"Bukan Naka, Mommy. Dia sendiri yang mukul kepalanya, Naka sumpah," Anak itu berucap dipelukan Radella. Menenggelamkan kepalanya pada perut rata sang bunda.
"Mommy percaya, Naka nya Mommy gak mungkin jahat," sahut Radella yang sudah merasakan sesak sejak tadi.
Bagaimana tidak, Naka di bentak, di tunjuk wajahnya, hingga yang paling parah kepalanya di dorong sampai tubuhnya terhuyung ke belakang membentur tembok.
Radella saja, seumur hidupnya baru kemarin memarahi Naka karena nakal. Tak pernah Radella sampai hati memukul, bahkan mendorong Naka.
Ia jaga Kanaka seperti permata, dan dengan seenaknya orang kain menyakiti anaknya.
"Ada yang sakit? Bilang Mommy sayang," tanya Radella dengan nada khawatir.
Mereka bertiga sedang perjalanan untuk pulang ke rumah.
Davin sendiri bungkam sedari tadi, ia tau sang istri pasti sedang memendam amarah pada benaknya. Ia pasrah jika nanti malam babak belur semua.
"Gak ada mommy, Naka baik," jawab Kanaka ragu, Radella sebisa mungkin percaya, namun ia tahu yang paling sakit dari anaknya adalah perasaan Kanaka. Ini pertama kalinya untuk sang anak di marahi habis-habisan di depan banyak orang.
****
"Lihat Kanaka, apa dia menyalahkan keluargamu? Apa dia menjelekkan keluargamu? Tidak sama sekali!"
"Tapi bagaimana dengan mereka? Apa salah anakku, Davin?!"
"Dari dulu ... dari Kanaka lahir ibumu bahkan tidak pernah ikut merawatnya. Menengok saja hanya beberapa kali, menyentuh Naka saja tidak! Aku bahkan tidak tahu, ada apa dengan keluargamu?"
Radella seudah terisak, bahunya bergetar dengan kedua tangan menutup seluruh wajahnya. Hatinya sakit sekali. Keluarga Davin tak pernah mau menerima Kanaka, mereka menganggap Kanaka berbeda, memiliki kelainan sehingga tak pantas menjadi bagian dari keluarga besar Allaric.
Tak ada yang berbeda dengan Kanaka. Ia seperti anak pada umumnya. Bukan fisik, melainkan keadaan Kanaka yang membuat Radella begitu menjaga Kanaka, tak memperbolehkan sang anak melihat dunia luar, harus selalu bersamanya. Takut jika terjadi sesuatu yang tak di inginkan dan harus berakhir kehilangan yang tersayang.
Dan kekurangan itu yang dianggap keluarga Davin sebagai ketidakpantasan Kanaka sebagai bagian dari mereka.
Davin merengkuh tubuh sang istri dalam pelukan. Mengusap bahunya berulang kali untuk meredakan tangisan.
Ia pun sama, hatinya juga sakit. Meskipun Naka sering membuatnya jengkel, namun tak pernah tak pernah Davin memasukkannya dalam hati. Kanaka adalah obat lelahnya ketika penat akan urusan kantor, pelipur lara ketika melihat wajah polosnya yang tertidur pulas. Kanaka juga segalanya untuk Davin.
"Maaf sayang, aku minta maaf atas nama keluargaku," ucap Davin penuh penyesalan.
"Jangan minta maaf kepadaku. Maaf itu lebih pantas untuk anakku, dia yang paling tersakiti di sini," ungkap Radella sembari terisak. Davin mengangguk, membenarkan ucapan sang istri.
Mereka berdua tidak tahu, jika di balik pintu yang tak tertutup rapat itu, ada sosok Kanaka yang sudah berjongkok dengan buliran airmata deras turun dari manik polosnya.
****
Pagi ini tak seperti biasanya. Tak ada suara cerewet dari bibir putera semata wayang mereka. Kanaka makan dengan hikmat, tak meminta Radella untuk menyuapinya seperti biasa.
Davin dan Radella saling bertukar pandang, melempar kode seolah bertanya ada apa dengan Kanaka.
"Sayang, apa makanannya tidak enak? Naka mau yang lain?" pertanyaan Radella memecah keheningan.
Kepala Kanaka mendongkak, ia menggeleng dengan tersenyum. Tanpa menjawab, Kanaka meneruskan kegiatan sarapannya.
Hal itu semakin membuat Radella khawatir. Anaknya tak pernah sependiam ini.
"Naka?" lagi, tak ada sahutan. Hanya tatapan bertanya yang Kanaka tunjukan.
"Naka kenapa? Badannya tidak enak?" tanya Radella mulai khawatir.
"Enggak mommy, Naka baik. Mommy gak usah khawatir. Naka baik," jawab Kanaka.
Radella beranjak dari duduknya, memutari meja dan menghampiri Kanaka. Bahkan tadi, anak itu enggan duduk di samping sang bunda. Jelas ada yang tidak beres dengan Kanaka.
"Enggak, Naka tidak baik-baik saja. Naka kenapa? Cerita sama Mommy," desak Radella. Namun tetap saja, anak itu masih memperlihatkan senyumannya.
"Naka-"
Belum selesai ucapan Radella, Naka sudah berdiri lebih dulu. "Naka selesai, mau ke kamar dulu."
Tanpa menunggu respon orang tuanya, Naka berjalan dengan lesu menuju tangga hingga ke lantai dua. Radella semakin frustasi di buatnya. Anaknya tidak pernah meninggalkan meja makan tanpa Radella. Naka akan selalu mengekori wanita itu kemana pun Radella berjalan. Tapi, apa sekarang? Ini bukan Naka, bukan anaknya.
****
"Naka,"
Davin membuka pintu kamar sang anak perlahan, terlihat Naka yang duduk di meja belajar dengan beberapa tumpuk buku di samping lengannya. Di tangannya juga sudah ada buku pelajaran yang sedang anak itu baca.
"Naka lagi apa? Tumben ga turun?" Davin berjalan mendekat. Naka hanya menoleh sekilas, kemudian berlanjut membaca kembali.
Ini benar-benar bukan Kanaka. Tak biasanya anak itu belajar selain waktu homeschooling nya. Tak ada respon apapun saat Davin memegang bahunya dan berdiri di belakang tubuh anak itu. Kanaka seolah memberikan semua fokus yang ada pada buku bacaannya.
"Daddy ganggu Naka?"
"Daddy mau apa? Naka mau belajar, biar pinter, biar bisa di sayang Oma," tuturnya cepat tanpa melihat Davin.
Hati Davin mencolos mendengar penuturan itu. Jadi benar, perubahan Kanaka karena acara kemarin malam.
"Naka udah pinter buat daddy sama mommy. Gak penting orang ngomong apa, Naka gak perlu-"
"Naka perlu daddy, Naka perlu. Naka mau kayak Zidan, Naka mau bisa baca, bisa ngitung, Naka bodoh, Naka autis, makanya Oma gak suka sama Naka. Naka mau liatin ke Oma kalo Naka bisa, Naka-"
Radella yang sedari tadi mendengar obrolan tersebut tak kuasa untuk masuk. Wanita cantik itu segera merengkuh tubuh sang anak ke dalam pelukan.
"Noo, Naka kenapa ngomong seperti itu?" Radella sudah menangis sesegukan. Naka pun sama, bahu anak itu juga bergetar.
"Mommy?" Kepala Naka mendongkak, menatap Radella dengan tatapan sendunya.
"Hm? Kenapa sayang?" Radella menangkup kedua pipi sang anak.
Bibir Naka bergetar. "Kenapa Naka bodoh?" tanya nya dengan polos. Radella menggeleng ribut.
"Kenapa mereka gak suka Naka? Kenapa Oma gak suka Naka? Naka salah apa, mommy?"
Pertanyaan beruntun dari bibir Kanaka membuat Radella tak sanggup lagi mendengarnya. Hatinya begitu sakit.
"Siapa yang bilang? Naka nya mommy anak baik, anak pintar, Naka gak salah sayang, Naka gak ada salah. Naka berhenti ngomong seperti itu, gak boleh. Mau mommy marah?"
Naka menggeleng, kembali memeluk perut Radella, menumpahkan semua tangis yang ia pendam dari semalam.
Hallo, aku kembali. xixixi
Minta vote nya buat Kanaka.