Chap 5: Mudah Diingat, Sulit Dilupakan

6 0 0
                                    

Hari Senin, dikelas waktu pembelajaran, Kairi duduk gelisah dikursinya. Sesekali sudut matanya melirik kearah Rui dipojok depan. Kejadian tadi malam yang terjadi karena kecerobohannya membuat pikirannya tidak bisa fokus. Namun setelah Kairi amati, Rui disana duduk dengan nyaman, wajah tampannya terlihat tenang memperhatikan penjelasan sensei didepan kelas. Seperti tidak terjadi apapun. Merasa dirinya diperhatikan, Rui menoleh. Dan secepat kilat, Kairi mengalihkan tatapannya dari Rui.

"Kau benar-benar terlihat kacau, Kairi." Ujar sahabatnya padanya saat keduanya berjalan dikoridor sekolah, hendak pulang, "seperti robot yang hampir kehabisan daya."

Kairi menghentikan langkahnya, Inara pun sontak ikut berhenti melangkah,"apa aku terlihat tua?"

Inara menatap lurus Kairi, menelisik setiap inci wajahnya yang terlihat sempurna, rasanya bagaikan butuh seratus tahun lagi agar sebuah kerutan berani muncul diwajahnya. "Sebenarnya, wajahmu terlihat semakin sempurna." Inara melanjutkan langkah, disusul Kairi, "mungkin masalahnya bukan pada wajah. Tapi auramu."

Kairi mengernyit tidak mengerti.

"Kau tau, ketika seseorang memiliki beban dipikirannya, itu akan berpengaruh pada auranya, kau terlihat seperti sedang memiliki seribu masalah."

"Jadi sekarang kau seorang psikolog?" goda Kairi yang membuat Inara menatap Kairi tidak terima.

"Semua orang juga tau hal kecil begitu!"

"Aku tidak tau, tuh!" sergah Kairi. "Hei, sepertinya kamu cocok untuk jurusan psikologi, calon mahasiswi..." Sambungnya dengan nada mengejek.

Inara menggeleng, "aku tidak berpikir sejauh itu!"

"Bukankah kamu ingin kuliah? Peringkat dua umum bukankah cukup untuk syarat masuk universitas?"

Inara menatap lurus kedepan, meskipun ia menyembunyikannya, Kairi tau bahwa sahabatnya itu sangat ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. "Aku mengkhawatirkan ibuku. Jika aku kuliah, semakin banyak waktu dia sendirian, juga membuatnya semakin memikirkan orang itu." Kali ini tersirat kebencian di tatapan matanya.

"Meski begitu, aku yakin ibumu ingin kamu kuliah." Ucap Kairi penuh keyakinan. Inara tertegun, "kamu tidak boleh menyia-nyiakannya!" Kairi tersenyum manis, membuat siapapun yang melihat senyumannya ikut tersenyum, termasuk Inara. Kairipun memandangi kepergian sahabatnya didepan gerbang sekolah karena arah rumah mereka berbeda.

"Kairi!" Ia kemudian dikejutkan dengan suara bariton khas yang ia kenal. Suara Rui. Ia kemudian menoleh dengan enggan. "Bisakah kita bicara?"

Oh tidak! Inilah yang Kairi hindari sejak tadi pagi, namun akhirnya hal ini datang juga, "tentu."

"Ikuti aku!" Rui kemudian berjalan didepan Kairi, membawanya ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari sekolah, kemudian mereka berdua duduk dipojok kafe. Sekarang jantung Kairi berdetak lebih cepat, ia gugup, sekaligus takut. Takut jika Rui mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya.

Rui kemudian membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah flashdisk. Ia kemudian memanggil waitress dan memesan sebuah milkshake. Tidak memedulikan Kairi yang mematung didepannya.

"Apakah ini rekaman cctv yang ada dibar?" gumam Kairi tanpa sadar.

Rui yang mendengarnya mempautkan alis, "cctv apa?"

Deg! Apakah ini bukan tentang kemarin?

Ditempat lain, diwaktu yang sama.

Kou mengetuk sebuah pintu, setelah mendengar suara yang mempersilahkan ia masuk dari dalam, iapun segera membuka pintu dan memasuki ruangan yang bernuansa putih itu. Ia kemudian menanggalkan jaketnya pada sebuah gantungan baju disudut ruangan.

My Crush Isn't Human?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang