POIRHAQIE de KRISSIEN

7 1 1
                                    

"Sir, maafkan saya. Bolehkah saya memelukmu?" Pintaku padanya. Suatu permintaan/permohonan yang baru aku sadari sesudahnya bahwa itu tak pantas. Lancang. Seharusnya aku malu menyatakan itu.

Tapi nalar dalam benakku terkalahkan oleh rasa yang dalam hati. Dalam batinku. Sebab aku bukan lagi seorang anak kecil. Anak yang merengek dan merajuk minta perhatian orang-orang di sekelilingnya.

Aku kini telah duduk di kelas X. Aku sudah SMA. Aku telah menjadi seorang gadis remaja yang tumbuh sempurna jasmani dan rohani. Sosok pun sisik. Fisik juga psikhis.

Aku lakukan semuanya ini di luar dugaan. Tanpa rencana. Tanpa skenario. Spontan belaka. Bukan lantaran aku keganjenan. Melainkan untuk menunjukkan rasa hormat dan penghargaanku yang terakhir pada guruku ini.

Bagiku ia adalah malaikat penolong. Namun sayang dia akan meninggalkan kami semua para siswanya. Dia akan meninggalkan sekolah kami tercinta. Kami akan berpisah selamanya.

Mister Poirhaqie de Krissien adalah sosok yang sedang kuceritakan ini. Dia berasal dari Timor Leste. Provinsi termuda kala itu yang lepas dari NKRI. Ia lepas di masa pemerintahan Presiden B. J. Habibi pasca Jajak Pendapat.

Dia adalah salah seorang pengungsi Timor Timur yang terdampar di Jakarta. Sekalipun demikian dia sangat Indonesia. Ia bahkan lebih Indonesia dari orang Indonesia.

Kami biasa memanggilnya dengan Mr. Haqie atau Mr. Krissien atau Mr. Kriss. Beliau tidak keberatan dipanggil apa. Pakai mister atau 'pak,' bukan soal. Tapi dia lebih memilih untuk dipanggil dengan tidak memakai kata mister.

Dia senang dan bangga dengan sapaan 'pak' dibanding mister. Saya orang Indonesia, katanya selalu sambil dua jempolnya mengarah ke dada. Dia sangat bersahaja. Kata guru English-ku, he is an easy going person.

Bahkan tak jarang beberapa anak cowok memanggilnya dengan Bung saja. Kadang pula, Bung Haqie atau Bung Kriss tanpa embel-embel mister di depannya. No problemo! Ada juga di antara kami yang memanggilnya ala Betawi, "Babe." Tidak masalah.

Ia tak marah. Kecuali kalau nalurinya mengatakan sebutan atau panggilan yang dilontarkan mengandung unsur kurang ajar atau pelecehan. Dia juga tidak pernah mau menyebut dirinya mister saat berbicara dengan siswanya. Dia selalu memakai kata saya.

Tidak seperti beberapa guruku yang telah terjangkiti penyakit feodal. Mereka haus kuasa dan gila hormat. Selain menyebut dirinya mister, kami juga harus memanggil mereka lengkap dengan segala predikat yang melekat.

Seperti: guru PKn yang sumringah kalau dipanggil Mr. Hans Rudy Arman Susilo, S.H. Atau guru Musik yang – maaf – paling munafik, Mr. Drs. Donatus Laka Keke. Termasuk kepala sekolah, Mr. Sitepu Budi Setyabhakti, M.Pd. Hidungnya kembang kempis bila dipanggil lengkap demikian.

Menurutku seharusnya mereka menunjukkan keteladanan dalam hal toleransi. Artinya, cukuplah kami memanggil dengan cara atau standar yang umum. Dan bila sudah terbingkai norma kesusilaan – bukan memaki, cincai-lah.

Ini malah sebaliknya mereka mempertontonkan sikap tolol-ransi. Seolah, harkat dan martabat kemanusiaannya meleleh lumer terluluhrontokkan kalau tidak dipanggil lengkap. Ada-ada saja manusia! Batin dan nalarku kompak berseloroh.

Tapi biarlah aku tak perlu pusingkan mereka. Kali ini aku mau fokus pada pribadi guruku yang satu ini, Mr. Haqie. Mungkin lain kali kalau sempat akan kuceritakan tentang mereka itu.

Pernah suatu kali aku melihatnya marah. Ia marah karena ada anak cowok yang memanggilnya dengan nada melecehkan. Chuan Cie, temanku ini, tidak bermaksud begitu. Hanya karena rasa dekat, ia kebablasan.

POIRHAQIE de KRISSIENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang