8

319 14 0
                                    

"Terima kasih, Saka. Dan maaf untuk semuanya." Sekali lagi Amora bergumam kecil menatap wajah Saka. Tidak bisa dia bayangkan jika pria itu tidak ada menemani masa-masa remaja, entah itu susah senang bahkan konyol yang telah mereka lewati. Mungkin Amora tidak akan sekuat sekarang.

Amora adalah tipe wanita cuek, namun mempunyai banyak keraguan di dalam dirinya. Selalu berpikir negatif dalam segala hal sebelum mengetahui kebenarannya.

Makanya Saka sempat bilang untuk memastikan hubungannya dengan Arga sebelum berakhir seperti fenomena sad girl yang sedang marak menjamur belakangan ini. Tapi tetap saja, sifat itu tidak bisa dihilangkan.

Elusan tangan lembut Amora masih bertengger di kepala Saka, saat tangan pria itu menangkap pergelangan tangan Amora. Hampir saja Amora melempar dirinya ke belakang karena terkejut dengan aksi tiba-tiba pria itu.

Untunglah cengkeraman Saka kuat hingga tubuh Amora tidak jadi oleng ke belakang, tapi, cengkeraman itu terasa begitu kuat dan keras.

Mungkin Saka tidak sadar dan mengigau dalam tidurnya karena dari tadi dia menyebut nama Sena walau pelan. Tapi Amora jelas mendengarnya dari jarak yang begitu dekat.

"Saka, tidurlah, masih jam 3 pagi. Besok kau harus kerja pagi, bukan?" tanya Amora walau dia tahu tidak akan mendapat jawaban dari sang pria. Tapi Saka besok memang bekerja pagi seperti biasa.

"Sudah, aku akan ke kamar. Selamat malam."

Dilihatnya mata Saka yang sudah terpejam dan sepertinya sekarang dia sudah bisa kembali ke kamar. Namun, saat Amora akan bangkit, tangan Saka kembali mencengkeram lengan bagian atas Amora lalu menariknya begitu keras.

Sontak tubuh kurus Amora yang tidak siap dengan aba-aba apa pun seketika tersungkur ke depan dan menimpa tubuh Saka.

"Saka," ucap Amora dengan wajah terkejutnya.

Padahal dia sudah cukup terkejut dengan tarikan tangan Saka, tapi ternyata penyebab jantungnya berdetak kencang tidak hanya itu saja.

Mata pria itu tiba-tiba terbuka setengah dan manik mata itu menatap Amora tajam. Langsung menembus matanya sendiri hingga bulu kuduknya tak kuasa untuk meremang kala pria itu menghembuskan napas panasnya ke wajah Amora.

Amora berusaha mengumpulkan kembali kewarasannya lalu menepuk pipi Saka keras. Mungkin jika itu dilakukan 3 kali berturut-turut pipi pria itu akan memerah seperti kena tamparan.

Tapi tetap saja dia tidak sadar sepenuhnya.

"Saka, kau mengigau atau bagaimana? Sadarlah!"

Dirinya ingin bangkit tapi sebuah tangan menekan punggungnya supaya tidak bisa bangkit.

"Saka, aku tidak sedang bercanda!"

Tapi pria itu tetap tuli. Tubuh Amora yang berada di atas Saka, lama-lama tidak nyaman dengan posisi mereka, apalagi jari jemari Saka mulai bergerak mengelus punggung Amora.

Wanita itu menatap mata Saka yang masih belum sadarkan diri itu dengan tajam. Tidak pernah Saka sampai semabuk itu jika mereka berdua minum. Tapi sekarang kenapa jadi begini. Atau mungkin kah Saka punya masalah dengan Sena, sampai pria itu menghabiskan semua kaleng bir yang dia beli. Tadi juga, nama Sena selalu disebut dalam bawah sadarnya.

"Kau kenapa sih, Saka? Jika kau punya masalah kenapa tidak cerita? Kenapa hanya aku yang mengomel meluapkan kisah malangku dengan Arga, sedangkan kau juga punya masalah dengan Sena," tebak Sena. Hanya sebuah tebakan, tapi dia yakin dalam hati pria itu sedang bergejolak sebuah masalah yang dipendamnya sendiri dan tidak mau diceritakan padanya.

