Revan
"Kamu jadi pulang ke Jakarta kapan, Van?" Pertanyaan Bu Rima membuatku segera membalikkan badan, setelah memastikan ayah Indira tidur nyaman di ranjangnya.
"Masih belum tau, Bu." Jawabku apa adanya. Semenjak kondisi beliau membaik, Bu Rima lebih memilih berjaga di sini dari pada pulang ke rumah. Aku sudah menawarkan diri untuk menjaga ayah Indira, tapi beliau menolak, sebagai gantinya, wanita yang hampir persis dengan Indira itu memintaku untuk sering-sering datang kemari, menemaninya.
Aneh, kan? Of course! Aku juga berpikir begitu. Kukira beliau tidak mau lagi melihatku, setelah apa pun yang sudah kulakukan dulu. Ternyata malah sebaiknya, semenjak malam di mana Bu Rima bertanya kapan aku dan Indira akan menikah, beliau bersikap sangat baik padaku.
"Indira itu udah waktunya di ajak ke Jakarta lagi." Dan semenjak malam itu juga, Bu Rima jadi sering mengajukan kalimat-kalimat provokatif seperti itu. Awalnya aku mengira itu bagian dari sarkasme beliau, tapi setelah berulangkali diucapkan, aku jadi tau kalau beliau bersungguh-sungguh.
"Hehe, nanti ya Bu, kalau Indiranya mau." Itu jawaban paling aman menurutku. Ya gimana mau ngajak ke Jakarta, melihat wajahku saja dia ogah-ogahan.
"Usahamu kurang keras, Van. Indira itu nggak gampang marah, tapi sekalinya marah, ya gitu, susah luluhnya. Jadi, kalau kamu memang masih mau sama dia, kamu harus berjuang lebih keras lagi." Itu juga nasihat Bu Rima yang entah keberapa, karena topik pembicaraan kami selama beberapa hari ini kebanyakan hanya tentang Indira, jadi tidak heran kalau pertanyaan dan jawaban kami seringkali de Javu, atau gampangnya, ya, itu-itu saja.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian kami, Bu Rima yang paling dekat dengan pintu segera berjalan untuk membukanya, mempersilahkan siapapun yang ada di luar untuk masuk.
"Maaf ya, Bu, kami baru kemari sekarang, Revan baru bilang kalau ayah Indira masuk rumah sakit." Kepalaku refleks menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara itu. Demi Tuhan, itu mama! Aku nggak salah dengar, dan nggak mungkin salah lihat juga.
Aku terpaku sejenak. Di sana ada mama dan jangan lupakan Ravina juga. Tuhan, ngapain mereka kesini?!
Melihat Bu Rima yang hanya diam menatap bingung pada mereka berdua, mama buru-buru mengulurkan tangan, "Saya mamanya Revan, Bu. Sampai lupa belum kenalan! Dan ini Vina, kakaknya Revan."
Aku menghela napas, tidak heran sama sekali. Mama dengan segala kehebohannya.
Bu Rima terlihat terkejut sebentar, sebelum kemudian segera tersenyum lebar menjabat tangan mama. "Oh, iya iya. Saya Rima, ibunya Indi. Monggo, Bu, mbak, silakan masuk."
Yang pertama dilakukan Bu Reta, alias mama rempongku itu begitu memasuki kamar rawat pak Handi adalah memelototi anaknya. Pasti beliau kesal karena aku tidak segera datang menghampiri begitu melihat mereka ada di ambang pintu. Ya namanya juga kaget!
Aku langsung berjalan menghampiri mama, sebelum wanita cantik itu mengeluarkan tanduknya, "Ma," sapaku sambil bergerak memeluknya. "Ngapain ke siniii?" Aku bertanya gemas dengan suara super pelan tepat di telinganya, berharap tidak ada yang mendengar. Tapi kemudian mataku menangkap Ravina yang berdiri dibelakang mama tersenyum geli.
Mama tidak menjawab, hanya mencubit pelan pinggangku sebelum melepas pelukan kami.
"Ini anak memang agak manja Bu, kalau sama saya." Jelas mama pada Bu Rima yang sudah berdiri di samping ranjang suaminya.
Bu Rima terkekeh pelan, "Anak bontot memang begitu."
"Bapak gimana kondisinya, Bu?" Mama memulai basa-basinya.
Bu Rima memandang wajah pak Handi yang tampak pulas, "Alhamdulillah sudah jauh lebih baik, ini baru saja tidur setelah puas ngobrol sama Revan." Terangnya.
Mama menyimak antusias, lalu matanya menemukan mataku, mencibir tanpa suara. "Dasar modus!" Aku hanya memutar bola mata pura-pura tidak memahami maksudnya.
Walaupun tidak mau aku merebut Indira dari pacarnya, aku tau mama tetap akan senang jika pada akhirnya aku berhasil mendapatkan Indira lagi.
Mama dan Bu Rima mulai bercakap-cakap ria, entah tentang apa. Jadi, aku mendekat ke arah Ravina yang dari tadi duduk diam di kursi dekat pintu. "Kok bisa sampai sini, sih?" Tanyaku.
Kakakku itu tersenyum geli, "kayak nggak tau mama lo aja! Tadi pagi tiba-tiba nelpon minta jemput di bandara. Katanya sengaja nggak ngabarin siapa-siapa biar nggak dicegah. Pengen banget ketemu sama mantan calon besan kayaknya!"
Aku mencibir pelan, "mantan, mantan! Doain kek, biar tetep bisa jadi besan."
"Gue mah, apa katanya si Indi aja, kalo dia mau Alhamdulillah, kalau enggak ya nikmatin aja!"
Aku meliriknya sebal, kalau tidak ingat ada mama dan ibu Indira, juga pak Handi yang sedang istirahat di brankarnya, aku pasti sudah membungkam mulut pedasnya.
Aku baru akan balas menghardik Ravina saat tiba-tiba pintu di buka dengan hati-hati dari luar, dan suasana seketika jadi hening begitu menyadari siapa yang masuk ke dalam. Itu Indira, masih dengan seragam tokonya, dan tepat di belakangnya ada seseorang yang belum masuk sepenuhnya. Tapi aku bisa menebak siapa yang dibawanya, itu jelas..
Andri?
Bukan Reyhan, tapi Andri! Iya, Andri teman sialanku itu.
Indira sepertinya belum menyadari keramaian di dalam sini, karena setelah membuka pintu dan mempersilahkan Andri masuk, dia segera menutup pintu lagi, jadi matanya jelas belum sempat mengamati isi ruangan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...