Yorala duduk di bangkunya, lalu menatap serius Gizara. “Gi?”
Gizara mendongak, lalu tersenyum. “Hm?”
“Kemaren pas pulang, kamu liat ada kecelakaan, gak, sih, di deket sekolah kita?”
Gizara menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia bingung harus menjawab apa. Jika jujur, ia takut akan kehilangan gadisnya. Jika berbohong, ia tidak bisa karena memang itu bukan prinsip hidupnya.
“Aku gak liat.” Pada akhirnya, laki-laki itu memilih berbohong. “Kenapa emang?”
Kenapa harus bohong, sih, Gi? maki Yorala dalam hati.
Maaf, Ra. batin Gizara. Aku terpaksa berbohong. Aku cuma mau hubungan kita tetep aman.
“Gak, Gi.” ucap singkat Yorala, ia berbalik menghadap depan. “Lupain aja.”
Gadis itu membuka ranselnya dan mengembuskan napas melihat tupperware untuk Ragafa sudah ada di sana. Sebelum berangkat, Yorala terbiasa memasukkan makanan yang sudah disiapkan untuk laki-laki itu ke dalam ranselnya. Secara otomatis, kotak makan itu pun sudah pasti akan selalu ada di ranselnya.
Dia sekolah, gak, ya?
Yorala sedang tidak ingin menemui laki-laki itu. Ia takut akan menjadi lemah lagi saat bertemu dengannya. Ia selalu ingat kejadian semalam, kejadian di mana ia refleks memberikan cinta pada Ragafa yang jelas-jelas bukan kekasihnya.
Gue lagi gak mau ketemu tuh cowok. Kalo sehari aja gak ngasih makanan, nggak apa-apa kali, ya?
***
Bel istirahat sudah berbunyi dari tadi. Ragafa tengah berada di depan wastafel untuk memuntahkan cairan bening yang sedari tadi mengganjal di perutnya.
Perutnya tidak diisi sejak pagi. Perut laki-laki itu tidak boleh terlambat ataupun terlalu banyak makan. Jika itu sampai terjadi, takutnya akan mengakibatkan hal fatal seperti saat ini, memuntahkan sesuatu, entah itu cairan, darah ataupun makanan.
“Gue tadi sengaja gak sarapan biar gue bisa makan makanan lo,” gumam Ragafa.
Ia menatap sayu wajah pucatnya di cermin. Punggung tangannya naik menghapus sisa darah di sela-sela bibirnya.
“Kenapa lo gak bawain gue makanan, Ra?”
***
Yorala terus melamun. Ia tidak melihat sosok Ragafa muncul di dekatnya. Perasaannya pun menjadi gelisah. Ia ingin tahu, apakah laki-laki itu masih sakit karena kecelakaan kemarin?
“Ra!” panggil Meizie. Ia menyadari Yorala terus melamun.
Yorala mendongak. “Eh, iya?”
“Lo ngelamunin apa?” tanya Meizie. “Ngelamuin Raga, ya?”
“Iya, nih ....” Yorala manyun. “Pikiran Yora gak tenang sebelum ketemu dia ....”
“Lo belum nemuin dia, Ra?” tanya Meizie, mendapat anggukan pelan dari Yorala. “Kenapa?”
Gue takut jadi lemah lagi kalo harus ngeliat dia.
“Yora cuma gak mau bikin Raga ngerasa terganggu.”
“Kasian banget lo, ya,” Meizie ikut prihatin.
Yorala membuang napas pelan. “Raga sekolah, gak, ya?"
“Dia sekolah.” sela Fathan.
Kenapa sekolah, sih?! Bukannya semalem keliatan kesakitan banget, ya? pikir Yorala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dalam Karya (Terbit)
Teen FictionAntara pura-pura dicintai dan pura-pura dibenci, manakah yang lebih menyakitkan?