"Saka, bagun!"

"Hmm,"

"Besok kita bicara lagi, sekarang kau tidur dan aku juga mau tidur."

"Hmm,"

Tangan Amora tidak sadar mencubit bahu pria itu sampai terdengar suara meraung yang sangat dalam dan serak. Membuat bulu kuduk Amora kembali merinding.

Semenjak bersahabat dengan Saka, tidak pernah dia berada di posisi dan keadaan seperti sekarang. Mereka cukup tahu batasan untuk bertindak sebagai sepasang sahabat beda jenis karena konsekuensinya sangatlah besar.

Amora bukannya tidak tahu. Dia tahu tapi dia diam saja karena tidak ingin membahas hal yang bisa membuat suasana persahabatan mereka menjadi canggung. Dan dia sendiri begitu kuat menjaga batasan itu.

"Maaf," ucap Amora lagi karena mungkin dia mencubit begitu keras.

"Bisa diam?" suara itu menggema di telinganya karena wajah Saka yang begitu dekat dengannya.

Mata pria itu tajam menatap Amora yang mulai gugup. Buru-buru dia menekan dada Saka dengan kedua tangannya untuk bangkit tapi lagi-lagi Saka menahannya.

"Saka, aku lelah. Aku tidak bisa menemanimu bercanda seperti ini, aku ingin tidur."

Benar jika lama-lama mata Amora semakin meredup. Pengaruh alkohol masih menguasainya, tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk sampai di kamarnya sebelum tergeletak tidak sadarkan diri di lantai. Bisa-bisa besok pagi dia sakit karena masuk angin.

"Lepas, Saka," pinta Amora pelan, tapi tidak ada jawaban.

"Saka bodoh, kau dengar, lepas!" Kini raut wajah Amora mulai kesal. Dia benar-benar menggunakan semua tenaganya untuk melesakan diri dari Saka. Tapi Saka tetap lebih kuat darinya.

Tanpa diduga, dengan satu sapuan, kini tubuh Amora sudah berpindah posisi berada di bawah sedangkan Saka dengan kepala yang masih tampak pusing itu berada di atasnya.

"Saka, apa yang kau lakukan?"

"Maafkan aku, Sena." Ucapan itu keluar dari mulut Saka beriringan dengan ringisan akibat rasa sakit di kepalanya. Dia mendekat pelipisnya dengan tangan satunya, sedangkan satunya lagi masih berada di samping kepala Amora.

"Saka, jika kau ada masalah dengan Sena, besok kita bicarakan. Tapi sekarang lepaskan aku, ini sangat menggangguku," ucap Amora yang mulai tak nyaman.

Dia juga merasa tubuh mereka begitu rapat, hingga Amora bisa merasakan setiap jengkal bagian tubuh pria itu. Belum lagi rasa sesak yang diakibatkan berat badan Saka yang tidak disangga dengan baik oleh pemiliknya.

Mata pria itu kini menatap tepat di bawahnya, meratap sedih. Kenapa, ada apa dengan Saka? Kenapa pria itu bisa sesedih ini? Batin Amora terasa berkecamuk kala melihat sahabatnya pada titik yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Tanpa sadar Amora membawa tangannya yang tadi bertengger di dada Saka untuk menahan berat badan pria itu, kini naik mengelus pipi Saka lembut.

Aksi itu pun dibalas dengan kecupan lembut pada telapak tangan Amora oleh bibir Saka.

Salah.

Ini semua salah. Amora menggeleng dan hendak menarik tangannya, tapi sudah lebih dulu ditahan oleh Saka.

"Jangan pergi, aku mohon," ucapnya lirih.

"Saka, ini tidak benar. Kau tidak boleh bersikap seperti ini, kumohon sadarlah, Saka!"

Beberapa kali Amora berteriak di depan wajah Saka supaya pria itu sadar, tapi sepertinya tidak mempan. Justru Saka lebih tidak terkontrol lagi karena sedetik kemudian dia menurunkan wajahnya dan mencuri paksa kecupan dari bibir Amora. Oh, ini bukan sebuah kecupan biasa, bahkan lebih dari itu.

The Best ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang