Bab. XIII. The End. Bye.

30 4 2
                                    

Suasana mendung sangat kentara di BSI Group. Mereka kehilangan cahaya secara tiba-tiba. Kepergian Jenna menjadi buah bibir banyak divisi. Selintingan Jenna yang akan menikah dengan pengusaha muda, dijodohkan, hingga menjadi madu untuk boss di kota sebelah mulai menyeruak. Tak peduli desas-desus yang menggembung tetap saja wajah BSI hari ini mendung.

"Rasanya kayak anak cewek gw satu-satunya merit tau nggak sih. Jenn, lo bener-bener..." Kahitna bahkan rasanya ingin menangis lagi, tapi terpaksa dia tahan, hari ini eyelinernya tidak waterproff.

"Gw cuman resign, bukan meninggal."

"Aldi jemput lo?" Kahitna melempar pertanyaan baru, ah tidak Kahitna hanya memancing. Idrus yang patah hati sudah seminggu ini tidak terlihat. Cuti dari rumah sakit diborong, sekarang tidak ada yang tahu Idrus ada dimana.

"Tidak." Jawaban tegas dan tidak ada celah lagi bagi Kahitna untuk mengorek informasi, sebenarnya apa yang terjadi. Jenna resign tiba-tiba dan Idrus yang tak terlihat lagi.

"Tuh bocah kemana ya? Biasanya kan sibuk hilir mudik kesini gitu. Ya kan, ya kan?" Kahitna masih berusaha, Jenna yang sedang sibuk karena bahkan dia harusnya sudah berkendara dan tidak lagi mengurus dokumen sialan ini. Tapi dasar Jenna yang mau-mau saja dikontak untuk mempersiapkan dokumen urgent.

Tidak. Kahitna tentu saja bisa mengurus semuanya, dibantu sekertaris baru yang masih dalam tahap uji coba tentu saja ini hanya perkara kecil.

Setelah kemarin nangis sesenggukan karena Jenna resign, sekarang yang dia lakukan hanyalah menahan Jenna lebih lama disampingnya, dan beharap sahabat sekaligus calon adik iparnya datang membuat keajaiban.

Tapi NIHIL!

"Diakan dokter, di rumah sakit lah, ngapain disini," Jenna berusaha menjawab sebaik yang dia bisa.

Semua sedih, dia juga, apalagi Idrus yang biasa cengengesan sekarang malah hilang.

Jenna sempat ingat perkataan Soesdjito, "Jangan bilang ingin pulang, ini juga rumah kamu kan Jenn"

Ah, semakin dipikirkan semakin menyesal, tapi keputusan Jenna sudah pada finalnya. Dia pergi, tidak ingin disini. Masa lima tahun berusaha tangguh dan hebatnya sudah selesai. Dia ingin tangguh versi yang lebih baru.

Perkara pemberkasan yang sudah selesai mengantarkan Jenna yang diam saja memandangi kubikelnya. Mejanya, tempat duduknya, komputernya, hingga sticky note yang masih ramai menempel.

"Lo mau bawa komputernya?" Kahitna bertanya serius. Dia seperti melihat Jenna patah hati lagi. Lima tahun bersama kubikel ini seakan-akan mendarah daging dengan Jenna. Bahkan saat kursi mereka tanpa sengaja tertukar Jenna tahu. Gadis ini ajaib.

"Becanda aja, gw pamit ya," Jenna kini memeluk Kahitna, membiarkan bau vanilla menusuk hidungnya.

Jenna melambai sebelum masuk lift, demi tuhan mata kahitna sudah sangat merah. Senyum Jenna yang mengatakan bahwa dia tetap menjadi adiknya, sahabatnya, patner menyebalkannya meredam semua.

Gadis dengan blezer warna hitam melangkah agak goyah.

Apa yang dia lakukan? Apa yang akan dia lakukan. Idrus benar, lebih mungkin dia kembali kepelukan Dirga, daripada hidup tanpa rencana dikepalanya.

Jadi apa yang harus dilakukannya sekarang? Datang ke rumah Dirga?

Jenna tertawa dalah hati. Semua memang mungkin terjadi, tapi yang satu ini, lebih baik Jenna mati.

"Jinny..."

Jenna berhenti sesaat. Dia menoleh dengan cepat.

"Id--"

Suaranya terbungkam oleh pelukan.

"Kamu jadi pergi?" suara pelan yang terdengar memilukan membelai lembut telinga Jenna.

Pelukan mengendur, Jenna dengan nyalak menatap kedua mata Idrus. Lalu beralih ke hidungnya, kemudian jambang tipisnya.

"Aku tidak meninggalkan dunia, hanya meninggalkan Batavia," Jenna menjawab pelan. Kemudian mereka berjalan beriringan, menuju mobil Jenna.

"Aku mau memanggilmu madam setiap hari, asal kamu tetap disini." Idrus mulai menawarkan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak berguna.

"Kamu bisa menelfonku, kemudian memanggilku madam setiap hari," Jenna berusaha memberikan solusi yang sebetulnya membuat Idrus makin pusing kepala.

Mereka sekarang sama-sama diam. Jenna yang menunduk memandangi ujung sendal Idrus.

"Kamu, kemana aja?"

"Kamu nyari aku?" dengan semringah Idrus menjawab dan Jenna mematahkannya.

"Tanya saja, kamu bahkan tidak cukur. Jangan buat Bapak dan Kakakmu khawatir, kamu bukan anak kecil." Jenna memulai petuahnya.

"Baik madam, jadi boleh aku tau kamu mau kemana?" Idrus kali bertanya.

"Pulang."

Ada sedikit sesak dalam jawaban Jenna.

Pulang? Benarkah? Jenna sendiri ragu, karena rumah dalam benaknya sudah musnah. Rumah yang dihuni delapan tahun terpaksa hancur.

Stop Jenna!

"Aku tidak tau apakah aku harus menyampaikan hal ini atau tidak, tapi aku rasa kamu harus tau. Arneeta membatalkan pernikahannya dengan Dirga."

Mata sipit Jenna melebar.

Wait, what?!

"Yang membatalkan Arneeta?" Jenna ingin mengonfirmasi sekali lagi.

"Iya. Vendor pernikahan mereka ternyata milik istri temanku, apalagi paska penculikan, hal seperti ini banyak diangkat jadi bahan pembicaraan banyak orang, termasuk temanku," Idrus menjelaskan. Kini mereka berhadapan dan entah kenapa tiba-tiba Idrus mengembuskan napasnya kencang.

"Ntah kenapa separuh hatiku tidak mengijinkan untuk memberitahumu. Aku takut, hal ini kamu anggap penting," terang Idrus lagi.

Jenna memasang senyum manis, kini mereka saling berpandangan.

"Sejujurnya, hal ini penting. Aku juga manusia yang bisa menaruh benci pada manusia lain. Aku ingin orang yang menyakitiku juga sama sakitnya seperti aku. Tapi Idrus, aku tidak benar-benar berharap Dirga dan Arneeta membatalkan semuanya. Dan, tolong ingat perkataanku kali ini, sekalipun Dirga sujud dikakiku, aku tidak mau kembali. Cintaku sudah bercampur dendam. Lalu, ingat ini dalam hatimu, aku tidak sekalipun menolakmu hanya karena ada Dirga dihatiku. Mengerti?" Jenna menutup kalimat panjangnya dengan pertanyaan.

Idrus memangguk gamang. Tidak, dia tidak mengerti. Kalau Jenna sudah tidak mencintai Dirga lalu kenapa tidak ada kesempatan untuknya.

"Kamu masih bisa tinggal disini?" kali ini Idrus meraih jemari Jenna.

"Nope."

"Kenapa?"

"Cause I'm not your bride's"

"Kalau kita nikah bisa?"

Gadis itu kali ini menggeleng. Idrus memeluk Jenna sekali lagi, ucapan perpisahan sekaligus upaya dia menahan Jenna dan membau lebih dalam sabun aroma jeruknya.

Jenna tersenyum sangat gula. Setelah melambaikan tangan, dia menutup pintu mobilnya.

Idrus memandangi dengan penuh arti.

"Take care, Anzenna Zaheed Al-Mahbubi."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NOT YOUR BRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang