Dahyun membereskan berkas yang menumpuk di meja kerjanya. Hari ini ia bisa pulang lebih awal dari kantornya karena ia harus mewawancarai seorang narasumber untuk mengisi sebuah artikel majalah yang akan terbit bulan Januari mendatang.
Saat sudah siap untuk pulang, Nayeon—redaktur dari tempat ia bekerja menghampirinya.
"Dahyun, kamu yakin?" tanya Nayeon.
Dahyun tidak mengerti maksud dari perkataan Nayeon. "Maksud kak Nayeon apa?"
Nayeon menghela napas dan mengembuskannya dengan kasar. "Sudah tujuh tahun sejak kematian kak Taeyeon, kamu selalu mengambil pekerjaan di Malam Natal. Kamu enggak bisa apa sekali-kali ngerayain Malam Natal bareng Minjeong."
"Memangnya kenapa kalau sudah tujuh tahun, kak? Emangnya kalau sudah tujuh tahun, kak Taeyeon bakal balik ke aku? Enggak, 'kan?" tanya Dahyun dengan nada ketus.
"Minjeong sudah bisa menerima kalau kak Taeyeon sudah tiada, tapi kenapa kamu enggak bisa?"
Dahyun memutar bola matanya. "Minjeong bukan aku dan aku bukan Minjeong! Minjeong mudah menerima karena dia enggak dekat dengan kak Taeyeon."
"Minjeong sudah kehilangan figur seorang ayah dan ibu sejak bayi dan tujuh tahun lalu, kehilangan figur seorang kakak. Dia kehilangan kedua kakaknya, Dahyun!"
"Maksud kak Nayeon apa? Aku masih hidup, kak Nayeon nyumpahin aku mati?!"
"Benar, kamu emang masih hidup. Namun kamu sadar gak sih kalau kamu sama sekali enggak bisa jadi kakak buat Minjeong!"
"Kak, Minjeong kehilangan kak Taeyeon di umur 20 tahun! Dia gak butuh figur seorang kakak di usia segitu."
"Dan kamu kehilangan kak Taeyeon di umur 23 tahun dan sekarang kamu udah 30 tahun sampai sekarang kamu belum bisa menerima kalau kak Taeyeon sudah tiada! Kamu dan Minjeong sama-sama kehilangan kakak di usia yang sudah dewasa, Dahyun! Namun sayang sekali, di umur 30 tahun kamu masih butuh figur seorang kakak berbeda dengan Minjeong."
Dahyun sangat benci jika ia harus dibanding-bandingkan dengan adiknya itu. Tentu saja ia kehilangan figur seorang kakak karena dirinya dan kakaknya tersebut sangat dekat. Karena kakaknya itulah ia sangat menyukai Malam Natal. Setiap tahun ia merayakan Natal dengan sukacita. Namun, semenjak kepergian kakaknya itu ia memulai membenci Natal, ia membenci musik yang selalu ia mainkan ketika Malam Natal tiba.
Semenjak kepergian kakaknya, Dahyun yang notabene seorang Sarjana seni musik itu pun banting setir menjadi jurnalis di sebuah perusahaan majalah. Beruntung saat kuliah ia bergabung di klub jurnalistik bersama dengan Nayeon. Sehingga saat membutuhkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan musik, ia masih mampu mengerjakannya. Dahyun juga bersyukur Nayeon dapat merekomendasikan dirinya untuk masuk ke perusahaan.
Namun, karena ucapan Nayeon yang membanding-bandingkan dirinya dengan adiknya, Dahyun merasa menyesal bekerja di perusahaan tersebut. Dahyun semakin membenci orang-orang di sekitarnya.
Sejujurnya Nayeon berucap seperti itu karena sejak tujuh tahun lalu, Dahyun menjauh. Dahyun menjauhi Sang Pencipta. Saat Taeyeon masih hidup, Dahyun sungguh rajin untuk beribadah hari Minggu. Nayeon yang dulunya satu gereja dengan Dahyun tidak ingin Dahyun kehilangan arah.
"Maaf, Dahyun. Kamu harus dikasari agar sadar dengan perbuatanmu. Sudah tujuh tahun kamu menjauhi Tuhan. Sejak kematian kak Taeyeon, kamu ke gereja dapat dihitung dengan jari setiap tahunnya. Aku ingin kamu kembali seperti dulu."
"Aku akan kembali seperti dulu jika kak Taeyeon juga kembali padaku." Dahyun pergi meninggalkan atasannya. Suasana hatinya begitu buruk. Ingin rasanya ia tidak bekerja di Malam Natal. Namun, ia sudah dikontrak untuk itu dan tidak bisa membatalkannya begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anthology: MiHyun & SaiDa
FanfictionKumpulan oneshot dan cerita pendek Saida dan Mihyun P.S. Mostly MiHyun 😬