BAGIAN 7

92 11 0
                                    

"Pendekar Rajawali Sakti! Lawanlah aku dengan ilmu silat yang kau miliki! Kenapa terus menghindar?!" geram Yamaguchi.
"Aku belum lari, Sobat. Tidak usah khawatir."
"Heaaaa...!"
Begitu Yamaguchi menyerang lagi, kali ini Rangga mulai mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Pengerahan jurus yang dilakukan Rangga, membuat Yamaguchi tercekat. Saat itu juga dia merasa kelimpungan, tak tahu harus berbuat apa. Semangat bertarungnya mendadak hilang. Setiap kali sinar biru berkelebat ke arahnya, jiwanya bagaikan merintih-rintih dan terpecah-pecah.
"Oh.... Kenapa jadi begini...?" keluh Yamaguchi. Tokoh dari negeri Sakura ini mulai terpojok. Serangannya tak begitu membahayakan lagi, karena kali ini kendali serangan dipegang Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
Rangga tak memberi kesempatan. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menerjang dengan pedang mengibas cepat. Yamaguchi coba memompa semangatnya. Pedangnya yang buntung ujungnya cepat memapak.
Trasss...!
"Uhh...!"
Kembali laki-laki bermata sipit mengeluh tertahan ketika pedangnya terbabat di tengah-tengahnya. Tubuhnya pun terjajar beberapa langkah dengan mulut meringis menahan sakit pada tangannya.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepatnya, tahu-tahu tubuhnya telah meluruk dengan tebasan pedangnya. Lalu....
Crasss...!
"Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung cepat, dan tahu-tahu terdengar keluhan tertahan. Tampak tubuh Yamaguchi terhuyung-huyung dengan mata mendelik. Darah segar meleleh dari lehernya. Tepat ketika Rangga berbalik untuk melihat keadaan Jonggol Maraka, Yamaguchi ambruk tanpa nyawa lagi.
"Heh...?!"
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Secepatnya dia melompat untuk menolong Jonggol Maraka yang menjadi bulan-bulanan. Begitu meluruk, Rangga langsung membabatkan pedangnya.
Trassss....!
"Heh?!"
Kedua orang bertopeng itu terkejut Pedang dan keris mereka buntung terbabat pedang di tangan Rangga. Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah menyambar pangkal leher.
Cras! Cras!
"Aaa...!"
Kedua orang bertopeng ini kontan ambruk. Darah segar memancar dari pangkal leher, membasahi bumi.
"Heh?!"
Orang-orang bertopeng lainnya terkejut. Serentak mereka melompat mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti, meninggalkan Jonggol Maraka.
"Heaaa...!"
"Suiittt...!"
Sementara sebelum serangan datang, Pendekar Rajawali Sakti telah bersuit nyaring. Tak lama, muncul seekor kuda gagah berbulu hitam mengkilat dari balik semak-semak.
"Dewa Bayu! Bawa Ki Jonggol!" teriak Rangga begitu melihat kuda yang tak lain Dewa Bayu sambil menghindari serangan.
Memang, Dewa Bayu adalah kuda yang selalu setia menemani ke mana Rangga pergi. Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tak mengendarainya, secara diam-diam kuda ini selalu mengikuti. Maka bila sewaktu-waktu diperlukan, Dewa Bayu akan cepat datang.
"Ki Jonggol, pergilah! Beri tahu Gusti Prabu kalau Adipati Sangkaran hendak memberontak! Ayo, cepat! Sebelum yang lainnya ke sini. Bawa kudaku! Tak usah heran dengan kudaku. Ayo, cepat!" teriak Rangga.
"Tapi kau sendiri...," sahut Jonggol Maraka, ragu-ragu.
"Jangan pikirkan aku! Lekas pergi. Pacu kudaku sekencang-kencangnya!" teriak Rangga lagi seraya menangkis serangan-serangan.
"Baiklah. Hati-hati! Kaupun harus menjaga diri...," sahut Jonggol Maraka, lemah.
Perlahan pejabat kerajaan ini bangkit mendekati kuda berbulu hitam yang berada di depannya. Dan dengan perlahan pula dia naik ke punggung Dewa Bayu. Dua orang mencoba menghalangi, namun Pendekar Rajawali Sakti cepat meluruk dengan kibasan pedang. Maka keduanya terpaksa mundur.
"Dewa Bayu, bawa dia! Turuti perintahnya!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
Kuda hitam itu meringkik halus, lalu melesat cepat membawa Jonggol Maraka yang sedang terluka. Kini Pendekar Rajawali Sakti bisa bergerak leluasa. Tubuhnya telah berkelebat sambil membabatkan pedang.
Crassss...!
"Aaaaaa...!"
Rangga tak ingin berlama-lama lagi. Satu orang telah dibuat roboh dengan perut terbuka lebar, mengucurkan darah. Orang itu terpekik, lalu roboh.
"Heaaa...!"
Lima orang bertopeng menyergap dari depan dengan sambaran senjata. Namun secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang.
Trassss...!
"Uhh...!"
Dua orang langsung melompat mundur ketika ujung pedang pemuda itu berbalik cepat Namuntiga orang lainnya tak sempat menghindar. Sehingga....
Cras! Cras! Cras!
"Aaa...!"
Mereka terpekik kesakitan, ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti merobek perut. Tubuh mereka kontan ambruk dan menggelepar-gelepar.
"Huh!"
Tujuh orang bertopeng yang kini tersisa tampak ragu menyerang kembali. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tampak tegak berdiri dengan tatapan mengandung perbawa kuat. Dia siap menanti serangan berikutnya. Namun sebelum ada yang menyerang kembali, terdengar derap langkah beberapa ekor kuda ke arah tempat ini. Dan sebentar saja tempat ini telah dipenuhi beberapa orang penunggang kuda.
"Hebat! Sungguh hebat, Rangga!"
Rangga tersenyum ketika melirik laki-laki setengah baya berperawakan besar yang barusan memuji. Dia tak lain adalah Adipati Sangkaran.
"Terima kasih atas pujianmu, Adipati Sangkaran," sahut Rangga, datar.
Adipati Sangkaran tidak sendirian muncul. Di sampingnya berjajar beberapa tokoh persilatan yang pernah ditemui Rangga di balairung. Tak ketinggalan dua anak buahnya yang setia, yaitu Ki Wirabuana dan Seda Lepen. Tampak pula para prajurit yang mengelilingi. Jumlahnya kurang lebih lima puluh orang. Dua puluh lima di antaranya bersenjata panah.
"Yamaguchi...!" teriak seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
Begitu turun dari punggung kuda, bersama tiga laki-laki berbaju serba hitam lainnya, laki-laki itu melangkah lebar mendekati mayat Yamaguchi. Mereka mengerubunginya sebentar, sebelum tegak berdiri memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam.
"Kau yang membunuhnya?" tanya yang memakai ikat pinggang merah. Dia adalah Buntaro.
"Ya!" sahut Rangga, tegas.
"Hhh...!"
Buntaro dan dua saudara seperguruannya yang bernama Idashi dan Ichimaru menggeram. Seketika, mereka mencabut pedang.
Sring!
"Bersiaplah menerima serangan!"
Rangga tak mau buang waktu. Pedang Pusaka Rajawali Sakti segera dicabut, siap menghadapi serangan.
"Kisanak! Kalau kalian butuh waktu cepat, maka kami akan bantu membereskannya untukmu!" teriak Adipati Sangkaran.
"Tidak perlu! Ini urusan pribadi. Jangan campuri urusan kami!" bentak Buntaro.
Adipati Sangkaran mendengus kesal. Pada dasarnya, dia seorang yang tinggi hati dan tak mau direndahkan orang lain. Apalagi dihina. Dan jawaban Buntaro betul-betul mengesalkannya.
"Bangsat!" rutuk laki-laki gemuk ini dengan suara halus. Dari semula tingkah orang-orang ini betul-betul memuakkan!
"Sabar saja, Kanjeng!" ujar Ki Sedan Lepen.
"Terkadang untuk mencapai tujuan, kita mesti menahan segalanya. Termasuk menahan amarah."
"Aku ingin mereka dihabisi secepatnya!" dengus adipati itu.

"Untuk apa, Kanjeng? Bukankah lebih enak menonton mereka saling bunuh? Kalau orang-orang sipit itu gagal membunuh Pendekar Rajawali Sakti, maka kita yang menghabisinya. Begitu pula sebaliknya. Tapi menurut hamba, apakah tidak sebaiknya tiga orang itu dimanfaatkan?"
"Seda Lepen! Aku muak melihat tingkah mereka yang kurang ajar! Habisi mereka semua!" perintah Adipati Sangkaran.
"Kalau itu yang Kanjeng Adipati kehendaki, maka tak ada lagi yang bisa kukatakan. Tapi akan lebih mudah membereskan seekor macan bila mereka terluka parah. Kita tak perlu banyak mengeluarkan tenaga. Jadi, biarkan saja mereka saling cakar-cakaran. Dan kita membereskan sisanya," kilah Seda Lepen.
"Terserah mu saja! Tapi jangan lupa. Aku tak ingin si Jonggol itu selamat!"
"Telah ku kerahkan lima orang penunggang kuda terbaik dan kuda-kuda yang paling cepat. Dia terluka parah. Tentu tak akan bisa lari jauh."
"Sebaiknya kau buktikan itu. Sebab kalau tidak, kita akan celaka. Kalau kita celaka, maka kupastikan kepalamu yang akan lebih dulu menggelinding!"
"Jangan khawatir, Kanjeng!"
"Huh!"
Adipati Sangkaran mendengus geram. Bagaimanapun, jawaban anak buahnya ditujukan agar hatinya merasa tenang. Namun tetap saja hatinya gelisah. Bayang-bayang impiannya akan sirna. Dan itu membuatnya kesal bukan main.
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan ketiga tokoh dari negeri Sakura berlangsung seru dan alot. Serangan ketiga tokoh itu kompak dan saling mendukung. Agak sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menembus pertahanan mereka.
"Idashi! Ichimaru! Gunakan jurus 'Tapak Lima'...!" teriak Buntaro dengan bahasa yang tak dimengerti Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti segera menyadari perubahan gerak yang dilakukan ketiga lawannya. Kalau tadi mereka saling menyerang silih berganti, maka kini bergerak mengelilingi. Makin lama makin cepat, dan terus berlari kencang.
"Heaaa...!"
Rangga membentak nyaring. Tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Namun saat itu juga, kurungannya ikut mencelat ke atas sambil mengibaskan pedang.
"Shaaah!"
Pendekar Rajawali Sakti tak kalah gesit. Pe鈥恉angnya cepat bergerak berputaran begitu cepat.
Trang!
"Hup!"
Sehabis menangkis, kembali Pendekar Rajawali Sakti melompat turun. Dan sebelum dia membuka serangan, ketiga orang asing ini melemparkan benda-benda sebesar telur puyuh.
"Heh?!"
Rangga tercekat, ketika benda-benda itu meletup dan menebarkan asap tebal menghalangi pandangan. Dan dalam keadaan seperti itu, telinganya yang terlatih merasakan desir angin tajam menyambar dari tiga jurusan.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri sambil membabatkan pedangnya.
Cras! Cras!
"Aaaaaa...!"
Dua sosok tubuh tampak ambruk bergelimpangan darah. Sementara seorang lagi terhuyung-huyung ke belakang.
"Idashi! Ichimaru...!" teriak Buntaro kaget melihat leher kedua kawannya nyaris putus terbabat pedang Rangga. Dia sendiri mendapat luka goresan di dada, menimbulkan tetesan darah merah kehitam-hitaman.

***

208. Pendekar Rajawali Sakti : Ancaman Dari UtaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang