Sudah hampir dua minggu sejak kecelakaan ayah dan Ibu, sekarang aku sudah beraktifitas seperti biasa, pagi mengajar, lalu ke toko sore harinya.
Ayah masih di rumah sakit, kondisinya sudah jauh lebih baik, hanya saja, dokter belum menyarankan ayah untuk pulang, masih ada pemeriksaan lanjutan yang harus di jalaninya. Sedangkan ibu sudah seratus persen sehat, sekarang beliaulah yang menjaga ayah di rumah sakit, ibu juga yang memintaku untuk kembali bekerja. Aku setuju, karena kami butuh uang untuk membiayai pengobatan ayah.
Jujur saja, Mas Reyhan sudah menawarkan diri untuk membayar seluruh tagihan rumah sakit, tapi dia terlambat, sejak awal, Revan sudah melunasi semuanya.
Jadi, mau tidak mau, aku harus bekerja ekstra keras untuk membayarnya kembali. Meskipun aku tau, dia pasti akan menolak, setidaknya aku tidak pasrah begitu saja menerima belas kasihannya.
Apalagi sekarang dia sudah berubah, tidak lagi mengejarku seperti orang gila. Revan yang sekarang cenderung menjaga jarak, tetap bersikap hangat, tapi seolah tidak ada niat lain dibalik itu, hanya semata-mata karena dia ingin berbuat baik.
Sejak malam itu, dunia seolah berputar tidak pada porosnya, Revan yang mulai menjauh, ibu yang tetap bersikap dingin padaku tapi sangat baik pada cowok itu, dan Mas Reyhan yang kepalang sibuk sampai hampir tidak ada waktu untuk berbicara berdua denganku.
Aku sedih jujur saja, tapi tidak tau mana yang paling membuatku merasakan itu; Revan, Ibu, atau justru Mas Reyhan?
"Bu Indiraaa.." aku berjingkat kaget mendengar seruan itu, tapi bisa menebak siapa pelakunya tanpa menoleh.
Aku buru-buru mengatur ekspresi wajahku, memasang senyum yang jelas dihafal seluruh penghuni SMA Harapan Bangsa, "Jam kosong, Al?" Tanyaku pada murid badung di hadapanku.
"Loh, gimana sih, Bu?" Alvaro bertanya balik dengan wajah bingung.
Aku jadi ikut bingung, apa saat melamun tadi aku melakukan sesuatu yang tidak kusadari?
"Gimana apanya?"
"Gimana Pak Reyhan bisa betah sama cewek yang amat sangat nggak peka kayak ibu.." jawabnya dengan nada dibuat-buat, tapi aku tetap tidak paham apa korelasi ucapannya dari tadi.
Mungkin karena memahami ekspresi bingungku, Alvaro akhirnya berseru lagi, "Duh, Buuu.. Saya kesini jelas mau nemenin Ibu, lah. Kenapa pake di tanya? Masa ibu nggak tau, sih? Yang peka, dong, Bu! Lama-lama Pak Reyhan kabur loh, kalau Bu Indi nggak peka-an gini." Jelasnya dengan nada menggebu, lalu melenggang santai menuju warung Bu Mimin.
Aku terpaku sejenak, perkataan ngawur Alvaro entah kenapa mengusikku. Apa iya aku separah itu?
Ah, aku jadi kangen Mas Reyhan, biasanya, dia akan selalu datang tepat waktu saat Alvaro merecokiku, khususnya di kantin dan di jam pelajaran seperti ini. Biasanya dia akan berkeliling dan berakhir ngobrol di sini bersamaku. Tapi sejak aku masuk tiga hari lalu, Pak Ketua Yayasan yang terhormat itu seperti enggan menemuiku.
****
"Cewek!" Seruan itu muncul saat aku sedang menunggu ojek di depan toko Kenanga. Wajah sangar Kak Andri muncul dari balik kaca mobil yang menepi tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aku tersenyum senang. Kangen juga dengan manusia satu ini. "Mau kemana, Tuan Puterii?" Tanyanya.
Aku tertawa keras mendengar ucapannya, dari dulu dia suka menggodaku dengan panggilan itu. "Mau ke rumah sakit, Kak."
"Oh, jenguk Ayah Ibu, ya?" Aku mengangkat alis bingung, dari mana dia tau?
Ah, pasti dari sohibnya. "Iya," sahutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Fiksi Umum"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...