10. Takdir, Katanya - RitsuKawa

3 0 0
                                    

Written by: rainssance

•─────────•°•♡•°•─────────•

Ada tiga hal yang harus kau ketahui sebelum Miyahara Ritsuka membocorkan cerita hidupnya:

Dunia itu kejam.

Oikawa Tooru itu populer dan, sayangnya;

Ia adalah seorang pembunuh.

Soal apakah cowok itu menyadarinya atau tidak, itu masalah lain. Tapi, sudah ada tiga—bayangkan, tiga—gadis di sekolahnya yang berubah menjadi bintang di angkasa, semua itu karena senyuman bodoh dan lambaian singkat dari sang Kapten Voli.

Kalau mata dibalas mata, maka semua orang akan buta, katanya. Namun, Miyahara tetap ingin menghancurkan cowok itu sampai berkeping-keping, atau memuntahkan fakta kalau ia tidak akan bisa masuk turnamen tingkat nasional, yang mana saja boleh.

Karena sang hawa masih tidak rela kalau temannya ikut jadi korban penyakit menyedihkan ini; menyedihkan, sebab di tubuh mereka yang patah hati akan muncul retakan yang menghancurkan, perlahan, lalu sekaligus—macam boneka keramik yang jatuh ke batu polesan granit—dan begitulah, muncul bintang baru di langit malam.

Sebuah kehormatan untuk mati karena cinta, Ritsuka-chan, katanya. Omong kosong. Bukan kehormatan sama sekali untuk mati karena cowok yang bahkan tidak pernah memulai percakapan denganmu, ia ingin bilang. Tapi, terlambat. Miyahara bahkan tidak bisa berada di sisi temannya untuk yang terakhir kali, benar-benar terlambat.

Dunia itu kejam.

Semua orang juga tahu. Oikawa Tooru juga tahu, tapi terkadang ia tetap menginginkan hal-hal yang tidak bisa ia raih, tetap melihat terlalu jauh, terlalu tinggi. Mungkin itu sebabnya dia kalah di Turnamen Inter-High, tunduk di bawah mahkota penuh talenta milik Kageyama Tobio.

Mungkin itu juga sebabnya retakan-retakan kecil mulai muncul di tubuhnya, setelah usaha cowok itu untuk mengajak Miyahara Ritsuka kencan gagal total. Oikawa berpikir apa dia berbuat sesuatu yang salah saat sang gadis memberinya tatapan jijik, kemudian berdecak, “Mimpi terus sana.”

Karma itu nyata, katanya. Dan Oikawa melayangkan pikirannya ke kejadian tiga hari lalu. Iwaizumi mengatakan kalau satu insan lagi sudah pecah dan hancur karena dirinya. Tapi, bukan salahnya kalau dia terlahir dengan wajah menawan, kenapa tidak ada yang paham itu?

Oikawa Tooru itu populer.

Tetap salahmu karena memberi gadis-gadis itu harapan, katanya. Salahnya? Salahnya? Yang benar saja. Dia tidak mengira bersikap ramah akan berakhir dengan kematian seseorang, atau beberapa, sebenarnya. Oikawa lelah, kau tahu, mempertahankan cengiran sepanjang hari itu tidak mudah.

Maka, dia melakukan satu-satunya hal yang ia tahu akan membuat suara-suara dan pikiran-pikiran di kepalanya diam sebentar. Dia cuma perlu ketenangan, sebentar.

Di gedung olahraga milik Aoba Johsai, suara bola voli yang berkali-kali dipukul bisa terdengar. Beruntung sekarang sudah hampir malam, tidak ada yang bisa melihatnya. Semua orang pasti hanya berpikir, Oikawa berlatih sampai lewat matahari terbenam, seperti biasa.

Seperti biasa, padahal yang menetes ke lehernya bukan cuma keringat, tapi air mata, juga. Seperti biasa, padahal retakan di tubuhnya semakin parah seiring dia melompat untuk melakukan servis, sekali lagi, karena kalau ini benar-benar akhir dari hidupnya; Oikawa ingin bermain voli untuk terakhir kali. Seperti biasa, meski langit-langit gedung yang pernah menyaksikan kejayaannya, akan menyaksikan runtuhnya sang Raja Besar.

Cowok itu berhenti di tengah lompatannya yang kesekian. Masih dengan bahu yang naik-turun akibat berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, Oikawa jatuh dan memeluk lutut. Di titik ini, dia sudah tidak bisa membedakan antara tangannya dan bola voli lagi, terdengar dengung menyakitkan di telinganya, dan dia terlalu lelah bahkan untuk menghapus tangisnya sendiri. Payah.

Dia ingin menyerah.

Ia adalah seorang pembunuh.

Dari semua orang di sekolahnya, Miyahara yakin cuma ia yang berpikir begitu. Aneh, perihal bagaimana gadis-gadis di kelompok belajarnya masih membicarakan Oikawa seolah dia adalah korban, bukan pelaku.

“Sudah dengar, belum? Oikawa-san sedang di rumah sakit, katanya, sih, dia kena Heart Broken Disease.

“Tunggu, Oikawa-kun juga terjangkit penyakit itu? Serem, deh. Padahal cewek mana yang enggak suka sama dia?”

“Tuh, ‘kan, kukira juga begitu.”

Gadis berambut kuncir kuda itu membenamkan hidung ke buku fisika yang ia pegang di satu tangannya. Heart Broken Disease. Oikawa bisa terkena itu juga, ternyata. Jadi itu kenapa dia sering memakai pakaian lengan panjang akhir-akhir ini.

Jadi itu kenapa anggota klub voli putra mengirimkan beribu pesan sejak tadi. Padahal ponselnya sudah dalam mode tidur, diletakkan di kantong, tapi cewek itu tetap menemukan dirinya menggenggam erat-erat perangkat digital tersebut, bermain dengan bandul bintang kecil yang ia gantung di ujungnya.

Ponselnya bergetar singkat, lagi. Namun, kali ini, dia memberanikan diri untuk mengintip.

[Iwaizumi] :
Miyahara, bisa datang ke
rumah sakit, enggak?

Sebentar saja, kok.

Aku tidak mau melihat Si
Sialan ini mati menyedihkan,
dia masih temanku.

Oi.

Miyahara, kumohon?

Keputusan yang buruk. Ia tidak harusnya bersimpati ke pembunuh sahabatnya, ia tahu. Lagipula, tidak ada gunanya, apapun yang Miyahara rasakan untuk cowok itu jelas bukan cinta.

“‘Hara-san, bagaimana menurutmu? Oikawa-kun lumayan dekat denganmu, kurasa.”

Miyahara Ritsuka menggenggam ponselnya lebih erat. “Tidak juga.”

“Tapi kupikir, yah, sudah takdir,” katanya.

•─────────•fin•─────────•

•─────────•fin•─────────•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HBD [Heart Broken Disease]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang