Sambil fokus menyetir, Yasada terus tertawa. "Ngeliat sikap bocah lo itu, langsung pengen nampol gue!" Ia tidak menghentikan tertawanya, lalu menggeplak tangan Yorala.
"Heh!" murka Yorala. "Lo jangan coba-coba lecehin gue, ya!" Ia mengelus tangan yang disentuh Yasada.
"Badan lo kecil semua ... gak tertarik gue." ceplos Yasada.
Yorala terkekeh sinis. "Ngaca, brow! body lo juga kurang sexy!" semburnya.
Yasada memutar bola mata. "Btw, kenapa lo gak terima tawaran tuh cowok?"
"Males, ah, Bang." Yorala menatap ke luar jendela. "Gue lagi males liat dia."
"Lo gak curiga apa sama sikap dia yang tiba-tiba ngajak lo balik bareng?" tanya Yasada tetap fokus menyetir.
"Gak, ah!" balas Yorala cuek. "Gue cuma curiga, kenapa tuh anak makan pemberian gue-?"
DUG!
Mendengar suara tabrakan, Yasada pun menghentikan mobilnya dan refleks menatap ke belakang, begitupun Yorala. Mereka hanya melihat ada dua mobil berhenti di belakang mereka, tidak melihat adanya kecelakaan.
Saat dua mobil itu mulai melaju mendahului mobilnya, Yasada pun menatap heran Yorala. "Gue barusan denger suara tabrakan, Dek! Tapi, kok, gak ada apa pun?" Ia merasa heran. "Perasaan, telinga gue masih aman, deh."
Yorala mendongakkan pandangannya ke luar jendela. Itu, 'kan, Gizara? Kenapa wajahnya gelisah gitu?
Yorala kembali menatap Yasada. "Pendengaran lo gak salah, Bang." sangkalnya. "Gue juga denger soalnya."
Kenapa gue jadi sering denger suara aneh di belakang gue, sih? pikir Yorala. Kemarin-kemarin tembakan, sekarang tabrakan.
Yorala mulai kebingungan dengan kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi belakangan ini. Perasaanya semakin resah, banyak pertanyaan muncul di benaknya.
Ada apa, sih, sebenernya? Yorala kembali melamun. Gue harus tanya Gizara, barusan dia ada di belakang gue. Dia pasti tau sesuatu, 'kan?
***
Ragafa membuka matanya perlahan. Pandangannya yang semula memburam, kini mulai jelas. Laki-laki itu meringis, lalu bangkit. Ia refleks memegang kepalanya yang terasa sakit dan menyadari, sebuah perban sudah melingkar di kepalanya.
Laki-laki itu memperhatikan tangan dan kakinya. Di sana juga ada beberapa perban yang sudah terbalut. Saat ini, ia sudah berada di rumah sakit, walaupun tidak tahu siapa yang sudah membawanya.
"Alisya bener-bener gak akan berhenti sebelum dapetin gue." kata Ragafa. "Gue harus lakuin sesuatu."
***
"Lho, Pak?" Saat tengah mengambil jemuran, Yorala tidak sengaja melihat Pak Samsul dan Pak Marko, keluar dari mobil. "Bapak dari mana aja? Kok, Yora baru liat sekarang? Ini udah mau sore, lho,"
"Anu, Non ...."
"Tadi ada kecelakaan di jalanan, Non." Pak Samsul menyela ucapan Pak Marko. "Jadi, perjalanan pulang kami terhambat."
Tadi, gue juga denger suara tabrakan? batin Yorala.
"Kejadiannya di deket sekolah, bukan, Pak?" tanya Yorala.
"Iya, Non." jawab Pak Marko.
Lah, berarti bener tadi ada yang kecelakaan? tanya Yorala dalam hati.
"Siapa korbannya, Pak? Terus, gimana keadannya?"
"Namanya gak tau, tapi korbannya laki-laki, Non." jelas Pak Samsul. "Sekarang dia sudah baik-baik saja. Kami langsung bawa dia ke rumah sakit tadi."
Yorala menatap ke arah lain. Wait? Kenapa gue harus sibuk mikirin yang bukan urusan gue?
***
Gizara duduk di kasur sambil meniupi kedua telapak tangannya dengan perasaan gelisah. Mengingat apa yang dilihatnya tadi, ia jadi semakin takut akan kehilangan gadisnya.
DUG!
Sebelum mobil itu menabrak mobil Yasada dari belakang, Ragafa sudah mendahului mobil itu sampai-sampai motornya tertabrak dan terpental jauh menghantam pepohonan di samping jalanan. Ia dan motornya langsung jatuh di semak-semak tinggi di sana.
Mobil Gizara yang tengah melaju santai di belakang Ragafa, langsung terhenti melihat kejadian di depannya. Jantung laki-laki itu berpacu cepat. Ia tidak menyangka Ragafa rela melakukan itu untuk melindungi Yorala.
Tidak tahu harus berbuat apa, Gizara pun langsung menginjak pejal, memajukan mobilnya secepat mungkin melewati mobil Yasada.
"Yora gak boleh tau kalo tau Ragafa udah nolongin dia." Gizara bermonolog. "Gue gak mau kalo Yora mulai suka sama laki-laki itu."
Di sisi lain, Yorala tengah mengetuk pintu rumah Ragafa dengan ketukan pelan. Gadis itu bosan di rumah. Ia akan menemui Ragafa untuk mengganggunya.
"Sebentar ...!" teriak Fidya dari dalam.
Kali ini, kalo tuh cowok ngamuk karena kedatangan gue, its okay! Toh, gue nyamperin dia juga karena gabut.
"Sayang ...." Fidya tersenyum ramah saat membuka pintu. "Yuk masuk!"
"Malem-malem gini Yora dateng, pasti ngeganggu, ya, Tan?" Yorala basa-basi.
"Enggak, kok." Fidya tersenyum lembut, lalu merangkul Yorala. "Tante seneng, kok" Ia langsung menggiring Yorala memasuki rumahnya.
"Gak tau kenapa, Yora inget mulu sama Raga, Tante!" seru Yorala.
Fidya terkekeh pelan. "Hati kalian emang udah terikat, ya,"
Hahaha! Ogah, Tan. ucap Yorala dalam hati.
"Tante, ah!" Yorala blushing. "Bikin hati Yora terbang aja, hehehe."
"Tante serius, Sayang ...." Fidya menghentikan langkahnya di ruang tamu. "Dari tadi, Raga terus panggil nama kamu,"
Gak salah denger gue? Apa dia udah mulai suka sama gue? Ah ... udahlah, gak mungkin secepet itu, 'kan? pikir Yorala.
"Kenapa manggil nama Yora, Tan? Raga lagi sakit?" tanya Yorala heboh.
"Bukan sakit, dia jatuh dari motor tadi," jawab Fidya.
Apa Raga yang kecelakaan tadi? Kok, gue gak liat, sih? Pikiran Yorala semakin bertanya-tanya. Bodo, ah! Untung gue gak balik bareng sama dia.
"Kok, bisa, Tan?" Yorala berpura-pura peduli.
"Mungkin, Raga lagi gak fokus nyetir aja, Sayang,"
"Terus, sekarang gimana keadaan Raga, Tan?" Gadis itu terus bertanya.
"Dia lagi istirahat. Ada sedikit luka di tubuhnya." Fidya memberitahu.
Kasian juga, sih.
"Yora boleh jenguk Raga, Tan?" pinta Yorala.
"Boleh, Sayang ...." Fidya membelai rambut gadis itu. "Raga ada di kamar tamu, kamu masuk aja, ya,"
Yorala mengangguk semangat.
"Tante mau ke kamar sebentar." ucap wanita itu.
"Baik, Tan."
Fidya mengelus pipi Yorala, lalu pergi dari sana. Yorala membuang napas pelan. Ada getaran hebat di jantungnya saat menatap kamar tamu itu.
Kok, gue deg-degan, ya, buat nemuin tuh cowok?
Yorala menghela napas dan mulai berjalan mendekati kamar itu. Tangannya perlahan naik memegang knop pintu. Ia memutar knop, pintu pun terbuka perlahan.
Yorala memasukkan kepalanya sedikit. Matanya seketika membulat melihat Ragafa yang terlihat kesakitan, tengah meringkuk di kasur sambil memegang erat perutnya.
"Raga!" pekik Yorala. Ia langsung berlari dan menangkup wajah Ragafa. "Raga kenapa?!"
"Lo?!" Ragafa murka, ia langsung menepis tangan Yorala dan membiarkan tangan satunya tetap meremas kuat perutnya. "Ngapain lo ke sini?!" makinya.
"Raga kenapa ...." Entah mengapa air mata gadis itu jatuh tiba-tiba. "Raga-"
"PERGI LO!"
Yorala malah memeluk Ragafa, lalu terisak. "Raga ... sakit ...?"
"Lepasin gue!" Ragafa mendorong tubuh Yorala.
Yorala refleks mundur dan semakin mengucurkan air mata. Melihat Ragafa yang terlihat semakin kesakitan, gadis itu langsung melangkah dan kembali memeluknya dengan sangat erat.
"Peluk Yora, Raga .... Kasih semua rasa sakit Raga sama Yora ...."
"JAUHIN GUE, RA!" Ragafa berusaha memberontak, namun Yorala malah mengeratkan pelukannya. "GUE BENCI SAMA LO!"
"Tapi Yora cinta sama Raga ...." bisik pedih Yorala. "Jangan gini ... Yora jadi nangis ...."
Menyadari telah membuat gadis itu menangis, pergerakan Ragafa pun melemah. Matanya memburam karena kumpulan air mata. Ia memejamkan mata, lalu menggeleng pelan.
"Sakit ... Ra,"
Yorala mencium puncak kepala Ragafa di sela-sela lelehan air matanya. "Yora di sini ... buat Raga," Ia tersenyum membelai rambut Ragafa.
"Hidup gue bener-bener gak guna ...."
Yorala melepaskan pelukannya dan memegang wajah Ragafa. "Jangan ngomong gitu, Raga ...." Ia menghapus tetesan air mata yang ada di wajah laki-laki itu. "Bagi Yora ... Raga tetap yang terbaik ...!" Ia tersenyum di balik genangan air matanya.
"Gue sering bikin lo nangis," gumam Ragafa.
Yorala menggeleng dan kembali menarik Ragafa ke dalam pelukannya. Laki-laki itu kembali menutup erat matanya. Tangannya tidak lepas dari perut. Mulutnya tertutup rapat, berusaha menahan semua rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Kenapa hidup gue kayak gini ...?"
***
Yorala mencium pelan dahi Ragafa. Laki-laki itu sudah sedikit tenang dan tengah tertidur lelap. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.15, gadis itu harus segera pulang ke rumah.
"Kecelakaan tadi pasti sangat menyakitkan, ya, Raga ...?" Yorala mengusap perban di kepala laki-laki itu.
Ragafa sempat meringis dan mengatakan bahwa itu sakit. Yorala yakin kalau laki-laki itu sakit karena kecelakaan yang dialaminya tadi siang.
Gadis itu mengambil telapak tangan Ragafa, lalu menggengamnya. "Tidur yang nyenyak biar rasa sakitnya hilang, Raga ...."
Jiwa kekanak-kanakan gadis itu sudah membuat hatinya lemah, mudah menangis. Sebelum Yorala memutuskan untuk bersikap seperti anak kecil, ia tidak mudah menangis seperti sekarang.
"Yora pulang dulu," Ia mencium singkat punggung tangan laki-laki itu. "Besok Yora nemuin Raga lagi ...."
"Kita harus terus bersama, Raga ...." Yorala menempelkan keningnya di tangan yang tengah digenggamnya.
Yora ingin merasakan rasa sakit Raga.
Raga harus peluk Yora buat nyalurin semua rasa sakit itu.
Yora gak mau Raga merasakan rasa sakit sendirian.
***
Yorala menutup keras pintu kamarnya. Ia merosot di pintu dengan napas memburu, mencoba menahan air mata yang akan keluar lagi karena ikut merasakan rasa sakit laki-laki itu.
"Kenapa ... kenapa gue nangis, sih?!" Gadis itu menarik kuat rambutnya.
Yorala tidak mengerti, mengapa ia jadi lemah saat melihat rasa sakit Ragafa. Ia tidak mencintai laki-laki itu. Bukankah tidak mencintai, harusnya tidak menangisi?
"Kenapa gue harus peluk dia, sih?!" teriaknya tak dapat menahan tangis.
Kenapa hati gue sakit liat penderitaan dia ..?!
Yorala menenggelamkan kepalanya di kedua lutut, lalu menangis pelan. Ia benci dengan dirinya saat ini. Ia benci air matanya harus jatuh untuk Ragafa. Ia benci. Ia benci semua yang menyangkut laki-laki itu.
Gue benci sama dia ...!
Gue gak mungkin cinta sama dia, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dalam Karya (Terbit)
Teen FictionAntara pura-pura dicintai dan pura-pura dibenci, manakah yang lebih menyakitkan?