Jakarta.

40 6 0
                                    

Hari ini adalah hari pertama Ayu menginjakkan kaki di Jakarta. Ibu kota Indonesia, begitulah yang dia pelajari di sekolah. Jakarta sangat berbeda dari yang selama ini dia lihat di televisi. Disini sangat panas, dan banyak sekali orang disini. Penampilan mereka jauh berbeda dengan orang-orang di kampungnya.

Dia mengeluarkan kertas yg berisi catatan alamat yang diberikan 'si mbok' lewat surat yang dikirimnya beberapa hari yang lalu. Jl Kenanga II No 09 Kel. Kenanga Dua, Kec. Bintaro.

"Gusti.. piye iki carane aku bisa sampe sana?" Dia memandangu kertas itu dengan perasaan cemas.

Dia mengingat-ingat lagi pesan mboknya dalam surat yang sama. Pertama harus terlihat percaya diri. Dengan beberapa tarikan nafas dia mengganti ekspresi wajahnya menjadi terlihat lebih tegas. Kedua jangan pernah menerima tawaran orang lain yang ingin membantu, cukup berpatokan pada selembar catatan yang kini sudah menjadi gumpalan karena tanpa sadar dia meremasnya untuk mengurangi perasaan tegang. Yang ketiga ojek.
Dia harus mencari tukang ojek.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat jelas beberapa motor berjejer dengan palang besar bertuliskan pangkalan ojek. Sekali lagi dia menghembuskan nafas dengan kasar dan berjalan kesana dengan takut-takut.

Belum juga dia mengucapkan satu kata, mereka sudah berebut menawarkan jasa antarnya.

"Mau kemana neng?", tanya seorang tukang ojek yang yang paling dekat dengannya.
Dia menyebutkan catatan alamat di kertas lusuh itu.
"50ribu ya", tawarnya ojek itu.
Dia tampak ragu sejenak, mengingat simboknya yang mengatakan harga ojek yang akan mengantarnya tidak akan lebih dari 30ribu.
"Nanti saya kembaliin 10 deh neng, dijamin aman", tambahnya setelah melihatku terdiam.
"Yaudah pak, ayo antar saya". Daripada kelamaan disini, bisa pingsan dia karena kepanasan.
Tukang ojek tersebut memberikan helm untuk dia pakai, dan mulai menghidupkan motor nya.

***
Ayu Sekartaji adalah nama pemberian almarhumah ibunya, nama yang sangat cantik menurutnya sekalipun terdengar kuno. Memang kuno karena sang ibu mengambil nama dari cerita legenda kesukaannya. Beliau berharap anaknya akan tumbuh seperti Ayu Sekartaji yang bejiwa besar dan bijaksana.

Sejak umur 8 tahun, dia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Bapaknya meninggal karena terinfeksi titanus. Begitulah yang dikatakan mantri di puskesmas dulu. Sejak saat itu, ibunya lah yang berkerja keras menghidupi mereka berdua. Pagi hari beliau menjadi buruh tani di sawah orang, saat sore hingga malam hari, mereka membuka warung kopi dan gorengan di depan rumah.

Memang benar apa yang selalu dikatakan orang, ujian hidup tidak akan pernah ada habis nya. Beberapa bulan setelah Ayu mulai masuk Sekolah Menengah Atas, sang ibu sakit terserang TBC. Beliau harus mengikuti pengobatan selama dua tahun penuh untuk menyembuhkan penyakitnya secara total. Dia hampir saja memutuskan untuk berhenti sekolah jika saja tidak ada simbok, orang yang saat ini akan ditemuinya.

Simbok adalah adik neneknya, dari pihak ibu. Beliau adalah orang tua bagi ibunya, karena nenek dan kakeknya sendiri sudah meninggal sebelum Ayu lahir.
Sejak muda simbok bekerja di Jakarta sebagai asisten rumah tangga. Kata ibu, simbok pernah menikah dan kembali tinggal di desa bersama suami nya. Tapi tidak lama setelah menikah, suami si mbok pergi meninggalkan beliau demi perempuan lain. Akhirnya si mbok kembali kepada keluarga tempat nya bekerja di jakarta, dan mengabdi hingga sekarang.

Setelah satu tahun pengobatan, ternyata ibunya tidak sanggup berjuang lagi dan berujung meninggal dunia. Hidupnya terasa hancur karena merasa tidak memiliki siapa-siapa. Untung saja ada simbok yang menyelamatkannya, mendukungnya dan menyemangatinya. Beliau lah yang memaksa Ayu untuk menyelesaikan sekolah dengan biaya seluruhnya beliau tanggung.

Abu-abuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang