2. Hari itu, di Jogja

8 1 0
                                    

Event besar-besaran untuk merayakan HUT kampus mengundang para seniman muda dari prodi Seni Rupa untuk unjuk karya mereka. Sayangnya, kuota seniman untuk galeri seni pada event itu hanya untuk seniman-seniman berprestasi dan memiliki selera seni kelas atas.

Arini salah satu seniman yang beruntung.

Sejak menginjakkan kaki di kampus ini, Rin memiliki ambisi besar untuk membayar kekecewaan orang tuanya---terutama Bapaknya---sebab ia tidak menuruti keinginan Bapaknya untuk masuk ke prodi Ekonomi. Rin ingin membayar itu dengan prestasi Rin. Sekarang, Rin merasa ini adalah kesempatan Rin.

Ini kesempatan Rin untuk menepati janjinya pada Bapaknya. Rin pernah berjanji:

"Pak, akan ada satu hari di mana karya Rin akan ada di sana dengan penuh kebanggaan."

Rin... Sedang berjuang untuk itu.

Malam itu, hampir pukul tiga pagi. Rin masih sibuk merancang konsep yang lagi-lagi hanya menciptakan remasan kertas yang berserakan di sekitar kamar kos Rin.

Rin menghela napas panjang. Ia melempar pensilnya, kemudian menghempaskan dirinya di atas kasur.

Ia memejamkan matanya sejenak, sebelum akhirnya ia mendengar denting ponsel tanda pesan masuk. Rin membuka matanya kemudian mencari ponselnya. Ia temukan pesan dari Arju.

Tengah malam begini, Arju mengirimi pesan? Dibacanya pesan dari Arju. Katanya,

From: Arjuna Putra

(Mengirim foto dua tiket kereta)

"Besok kita berangkat ke Jogja. Aku tidak menerima penolakan. Selamat terlelap, Paduka Ratu."

***

Rin menguap sudah tiga kali. Beberapa kali juga ia mengucek matanya yang terasa perih. Arju terkekeh. Kemudian ia bertanya,

"Tidur jam berapa to?"

"Ndak tidur!" Ketus Rin.

"Lho?"

"Yaopo ambil tiket kereta pagi-pagi begini!"

"Biar di Jogjanya lama sama kamu."

Rin terdiam tanpa mengalihkan pandangannya dari Arju. Dalam. Semakin dalam tatapan Rin yang membuat Arju bertanya-tanya.

"Ndak mau ya, lama-lama di Jogja sama aku?" Tanya Arju.

"Beginikah caramu memperlakukan semua perempuan, Ju?"

"Maksudmu?"

"Ya... Sehangat dan sebaik ini. Pantas kamu dicap play boy."

"Lalu, aku harus memperlakukan perempuan bagaimana, hm?"

"Bukankah jauh lebih baik kalau kamu memberikan perbedaan terhadap perempuan yang memang sekadar teman dengan perempuan yang membuatmu takut kehilangannya?"

Arju terkekeh. "Kamu mau aku memperlakukanmu berbeda Rin?"

"Bukan. Maksudku bukan---"

"Pernahkah aku mengajak perempuan hadir maulid bersama? Pernahkah kuajak perempuan naik kereta hanya karena kutau ia suka kereta? Tidak pernah Rin."

Rin terdiam. Jawaban lelaki itu di luar ekspetasinya.

"Rin, begitulah caraku menghargai perempuan Rin. Kalau-kalau kamu meminta aku untuk berhenti bersikap baik kepada semua perempuan, maaf aku tidak bisa."

Rin tersenyum kecil, "Kalau kamu seperti itu terus, memperlakukan semua perempuan sama, maka celakalah perempuan yang bersamamu."

Arju memakaikan kupluk hoodie yang Rin kenakan. Diikatnya tali kupluk hoodie Rin, kemudian ditepuk dua kali pipi Rin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jangan menangis, RinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang