𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭. 𝟏: 𝐏𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐚𝐭𝐚𝐬𝐭𝐫𝐨𝐩𝐢𝐤

439 74 72
                                    

Sebuah notifikasi pop up iklan muncul di permukaan layar gawai, terlihat judul yang ditawarkan begitu kontroversial hingga memantik minat si pemilik untuk membaca keseluruhan dalam waktu singkat. Pada hitungan detik, konten dari pemberitahuan itu pun telah dijelajahi.

"Salah seorang peneliti CRISPR gene-editing* dan ahli mikrobiologi terkenal di San Fransisco, George W, meninggal setelah melompat dari gedung apartemennya."

*Teknik rekayasa genetika biologi molekuler untuk memodifikasi genom organisme hidup agar dapat memperbaiki mutasi dan mengobati berbagai penyakit genetik.

Ada tiga hal yang membedakan kasus milik Tuan George dengan kasus bunuh diri biasa: San Fransisco beserta kemewahannya, prestasi, dan namanya yang menjual di bidang sains. Dengan 3 pengaruh besar tadi, orang ini malah melepas semua itu dengan cuma-cuma. Tepat seperti dugaan, kolom komentar pun ramai dengan orang-orang menyayangkan pilihan lelaki berkulit gelap itu dengan menyia-nyiakan kesempatan hidupnya yang beruntung.

Namun, bagi seorang Hara, sudah lama ia tidak menganggap bahwa kematian itu merupakan hal yang mengerikan dan sia-sia. Setidaknya jika memang kematian adalah akhir yang final dan absolut, ia mungkin akan menjabat tangan orang-orang yang telah terbujur kaku di peti mati. Selamat, setidaknya semuanya telah berakhir, pikirnya.

Ia sangat ingin mati.

"Lihat perempuan tadi? Berantakan sekali. Riasannya aneh, belum lagi dia merokok!" Perbincangan asing dari meja sebelah menarik atensi Hara untuk beralih dari layar gawainya yang masih menyala.

"Perempuan kok merokok ya?" balas lawan bicaranya terdengar mengolok-olok.

Hara dan rasa penasarannya, mencoba mengintip perwujudan perempuan yang mereka maksud. Didapatinya sosok yang menjadi contoh penyimpangan nilai-nilai moral dalam masyarakat—atau sebut saja 'sampah masyarakat'. Kemudian dengan sadar, Hara membandingkan dirinya dengan perempuan itu, betul, adu nasib. Hasilnya ternyata tidak jauh beda, sama bobroknya—Eh, tidak, Hara lebih buruk.

Oh, apa ini yang disebut looking self glass? Bercermin pada dirinya sendiri untuk membandingkan nilai-nilai moral milik pribadi dengan milik orang lain. Biasanya orang-orang melakukan ini untuk bermuhasabah diri dan mengendalikan bagian liar—sisi jahat—dalam dirinya. Namun, Hara gagal memenuhi maksud baik perbandingan itu dan menyalahgunakannya untuk mengasihani dirinya sendiri dengan bersikukuh bahwa ia memanglah paling buruk seburuk-buruknya di antara banyaknya manusia.

Jika sudah seperti ini, Hara akan kembali menyalahkan otaknya. Tepatnya pada bagian neokorteks, atau mungkin orang-orang menyebutnya otak berpikir yang merupakan bagian evolusi inteligensi manusia. Fungsi persepsi dan logikanya sudah berjalan menuju kecacatan dan ia yakin betul penyebab ia memiliki pola pikir sesat seperti ini karena bagian miliknya telah rusak.

"Itu proposal skripsi, sengaja dijadikan alas cangkir kopi?" Suara pelan yang tidak asing itu berhasil memberi efek kejut pada Hara.

Setelah tersadar, Hara menarik proposal yang terlihat penuh dengan coretan bertuliskan "revisi" dari bawah cangkir. Menyapu kasar permukaan kertasnya walau ia tahu hanya akan sia-sia. Lembar teratas yang berisi identitasnya sebagai mahasiswi tingkat akhir jurusan Kimia Murni, sudah tak dapat terselamatkan.

Puas mengamati kekacauan di teritorial Hara yang penuh dengan tumpukan cangkir kopi, perempuan berkulit kuning langsat dengan rambut hitam lurus sepanjang bahu itu, Resti, mengambil posisi duduknya kemudian mencuri pandangan pada gawai milik Hara. Melirik sepintas saja pada judul tertera, dia sudah langsung berasumsi sendiri.

"Terlepas dari gelar yang orang itu miliki, menurutku, orang-orang yang berakhir bunuh diri itu adalah orang-orang yang bodoh," ucap Resti dengan mata masih terfokus memilih pada buku menu.

Repositori Arsitek: Visualisasi MitosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang