Fifth Poem

791 112 24
                                    

5番目の詩。

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







5番目の詩。

Aku menyesal akan diriku sendiri. Yang dengan sombongnya memperlakukanmu secara tidak pantas. Yang menginjak cinta tulusmu hanya karena ego yang menguasaiku.





Gerombolan orang berlalu-lalang di sekitarnya. Angin malam sesekali meniup kimono mereka saat menapaki satu persatu anak tangga. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari, sembari membawa manisan apel atau kantung permen di tangannya. Lentera di sepanjang tangga menerangi langkah mereka.

Seorang pria terlihat berpakaian berbeda, bahkan terpisah dari antusiasme semua yang hadir di sini. Ia berhenti di bawah undakan anak tangga pertama. Kepalanya menengadah, memandangi bulan yang mulai beranjak naik sedikit demi sedikit. Ia lupa sejak kapan tepatnya, namun menikmati cahaya bulan sudah menjadi satu-satunya kegiatan paling menyenangkan baginya.

"Masuklah, sedang ada upacara di atas," ujar seorang gadis berambut hitam yang terikat pita putih dengan kimono putih – merah pada seorang pria yang ia perhatikan hanya berdiam diri. Kedua mata berbeda warnanya bergulir turun, menatap ke arah gadis miko yang menegurnya. "Aku buru-buru," kalimat yang sudah menjadi andalannya jika terjebak dalam situasi seperti ini.

"Kalau begitu ikutlah denganku ke kuil barat. Aku melihat sesuatu dari masa lalumu yang membelenggu," gadis miko itu beranjak, menaiki undakan tangga lain di sisi kanan tangga utama. Pria itu menimang sesaat sebelum ia memutuskan untuk mengikuti gadis itu. Selain tidak ada salahnya, ia juga sedikit penasaran dengan maksud dari kalimat yang ia katakan.

Dua gelas ocha panas dengan asap yang mengepul di atasnya menjadi pembatas antara dua insan yang berada di salah satu ruangan kuil. Gadis miko itu tetap pada posisi seizanya, sementara si pria bersila di atas bantal duduk. Mata tajamnya tidak terlepas sedikitpun dari gadis miko, berniat memperhatikan gerak-geriknya, jika terasa mencurigakan, ia rasa tidak ada salahnya langsung memenggal kepala itu. "Apa kabarmu?"

Jengah, pria itu hanya berdecih kasar dan membuang pandangannya ke arah lain. "Jika tidak ada yang mau kau bicarakan, aku pergi," Pria itu sudah berdiri saat gadis miko itu mengambil gelas dan meniup asapnya. "Duduklah, Uchiha Sasuke," dan dengan itu, pria yang hampir melangkahkan kakinya keluar kuil, kembali berbalik dan duduk di posisi semula. "Bagaimana kau tahu namaku?" tatapannya menyelidik, hati kecilnya berprasangka, apakah ia salah satu keluarga korban kebengisannya dahulu?

"Katakanlah aku seorang cenayang. Namaku Hatsu, miko di kuil ini," dengan tenang gadis miko bernama Hatsu itu menyesap ocha pahitnya, membasahi kerongkongannya sebelum mulai mendongeng. "Apa kau bahagia?" bukan mendapat jawaban, Hatsu malahan mendapat hadiah ayunan mata pedang yang terarah lurus ke lehernya. "Katakan apa maumu, jangan membuang waktuku," mungkin niatnya memang baik untuk menebus dosa, namun sifat cukup menyebalkannya ini sedikit sulit dihilangkan sepertinya.

"Baiklah. Sebut aku lancang karena tidak sengaja melihat kehidupanmu sebelumnya. Kau—" Hatsu sengaja menggantungkan kalimatnya, meniti tiap titik wajah tampan sebelum kembali melanjutkan, "—mungkin tidak bahagia saat ini, namun aku yakin kau akan bahagia di walaupun bukan saat ini. Turunkan pedangmu, aku akan memperlihatkan masa lalumu, sumber dari segala kesengsaraan yang kau alami," Hatsu berkata dengan halus dan tenang, ia masih mempertahankan posisinya menyesap ocha sedikit demi sedikit.

UKIYO 浮世Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang