"Kalau kamu tidak mencintai diri sendiri, siapa lagi yang akan mencintai dirimu?"
Aku terus mengulang-ulang kata itu bagai mantra demi menghipnotis diri sendiri. Sebanyak apapun aku tersenyum, sebanyak apapun aku menangis, sebanyak apapun aku marah, jika aku tidak memiliki kecintaan sedikitpun pada diriku... aku hanyalah cangkang kosong.
Semakin tinggi, semakin kuat terpaan anginnya. Aku masih bisa berjalan di gurun berangin yang selalu mengusik mataku. Minum yang kubawa sudah habis, kantung makanan yang kubawa sudah kosong. Hanya tudung dan tubuhku yang masih bisa kupakai. Namun ketika badai gurun datang...
"Kasihan jika hidup seperti ini, mati pun belum waktunya."
Hanya dari satu kalimat yang kudengar saat badai gurun menghantam mampu mengubah haluanku. Tudung yang menutupi kepalaku kini terbuka, mengekspos wajahku, telingaku, mataku, bibirku, hidungku, rambutku - seluruh kepalaku dengan jelas pada teriknya matahari. Ini kali pertamanya aku jujur pada diriku sendiri, aku benci diriku.
Aku benci diriku yang lemah, aku benci diriku yang tak bisa apa-apa, aku benci diriku yang tak berani melangkah jauh ke oasis di sana. Aku benci tidak bisa membedakana antara fatamorgana dan kenyataan. Aku benci, benci, benci!
Ctik...
Aku mengeluarkan gagang dengan ukiran bunga indah favoritku. Aku menatapnya sedikit lama ditengah pusaran badai gurun ini. Aah, begitu indah. Aku tarik bilah pisau yang bersembunyi di sana. Aku menutup mata, berdoa semoga menerima keselamatan dengan tumbal diriku sendiri. Kuantarkan bidang miring itu ke pergelangan tanganku.
Ini tidak seperti yang kubayangkan. Kenapa tanganku berhenti? Kenapa tanganku bergetar? Kenapa tubuhku menangis seakan-akan tidak mau melihatku terselamatkan? Ada apa? Padahal orang-orang dengan mudahnya pergi ke tempat tiada badai gurun. Kenapa?
Plak!
Satu tamparan di wajahku berhasil membuatku tersungkur. Setengah wajahku tenggelam dalam pasir gurun yang terus bergemuruh diterpa badai. Apa-apan orang tadi? Walau seharusnya aku melakukan sesuatu, tetapi tubuh ini hanya mematung meskipun belum kupersembahkan pada bumi.
"Apa yang kamu lakukan?!" orang dengan jubah panjang menghampiriku. Wajahnya tidak terlalu jelas karena ia menggunakan tudung dan membelakangi angin badai sehingga tudungnya selalu menghalangi penglihatanku. Tetapi yang jelas kurasakan, ia sedang marah kepadaku.
"Jangan lakukan!" orang lain lagi muncul. Ia menyembunyikan tangisannya dibalik bahu orang pertama. Ia berkata hal-hal lain yang tidak terlalu masuk ke sebelah telingaku ini. Jujur, aku tak tahu apa yang sebaiknya kutunjukkan sebagai respon, seakan-akan tubuh ini sudah kehilangan ruhnya.
"Terus berjuang di medan pertempuran yang dinamakan 'Kehidupan'. Akan ada hukuman bagi orang yang menunjukkan punggungnya di peperangan bukan?" muncul lagi orang baru yang kini menepuk pundak orang kedua dengan pelan.
Akhirnya aku kembali diberi kendali atas tubuhku. Aku mencoba duduk diatas pasir kering ini sambil terus menunduk. "Aku ingin keluar dari badai ini." gumamku lemah. Aku mendengar sedikit tawa pelan dari salah satu orang-orang yang ada dihadapanku. Spontan, aku mengangkat kepala dan mendapati mereka bertiga menunjuk ke arah yang sama.
"Terus berjalan hingga menemukan ujung badai." ucap salah satu dari mereka. Orang yang tadi menangis segera menyita pisau lipatku dan memberikan sebotol air. Begitupun dengan dua orang lainnya. Salah satu dari mereka mengulurkan tangannya hendak membantuku berdiri. Tentu saja aku menerimanya. Seketika aku berdiri, ketiga orang itu berbalik badan dan mulai berjalan menjauh, menghilang terhalang badai.
Entah mengapa, diriku kesal. Rasanya ingin marah. "Hei! Kalian menyita pisauku dan memberiku minuman! Kenapa sekarang meninggalkanku?! Gandeng aku hingga ujung badai gurun ini!" teriakku sekuat yang kubisa sambil mengulurkan tanganku dengan kasar. Tidak ada dari mereka yang berbalik untuk sekedar melihatku. "HEI!!" panggilku lebih kencang.
"Hei, kalau memang mau ke ujung badai ini, gunakan kedua kakimu sendiri."
Aku tertegun. Aku tak bisa mempersembahkan tubuhku pada bumi ini lagi karena pisauku disita. Aku cuma punya minuman yang mungkin bertahan untuk lima hari kedepan. Apa yang harus kulakukan?
Bagai orang setengah hidup, aku mulai melangkahkan kaki, sedikit demi sedikit. Aku hanya berjalan ke arah yang menarikku selagi berharap aku yang selanjutnya akan terpilih oleh Tuhan agar keluar dari badai gurun ini.
Tebalnya pasir yang menutupi pandanganku ditambah ketidak-fokusan indraku membuatku menabrak batu besar. Sakit. Namun aku berusaha tak mempedulikannya. Walau hidungku berdarah, aku terus berjalan dengan arah yang sama. Aku terus berjalan walau bagian kanan jubah dan bajuku terkoyak karena menyerempet tanaman kaktus yang besar. Sakit. Tapi aku menggeleng, jika tidak kurasakan, maka tidak sakit. Setengah sadar terus berjalan tanpa mempedulikan perasaan apapun, aku menjadi boneka berjalan.
Tiba-tiba ada beberapa orang yang memelukku, dari depan dan belakang. "Selamat!" ucap mereka. Apa yang...
Tunggu!
Pandanganku kini sangat jelas. Aku... keluar dari badai itu?
Aah, jadi begitu. Aku berhasil.
"Selamat ya! Kamu berhasil!!" kulihat orang yang tadi menyita pisauku menyelamatiku.
"Selamat." Kini orang yang menamparku tersenyum padaku.
"Selamat, selamat!" banyak orang mengerubungiku, walau aku tak mengenali wajah mereka satu persatu. Aku menyapu pandanganku ke seluruh sudut yang bisa kucapai, aku sudah berada di bawah langit cerah tanpa badai gurun. Aku tersenyum, seakan-akan penderitaan yang kualami barusan hanyalah mimpi belaka.
Orang yang memarahiku di tengah badai gurun tadi meraba sebelah pergelangan kakiku dan melepaskan tali disana. Lalu ia melepaskan tali yang sama dan berada di sebelah pergelangan kakinya. Aku terkesiap. Jadi selama ini secara tak langsung aku digandeng olehnya? Jadi bukan suatu kebetulan aku berjalan ke arah ini walau pikiranku hilang entah ke mana.
"Kamu sudah berhasil melewatinya. Kali ini, ayo kita lewati dengan kekuatan kita sendiri." serunya sambil menunjuk badai gurun lainnya yang mulai mendekati tempat kami. Aku tersenyum sedikit. Seperti menemukan jalan baru, aku menangguk dua kali.
Tak usah terburu-buru, tak usah mengkhawatirkan kekurangan yang bisa diubah, tak usah mempedulikan rasa sakit karena rintangan, tak usah merasakan apapun, hanya terus berjalan hingga ujung badai gurun dan menyambut badai gurun lain, bersama ribuan orang lainnya. Aku sama seperti mereka, mereka sama sepertiku. Cangkang kosong tadi sudah mulai terisi kembali, bukan dari diriku saja. Aku menatap lurus badai gurun yang semakin mendekat.
"Ayo kita jalani siklus badai gurun ini... hingga saatnya tiba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Oasis Esok Hari
Short StoryBerjalan sendirian ditengah badai gurun pasir. Hanya ada tumbuhan kaktus terdiam melihat teater monoton kayuhan dua kaki pemuda yang kian melambat. Hanya bisa terus berjalan walau setengah tak sadar. Dengan bekal yang cukup untuk lima hari ke depan...