Part 12

404 68 1
                                    


Satu part lagi deh hari ini. :)

Happy Reading

Hari itu Chika tidak masuk sekolah. Badrun hanya bisa menduga Chika sakit. Ia sempat melihat Aya tadi ke ruang guru, mungkin untuk mengantarkan surat keterangan sakit dari dokter. Rasa bersalah masih menghantui Badrun sampai saat ini. Panggilan teleponnya tak dijawab Chika sejak semalam apalagi pesannya. Tak dibaca dan dibalas sama sekali. Badrun jadi tidak tenang belajar. Kepalanya sudah berdenyut, stress memikirkan hal ini.

"Drun..." Mirza memanggil namanya, ia langsung duduk di kursi depan.

Badrun menatapnya sinis, "Ngapain lo?" Ia membuang muka, malas menatap wajah Mirza.

"Lo boleh pukul gue. Gue ngga akan balas. Nanti gue akan jelasin semuanya, Drun. Tapi please kasih tau keadaan Chika kalau elo tau," Sesekali arah mata Mirza menoleh ke pintu. Sepertinya ia tak mau Eve tahu dirinya sedang mencari tahu soal Chika ke Badrun, "...please, Drun." Wajah Mirza memelas.

Badrun tak langsung menjawab, "Chika sakit. Jangan tanya gue sakit apa. Lo tengokin aja sendiri." Tak penting sebenarnya jenis penyakit Chika. Yang Badrun khawatirkan adalah hatinya. Anak itu tak mudah percaya lagi pada orang yang sudah menyakitinya.

"Drun, maaf. Gue ngga tahu rumah Chika. Dia ngga pernah ngasih tau gue dia tinggal di lantai berapa," jawab Mirza polos.

Hampir saja tawa Badrun menyembur. Ia menahannya kuat - kuat. Menertawakan betapa bodohnya Mirza sampai tak bisa mendapatkan lantai dan nomor unit rumah susun Chika. Mungkin suara cempreng dari game watch tetris bisa mewakili perasannya terhadap Mirza, "Bego lo!"

°°°

"Terima kasih..." ucap seorang customer cafe usai membayar pesanan take away-nya pada Chika.

"Sama - sama, Kak."

Chika segera mengelap sebuah meja yang baru saja ditinggalkan sepasang cowok dan cewek. Lalu kembali lagi ke belakang kasir.

"Kamu bukannya sekolah malah ke cafe. Nanti kamu sampai siang aja. Istirahat. Kata Mama Aya kamu lagi ngga enak badan," Pak Roy memberikan nasihat pada Chika yang sibuk lagi membaca sebuah buku sambil menunggu customer.

"Chika lagi males sekolah, Pak," Chika menatap mata lawan bicara dan menjawabnya lembut, "...iya, nanti Chika tidur siang. Sore Chika ke sini lagi tapi ya? Ngga dibayar juga ngga apa - apa," ia bersikeras.

Pak Roy berdecak, sudah hafal sekali dia dengan sifat Chika yang agak keras, "Ya sudah, kamu jaga kesehatan. Ngga usah dipaksakan ya?" Ia mengelus puncak rambut Chika dan beranjak ke dalam untuk mengurusi keuangan di dalam.

"Iya, Pak. Makasih."

Tring

Seorang cowok berpostur tinggi dan berperawakan lumayan atletis memasuki cafe. Ia sempat melihat - lihat daftar menu di atas kasir sebelum akhirnya mendekat.

"Selamat si..." Chika tercengang memandangi cowok itu. Ganteng, putih, potongan rambutnya ala taper fade. Dan suaranya lembut dan ramah banget untuk seorang cowok.

"Saya mau pesan avocado coffe satu sama hmmm....red velvet."

"Iya, Kak. Semuanya jadi...." Suara Chika masih gemetaran menghadapi pesona cowok itu yang menggetarkan hatinya. Seolah ia lupa perkataannya sedang membenci cowok. Mungkin hanya Badrun dan Mirza. Cowok ini suatu pengecualian.

"Ini uangnya. Kembaliannya buat kamu. Terimakasih," ujar cowok itu penuh senyum. Menghujam dada Chika begitu kuat. Ah, Chika. Semua ucapan kebencian terhadap cowok ia tarik kembali.

Chika [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang