BAGIAN 2

139 10 0
                                    

Dada Kelana terasa bergemuruh bukan main mendengar berita yang menimpa keluarga Ki Narayana. Begitu tiba di rumah orang terkaya di Desa Kanoman yang dilihatnya sangat mengiriskan. Mayat-mayat bergelimpangan. Keadaan rumah juragan itu masih terlihat porak poranda, Ki Narayana terluka.
"Orang-orang asing. Entah, apa maunya. Mereka..., mereka menculik Marni...," tutur istri Juragan Narayana dengan terbata-bata dan air mata berlinang, sambil merawat suaminya.
"Terkutuk!" desis Kelana geram. "Ke mana mereka membawanya?"
Wanita itu menggeleng lemah. Dan air matanya kembali mengalir.
"Yang lain telah berusaha mencari...," sambung Nyai Narayana.
"Bibi, tenang saja di sini. Urus Paman Narayana. Biar mereka kukejar," ujar Kelana, pemuda yang selama ini menaruh perhatian pada Marni.
"Kembalikan Marni ke sini, Kelana...."
"Jangan khawatir! Aku akan membawa Marni kembali, Bik!" Dengan wajah geram dan hati penuh amarah, pemuda itu segera bangkit.
Kakinya melangkah lebar, keluar dari rumah Juragan Narayana. Bersama beberapa penduduk desa, dia bertekad mencari orang-orang asing yang telah mengobrak-abrik tempat kediaman Marni, gadis yang menarik perhatiannya. Juragan Narayana sendiri sekarang hanya bisa terbaring, ditemani istri dan beberapa tetangga. Meski kaya dan memiliki banyak sawah, ladang, serta heran ternak, laki-laki setengah baya itu bukanlah orang sombong. Perangainya ramah dan pemurah.
Tak mengherankan kalau penduduk desa menyayanginya. Maka ketika mendengar musibah yang menimpa keluarga itu, tanpa diminta mereka berbondong-bondong menolongnya. Sebagian mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman depan, dan lainnya mengejar orang-orang berbaju serba hitam yang telah melarikan diri membawa Marni.
Sementara itu, Kelana terus melangkah ke arah beberapa laki-laki penduduk desa yang tengah berkumpul di depan rumah Kepala Desa. Benaknya menduga yang bukan-bukan akan keselamatan Marni. Dia khawatir para laki-laki asing itu merusak kehormatan Marni. Dan..., kita-kira dia mengerti, di mana tempat orang-orang melakukan perbuatan maksiat!
"Ikut aku, Kang Braja!" ajak Kelana ketika tiba di depan rumah Kepala Desa.
"Ke mana, Kelana?" tanya laki-laki bertubuh kurus yang dipanggil Braja.
"Ke Jurang Langu!" sahut Kelana.
"Ke jurang Langu? Mau apa malam-malam ke sana, Kelana?" tanya Braja lagi.
"Mencari Marni! Memangnya mau apa lagi?!"
"Mencari Marni kok ke sana? Apa kau yakin Marni dilarikan ke sana?"
"Ayolah, kau mau ikut atau tidak?"
"Baiklah. Aku akan ajak Legawa! Dan kau, Kubil! Ayo temani Kelana!" ujar Braja.
Jurang Langu. Sebuah lembah yang tidak terlalu landai. Banyak pepohonan meski tanahnya kebanyakan berbatu dan kelihatan gersang. Di sana berdiri sebuah pondok tua berusia ratusan tahun. Konon, pondok itu dulu pernah ditinggali seorang tokoh persilatan yang tak dikenal penduduk desa itu. Dan tokoh itu dianggap telah meninggal, karena tiada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya sampai sekarang.
Belakang diketahui kalau pondok itu dijadikan tempat maksiat bagi muda-mudi yang tengah kasmaran dan tak tahan godaan setan. Meski begitu, tak satu penduduk pun yang berani mengusik. Karena kebanyakan mereka takut mendekati tempat itu, setelah salah seorang penebang hutan menemukan beberapa mayat bergelimpangan di sekitar pondok itu.
Kelana berada paling depan ketika bersama Braja, Legawa, dan Kubil tiba di dekat pondok tua itu. Saat itu malam gelap telah melingkupi sekitarnya. Angin berhembus perlahan. Dia memberi isyarat agar obor-obor dimatikan serta menyiapkan senjata.
"Aduh.... Dengkul ku gemetar...," keluh Braja, berbisik.
"Kang Braja.... Kalau kau takut, lebih baik pulang saja...!" bisik Kubil.
"Iya. Lebih baik kelonan dengan istrimu...!" timpal Legawa.
"Sialan kau, Legawa! Siapa bilang aku takut?!" dengus Braja melotot lebar.
"O, mungkin dengkulnya gemetar karena kebanyakan!" sambung Kubil.
"Kebanyakan apa?" tanya Legawa pura-pura tidak mengerti.
"Awas kau, Kubil!" ancam Braja.
"Aku bilang Kang Braja dengkulnya gemetar karena kebanyakan..., nyangkul! Iya kan, Kang?!" Kubil terkekeh ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Nyangkul sawah yang bisa kentut?" tukas Legawa.
Sebelum mereka terkekeh kembali. Kelana sudah memberi isyarat.
"Kalian ini kenapa? Masih sempat bercanda segala!" desis Kelana.
"Aduh, Kelana marah. Tenang, Kawan. Marni tak apa-apa. Kelihatannya kau sewot betul...!" olok Kubil.
"Sudah, sudah...! Diam kalian!"
Semua terdiam. Perhatian mereka kini sama-sama tertuju ke arah pondok.
"Biar aku yang periksa ke sana...," cetus Legawa.
Saat itu juga, Legawa lompat ke depan. Dia melangkah mengendap-endap ke arah pondok. Namun baru saja sampai lima tombak di samping pondok, langkahnya terhenti ketika sesosok tubuh tegak berdiri menghadang. Melihat keadaan itu, Kelana, Kubil, dan Braja muncul. Mereka langsung mengelilingi seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. Matanya sipit, namun menyorot garang.
"Nah, ini orangnya!" seru Braja yang tadi berada di rumah Juragan Karta ketika keributan terjadi.
"Yakin, Kang?!"
"Meski bukan dia, tapi orang ini kawannya. Entahlah, aku tak begitu ingat. Tapi sipit-sipitnya sama. Dan baju serta,.., eeeh!" Braja terkejut. Langsung dia melompat mundur ketika laki-laki berbaju serba hitam itu menghunus pedang panjang.
"Benar, Kelana! Ini orangnya. Tak salah lagi!" teriak Braja, buru-buru menyelinap di belakang Kelana.
"Kurang ajar! Hei, Bajingan Sipit! Mana Marni? Kembalikan dia pada kami!" bentak Kelana.
"Cari mati! Pergi! Sebelum kepala kalian kutebas!" desis laki-laki berbaju serba hitam itu.
"Huh! Jahanam terkutuk! Masih sempat juga kau menggertak, he?!" dengus Legawa. Dan tak banyak bicara lagi, Legawa langsung melompat menyerang dengan golok terhunus.
Disertai dengusan dingin, laki-laki bermata sipit itu mengibaskan pedangnya yang berkilatan.
Tras! Sret!
"Aaa...!"
Pedang laki-laki itu kontan mematahkan golok Legawa dan terus menyambar ke dahi. Terdengar jeritan panjang sebelum Legawa tersungkur. Dari dahinya memancur darah segar.
"Legawa...!" seru Kelana dengan suara tercekat.
"Kalian akan bernasib seperti dia! Dan tak ada kesempatan bagi kalian untuk meloloskan diri!" desis laki-laki berbaju serba hitam itu, menyeringai dingin.
"Keparat! Kau harus menebus kematiannya!" desis Kelana, siap melepas serangan.
"Yeaaa...!" Namun Kubil lebih cepat mendahului. Goloknya berkelebat cepat mengibas.
Namun dengan enaknya laki-laki itu bergerak ke kiri, seraya mengayunkan pedang. Tepat ketika golok kubil terhantam, golok Kelana meluncur datang menuju perut. Dengan kecepatan luar biasa, laki-laki bermata sipit itu memutar pedangnya ke bawah. Golok Kubil dan Kelana laksana batang pisang bertemu kelebatan pedang tajam. Putus menjadi dua bagian! Bahkan sebelum mereka menguasai diri, laki-laki bermata sipit itu telah menggerakkan pedangnya cepat bukan main. Lalu....
"Cras! Cras!
"Aaa...!"
Kubil dan Kelana menjerit tertahan sebelum ambruk tak berdaya dengan dahi tertembus pedang.
"Ohh...!"
Braja terkejut setengah mati melihat kematian kawan-kawannya. Wajahnya pucat pasi dengan tubuh semakin gemetar. Sesaat matanya memandang mayat ketiga kawannya, lalu beralih kepada laki-laki berbaju serba hitam itu. Tanpa sadar kakinya beringsut mundur.
"Hehehe...! Kau masih menginginkan gadis itu? Dia tengah digilir kawanku. Kau boleh menonton kalau mau. Asal, tidak buat keributan," kekeh orang bermata sipit ini.
"Ma..., Marni?" sebut Braja, tertahan.
"O.... Namanya Marni, ya? Bagus. Dia gadis cantik dan cocok buat kami. Mungkin kau bisa carikan gadis-gadis cantik lainnya buat kami."
"Oh! Bi..., bisa, Tuan! Bisa!" sahut Braja cepat setengah berlutut.
"Sekarang, Tuan?"
"Ya, sekarang."
"Kalau begitu, baiklah! Akan kucarikan segera!" Braja sudah akan bangkit dan bermaksud kabur secepatnya.
"Enak saja! Kalian kira aku germo! Rasakan! Nanti akan kubawa semua penduduk desa untuk menghabisi kalian!" umpat Braja dalam hati.
"Tunggu dulu!" cegah laki-laki asing itu.
"Eh! Apa lagi, Tuan?" tanya Braja.
"Maksudku, kau boleh mencarikannya dari akhirat sana!"
Mata Braja terbelalak lebar. Dan lututnya lemah seperti lumpuh. Sukmanya terasa terbang ketika mendengar ancaman itu. Apalagi ketika melihat laki-laki berbaju serba hitam itu mengangkat pedang. "Tu..., Tuan! Ampuni jiwaku. Ampuni aku, Tuan...," ratap Braja seraya bersujud mencium kaki laki-laki itu.
Tapi laki-laki itu tak mempedulikannya. Dengan kasar ditendangnya kepala Braja. Braja tergeser beberapa langkah disertai jerit tertahan. Namun buru-buru dia kembali bersujud di kaki orang itu. Namun sebelum hal itu dilakukan, mata pedang laki-laki sipit ini telah menyambar ke dahi.
"Aaa...!"
Braja kontan melotot lebar dengan mulut ternganga. Darah mengucur dari dahi, lalu ambruk tak berdaya.
Laki-laki berbaju serba hitam itu mendengus dingin. Kembali pedangnya disarungkan setelah membersihkan percikan darah.
"Buntaro, ada apa?" Terdengar suara dari belakang yang disertai munculnya seseorang di tempat itu. Seseorang yang juga berpakaian sama dengan laki-laki yang bernama Buntaro.
"Empat kecoa coba mengejar kita ke sini, Yamaguchi. Jangan khawatir, mereka telah kubereskan," sahut Buntaro.
"Hmm!" gumam laki-laki bernama Yamaguchi seraya memperhatikan keempat mayat itu sebentar. "Sekarang giliranmu!"
"Hehehe...! Dia tentu hebat, ya?" kekeh Buntaro.
"Kau akan merasakannya sebentar lagi."
Buntaro terkekeh, langsung berbalik. Kakinya melangkah lebar-lebar memasuki pondok. Sementara Yamaguchi menyusul beberapa saat kemudian, telah memeriksa dan merasa yakin tak ada lagi orang yang akan mengganggu mereka.

208. Pendekar Rajawali Sakti : Ancaman Dari UtaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang