Adik

6 5 2
                                    


Lagi, anak kecil itu termenung di depan pintu, menanti. Matanya menerawang jauh, penuh akan rasa merindu. Aryan namanya, adikku yang baru berusia delapan tahun. Bilamana aku menghampiri, hanya satu yang jadi buah bibirnya.

"Kakak, Ayah kok belum pulang? Ayah belum pulang juga."

Sungguh, pedih hatiku mendengar pertanyaan itu terlontar dari bibirnya. Apalagi ketika melihat wajah kecilnya yang penuh lebam, bekas pukulan ayah kami. Aku masih ingat makian orangtua itu saat ia memukuli Aryan.

"Sudah kubilang jangan bawa si cacat ini keluar! Bikin malu saja!"

Dan juga kalimatnya di akhir perseteruan kami.

"Terserah, lakukan sesuka kalian! Aku takkan pernah lagi menginjakkan kaki di tempat busuk ini!"

Aku mengelus kepala Aryan. Adikku ini tak sedikitpun pernah mengeluhkan perlakuan kasar Ayah padanya. Bukan karena tegar, tetapi lebih akibat kondisi autis-nya. Yang pasti semenjak Ayah pergi praktis aku dan adikku tinggal berdua saja, menyambung hidup dari hasil mengamen dan sumbangan tetangga sekitar.

"Ka-kakak. Ayah bilang aku bodoh. Aku bodoh dan hanya membuat malu saja. Karena itukah Ayah pergi?"

"Duh, kamu ini. Kan kakak sudah bilang Ayah sedang banyak pekerjaan. Mana mungkin ia menganggapmu begitu? Kakak saja bahagia punya adik seperti Aryan."

Beginilah aku, kakak penyayang yang senantiasa menghibur Aryan di sela-sela kegundahannya. Aku terus saja tersenyum, begitu seringnya hingga adikku itu takkan tahu rutinitasku di malam hari. Bahwa ketika semua orang terlelap, hanya bertemankan bintang gemintang, aku acapkali menangis.

***

Dulu sekali ibuku pernah berpesan, "Ingatlah selalu, Kara. Perbedaan kadang membuat kita memiliki bakat tersendiri. Bakat yang sangat unik."

Jujur, aku tak sedikitpun percaya akan ucapannya. Di sekolah kami Aryan selalu mendapat peringkat terbawah, yang membuatnya tidak juga beranjak dari kelas satu. Para guru juga sering menyarankan agar Aryan disekolahkan di SLB. Ayah tentulah menolak keras, itu sekolah swasta. Dan lagi akulah yang memaksanya untuk menyekolahkan Aryan.

Namun hari itu sungguh tak terduga. Aku dan murid lainnya tengah bergelut dengan soal-soal pembahasan UN SD tahun lalu ketika tiba-tiba ada panggilan dari wali kelas Aryan. Tanpa tahu apapun aku digiring ke ruang kepsek, menemui Aryan dan seorang pria asing. Aku hampir bertanya apakah Aryan membuat masalah lagi—seperti biasa—ketika si pria mendadak berseru, "Kamu sangat beruntung, ananda! Adikmu ternyata berbakat!"

He? Aku melongo kebingungan. Pria itu tertawa, lantas menceritakan kronologinya. Ia adalah alumni yang sedang berkunjung ke sekolah kami. Berhubung pria itu seorang guru seni budaya, ia diminta mengisi satu jam pelajaran di kelas Aryan, pelajaran menggambar. Tidak seperti anak lainnya yang membuat gambar legendaris—berupa matahari terbit, dua buah gunung serta jalan raya membelah di tengahnya—Aryan justru menggambar lukisan bawah laut yang indah dengan perpaduan warna yang kaya.

"Percayalah, Kara. Adikmu ini akan terkenal setelah gambarnya kupromosikan di blog-ku", ujar pria itu seraya menyerahkan peralatan melukis. "Ini untukmu, Aryan. Teruslah berkarya. Jika catnya habis minta saja kepada Bapak. Ini alamatnya."

Adikku lebih tertarik kepada cat akrilik dan buku gambarnya. Pria tersebut kemudian pergi, meninggalkanku yang masih terheran memandangi catatan alamat rumahnya.

***

Hanya perlu waktu seminggu untuk membuktikan ucapan si Bapak. Pagi itu mendadak kami kedatangan tamu tak dikenal. Seorang wanita jangkung berperawakan layaknya orang kaya. Aryan tengah asyik memainkan kuasnya di teras ketika wanita itu menghampirinya, "Wah, sungguh lukisan yang ekspresif! Apakah itu kupu-kupu yang berkejaran di padang bunga?"

BaurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang