Di bawah langit kelabu sore itu, sebuah tangis yang mulanya bisu kini menggelegar tepat di samping pusaran tanah yang masih basah. Tubuhnya berdiri dengan kedua tumpuan lututnya, pekat irisnya menatap kosong ke arah batu nisan di hadapannya.
Cowok itu memejam lama, mencoba mengenang kembali sosok yang sudah pulang ke tempat perabadian itu. Mencoba merasakan hangat rengkuhan yang kemarin masih ia rasakan, namun sekarang hanya bisa ia bayangkan.
Karena lagi-lagi semesta mengambil apa yang ia punya dengan begitu tega, tak melihat akan bagaimana hidupnya setelah ini. Satu-satunya sosok paling berarti telah pergi, meninggalkan ia yang kini sendirian, rapuh, dan tak punya arah.
Cowok itu telah berada di tengah pahit dan kerasnya kehidupan, namun mengapa semesta seolah tak pernah puas mempermainkan hidupnya. Apa semesta memang tak paham bagaimana cara mengatur skenario kehidupan?
Lalu apa yang akan ia lakukan setelah ini? Bumi di matanya telah berhenti berputar, tepat setelah sang Ayah menghembuskan napas terakhir.
"Yah...kenapa... " lirihnya begitu pilu, ia menggigit bibir dalamnya kuat-kuat sembari tangannya perlahan menyentuh permukaan tanah dan merabanya dari atas ke bawah.
"Kenapa Ayah tinggalin Naka sendirian, mana janji Ayah yang katanya nggak akan pernah tinggalin Naka? Ayah seharusnya nggak usah janji kalau bakal ingkar."
Tangisnya kembali pecah setelah kalimat itu terucap, matanya memejam sembari meremat kuat tanah dalam genggamannya. Sampai kemudian terdengar suara derap langkah yang beradu dengan gemuruh petir. Lalu suara lembut nan tajam seorang wanita mengambil alih kesadarannya.
"Nakastra Kabinawa, benar kamu anak Mas Arga Wicaksana?"
Cowok itu menoleh hingga matanya bertemu dengan netra tegas milik wanita itu. Wanita yang rautnya sama angkuhnya dengan langit sore ini.
Tubuhnya membeku cukup lama, bersamaan dengan getar asing yang diam-diam ia rasakan. Perasaannya saja, atau memang ia pernah melihat sosok itu.
Lalu benar saja, setelah menggali ingatan yang telah lapuk dimakan waktu. Ia akhirnya bisa membawa kembali ingatan itu, tepatnya ketika sang Ayah menunjukkan sebuah pigura lengkap dengan potret seseorang di dalamnya.
Jantungnya mendadak kehilangan irama, bersamaan dengan sebuah fakta yang selanjutnya membuat ia kehilangan ketenangan.
Dan sore itu, kelabu yang membentang sejak tadi akhirnya pecah. Bersamaan dengan terbukanya sebuah kisah tentang mereka yang dipertemukan, namun saling menyakiti pada akhirnya.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi di Ujung Nestapa
Teen Fiction[𝐎𝐧 𝐠𝐨𝐢𝐧𝐠] Nakastra Kabinawa-terlanjur mengira bahwa ia akan hidup sebatang kara, tepat setelah kepergian sang Ayah. Namun rupanya semesta telah merencanakan semuanya, termasuk sebuah pertemuan yang membawanya pada ujung nestapa. ©shxxva star...