen tunangannya.

Sejujurnya, Sena sudah wanti-wanti dari awal untuk membatasi hubungan Saka dengan Amora karena keduanya sudah punya pasangan masing-masing.

Apalagi Saka yang sudah sampai tahap bertunangan. Sena tidak ingin jika rencana pernikahan mereka kelak hancur gara-gara orang ketiga.

Sebenarnya sudah beberapa kali Saka menjelaskan dirinya dengan Amora tidak akan punya hubungan lebih, tapi Sena tetap tidak ingin percaya begitu saja.

"Bagaimana ini, matilah aku jika Sena datang tiba-tiba," ucap Saka sembari mengacak rambutnya. Sesekali pria itu menatap Amora yang sudah tergeletak di atas karpet dengan napas teratur dan wajah polos khas orang tidurnya.

"Kenapa kau datang lagi seperti ini Amora. Aku sudah memperingatkan mu untuk lebih menjaga jarak di antara kita. Dan aku bersungguh-sungguh ingin membahagiakan Sena. Tapi kenapa kau selalu merepotkan ku?" ucapnya dengan nada pasrah.

The Best ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang