Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Abigail melihat ponselnya yang menyala, ia sengaja tidak menyalakan mode suara atau getar di hari libur atau setelah jam pulang kantor dengan alasan tidak mau me time-nya diganggu. Terlebih dengan Abigail yang sudah memiliki apartemen sendiri, seluruh waktunya banyak dihabiskan untuk dirinya sendiri. Jika dulu ia merasa sendiri itu membosankan dan menakutkan, dalam beberapa minggu terakhir, Abigail sangat menyukai kesunyian yang didapatkannya. Tidak ada suara bising dari mana pun, kecuali jika tetangganya memutuskan untuk ribut di koridor. Hanya itu minusnya dari apartemen ini, tembok yang tipis sehingga suara ribut sesekali masuk ke gendang telinganya.
Memiliki tempat untuknya pulang terasa sangat menyenangkan dan membuat dadanya dipenuhi rasa bangga, terlebih karena sekarang ia menjadi sole provider untuk dirinya sendiri. Tidak ada Mami dan Papi yang menyelipkan uang tambahan di tas kerjanya ketika tanggal tua lantaran hasrat belanjanya memuncak tinggi, tidak juga dengan sarapan yang tersedia di meja makan di pagi hari atau hal-hal yang biasa diterimanya selama 35 tahun hidup dengan orang tuanya. Siapa yang menyangka ternyata mempunyai rumah berukuran kecil dan menguras kantongnya bisa membuat Abigail merasa amat bangga pada dirinya sendiri?
"Ngapain dia nanya gue kapan kosong?" gumamnya sambil menarikan ibu jari di atas layar, mengirimkan pesan yang mengatakan kalau ia kosong setiap saat lantaran jomlo dan tidak punya teman. Abigail bermaksud untuk menyindir Elan, tapi hanya untuk bercanda. Ia tahu kalau Elan masih berusaha untuk mendekati teman kantornya dan sebagai sahabat yang baik hati serta tidak sombong, Abigail tidak mau mengganggu hubungannya. Ia masih memegang ponsel di kedua tangan, menunggu balasan dari Elan dengan mata yang fokus pada layar datar di hadapannya. Ia sedang binge watch series luar, apalagi memangnya yang dapat dilakukan seorang jomlo yang kere di akhir pekan?
Melihat nama Elan di layar ponselnya membuat Abigail teringat kalau setelah pulang dari tempat cowok itu ia menghubungi orang tuanya dan mengatakan jangan mentransfer sejumlah uang lagi ke rekeningnya, meskipun dengan alasan khawatir kalau Abigail tidak makan lantaran tidak punya uang. Ia sampai harus menahan dirinya mati-matian untuk tidak memutar bola mata jika ibunya sudah mulai berlebihan seperti itu. Biarpun tidak sehebat Elan dalam hal mengatur keuangan, Abigail masih paham kalau ia perlu menyisihkan uang untuk keperluan dasar. Hanya saja, terkadang belanja tiba-tiba berubah kolom dari 'lain-lain' ke kolom 'keperluan dasar'.
Pesan memasuki ponselnya lagi dari Elan, "Cewek gue mau kenalan sama lo katanya." Abigail membaca isi pesan itu dengan pelan. Satu sudut bibirnya terangkat tanpa disadari dengan alis yang bergerak ke tengah untuk menunjukkan kalau ia tidak menyukai isi pesan itu. "Ogah banget gue kenalan sama ceweknya dia. Terakhir kali kepala gue bisa botak kalau beneran dijambak sama mantannya. Belum lagi tatapan menghakimi seakan gue itu first dial for sex buat Elan. Ew."
Nope, I can't do it.
Setelah pesan itu memiliki dua centang biru, ponselnya langsung menyala dengan nama Elan lagi di layar, tapi kali ini cowok itu melakukan sambungan telepon.
"Apaan, sih?" ucapnya cepat tanpa kalimat sapaan sebagai pembuka pembicaraan mereka.
"Kenapa lo nggak mau?"
"Karena gue nggak mau rambut indah gue ini rontok dan kepala gue botak karena jambakan sadis cewek-cewek lo." Abigail dapat merasakan tubuhnya bergidik ketika bayangan mantan Elan yang berusaha meraih rambutnya melewati ingatan. Seumur-umur, ia tidak pernah merasa harus melakukan kekerasan seperti itu pada cewek lain hanya karena cowok. Macam tidak ada cowok lain aja di luar sana. Namun, Elan dengan ringannya tertawa di seberang sana seakan hal itu adalah ingatan lucu.
"Yang ini gue yakin nggak bakalan aneh-aneh," ujar Elan setelah tawanya hilang, tapi tidak ada satu pun dari kata-kata cowok itu yang dapat membuatnya merasa tenang. Abigail sudah lama menghindari pacar-pacar Elan setelah insiden itu. Ia tidak mau lagi beramah-tamah pada para cewek yang nantinya akan ditinggal oleh Elan dan membuatnya jadi sosok yang bersalah. "yang ini kayaknya the one." Sambung cowok itu pelan dan sesuatu seperti mengimpit dadanya. Memaksanya untuk mengeluarkan sisa oksigen terakhir di paru-paru.
Selama ini Abigail selalu merasa kalau ia akan menikah lebih dulu dari Elan. Ia tidak banyak memiliki teman dekat karena penampilannya yang berbeda dari teman-teman sekolahnya dulu. Ibunya tidak memasukkannya ke sekolah internasional, ibunya justru memilik sekolah negeri di mana penampilannya selalu akan mencolok dibandingkan teman-teman sepantarannya. Rambut pirang ikal yang mengembang, tubuh yang tinggi serta kulit yang putih. Abigail tahu betul kalau menjadi berbeda tidak melulu mengenai hal-hal indah. Contohnya, bisa saja ada kakak kelas yang merasa tersaingi dan menindasnya dengan melemparkan kuah bakso pedas ke baju. Okay, itu kenangan yang terlalu detail dari masa lalunya. Dan di antara teman-teman dekatnya itu, semuanya sudah memiliki keluarga. Hanya Elan saja yang belum dan itu otomatis membuatnya merasa memiliki teman sepenanggungan.
Bertemu dengan teman dekatnya yang lain hanya akan berakhir Abigail menjadi pendengar karena para ibu-ibu itu mencurahkan isi hati mereka dan Abigail tidak memiliki hati untuk menyela sekedar membicarakan hidupnya yang sudah beda status dari mereka. Atau mendengar ucapan seperti "Lo enak masih single, kalau udah punya anak beda lagi." atau "Lo kalau udah nikah nanti pasti ngerti, deh." dan setelah itu ia merasa tertinggal dari teman-temannya. Seakan teman-temannya yang mulai bersamanya sudah melaju beberapa bab lebih dulu sedangkan ia masih berada di bab yang itu-itu saja selama bertahun-tahun. She feels left out.
Sekarang, Elan juga sudah menemukan calon istrinya, Abigail benar-benar sendiri setelah ini. Tidak ada lagi tempat yang dapat didatanginya saat patah hati.
"Babi? Are you there?" panggil Elan saat tidak mendengar sepatah kata pun dari Abigail. Ia sedikit menyangka kalau sahabatnya itu ketiduran di seberang sana lantaran terlalu hening.
Abigail melonggarkan tenggorokannya yang tercekat dengan deheman beberapa kali, "Iya, gue di sini."
"Jadi, gimana? Lo bisa kapan?"
"Gue bisa kapan aja, sih. Selama itu weekend, gue bisa-bisa aja."
Abigail mendengar suara cewek yang meneriakkan besok di sambungan itu dan ia tahu kalau Elan tidak sendiri saat menghubunginya.
"Besok? Kita bisa ketemuan di café yang biasa," saran Elan.
"Gue perlu bawa baju ganti atau ini pertemuan civilize?"
Tawa Elan bercampur dengan suara cewek mengudara di seberang sana. Setidaknya yang ini memiliki sense of humor, dan tidak menelan ucapannya mentah-mentah lalu mengeluarkan lahar panas dari ubun-ubun.
"Totally civilize," Elan menjawab dengan pasti, masih ada sisa-sisa tawa di suaranya. "see you tomorrow, pukul dua siang."
12/12/21
Revisi tipo 22/3/22BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
ChickLit[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...